R.B.E. Agung Nugroho
Dalam tulisannya tentang animisme, Taylor mengkritisi justifikasi
agama-agama besar dunia bahwa suku-suku primitif yang berbudaya rendah,
tidak punya agama. Kebanyakan etnographer memandang bahwa suku primitif
sama sekali tidak punya konsep tentang agama. Praktek ritual dalam suku
primitif tidak dapat dikategorikan sebagai praksis ritual keagamaan.
Taylor menegaskan bahwa justifikasi tersebut tidak dapat diterapkan
karena tidak berdasarkan pada perspektif subyek pelaku dan melulu
berdasarkan perspektif teori perkembangan.
Taylor memaparkan banyak contoh atas justifikasi tersebut. Misalnya: Dr. Lang meneliti suku Aborigin, Australia. Dia menilai bahwa Aborigin tidak mengenal konsep Tuhan Mahakuasa dan pencipta, bahkan tidak mempunyai obyek untuk disembah, tidak ada dewa, tempat peribadatan dan ritual persembahan. Mereka dipandang tidak mempunyai konsep religiositas yang dapat membedakan perilaku manusia dengan hewan. Apalagi, sering kali, mereka distigmatisasi sebagai suku yang kejam, liar dan biadab [Misalnya: di Queensland, ada praktek persembahan pada dewa berupa pembunuhan gadis untuk mengusir wabah cacar di suku mereka. Persembahan itu dimaksudkan untuk berdamai dengan kekuatan penyebab cacar itu, sehingga wabah itu teratasi]. Di sisi lain, W. Ridley bersaksi bahwa salah satu tradisi Aborigin mengimplisitkan adanya kekuatan supranatural [Baiame] yang menciptakan segala sesuatu dan bersuara dalam petir. Mereka juga mengenal Turramullun [kepala setan] yang menyebabkan penyakit. Kesaksian Ridley sebenarnya sudah menunjukkan bahwa Aborigin percaya akan adanya dewa, setan, roh/jiwa yang dapat dikenali dalam ritual mereka.
Di Afrika, ada suku Bechaunas yang diduga oleh Mr. Moffat tidak mengenal konsep kematian, karena orang mati pun punya dunianya sendiri, yaitu: liriti. Don Felix de Azara juga meneliti suku di Afrika Selatan yang dapat dikatakan mempunyai agama primal. Namun, karena ortodoksi Gereja sangat ketat, dia sendiri menyangkal hasil observasinya. Hasil observasi itu mengungkapkan bahwa suku Payaguas percaya akan hidup sesudah kematian dan suku Guanas percaya akan Ada [Being] yang memberkati perilaku baik dan menghukum yang jahat. Moffat dan Azara tidak konsisten pada hasil observasinya karena terancam oleh kejamnya ortodoksi Gereja waktu itu. Mereka menjustifikasi suku-suku yang mereka pelajari dalam perspektif teologi modern dan dengan semena-mena menilai suku primitif tersebut ateis. Itu terjadi karena doktrin teologinya tidak sama dengan agama dan peradaban modern. Sikap ini sejalan dengan para teolog Kristen yang sewenang-wenang menilai orang/kelompok lain [misalnya: bangsa Yunani pada jemaat Kristen awal] sebagai ateis jika Tuhan yang mereka sembah berbeda; atau suku Arya yang menginvasi ke India dan menilai orang India sebagai ateis [adeva]; atau Gereja yang mengekskomunikasi ilmuwan karena teorinya berbeda dengan ajaran teologi Gereja. Semua sikap tersebut adalah sikap fanatisme teologi yang mendiskreditkan orang/kelompok lain, tidak dapat dipertanggungjawabkan secara benar.
Dalam sikap para misionaris [misalnya: Cranz, Dobrizhoffer, Charlevoix, Ellis, Hardy, Callaway, J.L. Wilson, T. William] sudah ada penilaian bahwa suku primitif pun mengalami perkembangan religiositas. Namun, mereka masih menilai bahwa penghayatan relogiositas suku tersebut masih sangat rendah, bahkan hina. Maka, mereka datang untuk mencerahkan dengan konsep religiositas yang dianggap lebih benar dan maju, yaitu: kekristenan. Sikap mereka pun sebenarnya masih bersifat ekspansif dan eliminatif pada penghayatan religiositas asli suku tersebut. Sistematisasi alasan rasional dalam teologi itulah yang menjadi dasar justifikasi yang diterapkan pada suku primitif oleh agama-agama besar dunia. Padahal, awalnya, struktur teologi agama-agama dunia pastilah melalui tahap yang sama seperti dalam praksis kepercayaan suku primitif. Letak esensi religiositas adalah kepercayaan pada Yang Ilahi yang terkait erat dengan eksistensi manusia. Justifikasi yang senada juga terdapat dalam paparan tentang masyarakat asli Florida pada abad XVI yang dianggap ateis; masyarakat asli Madagaskar yang dinilai tidak mempunyai konsep tentang hidup sesudah kematian; dan penilaian Dampier pada masyarakat asli Timor; serta Sir Thomas Roe pada suku asli Saldanha Bay. Penilaian mereka sangat prematur karena mereka sama sekali tidak mengerti bahasa asli, simbol-simbol yang digunakan dan ritual masyarakatnya. Keterbatasan pengetahuan inilah yang mengakibatkan penilaian menjadi berat sebelah.
Justifikasi yang tidak berdasarkan pada pengetahuan yang cukup lengkap tentang suku asli juga dialami oleh Samuel Baker pada suku-suku White Nile [Nuehr, Kytch, Bohr, Aliab, Shir] tahun 1866 di Komunitas etnologi London. Ia menolak bahwa mereka mempunyai konsep tentang Yang Ilahi, ritual religius dan dunia roh. Meskipun dia memberi kekecualian –secara ragu-ragu- pada suku Dinkas yang percaya pada Roh Baik [Adjok] dan Roh Jahat [Djyok], Pencipta segala sesuatu [Dendid]; suku Nuehr yang percaya pada dewa tertinggi [NĂ©ar], dsb. Kebenaran dalam mengungkap realitas suku asli menjadi tidak jelas dengan justifikasi seperti ini; yang juga dilakukan oleh Kaufmann, Brun Rollet, Lejean dan banyak lagi.
Dalam penelitian G. Turner di Pulau Samoa dan Lery serta De Laet bersama penulis lainnya di Tupinambas, Brazil, sudah mengalami kemajuan. Mereka dapat mengerti bahasa setempat, dan berpandangan bahwa justifikasi pada suku asli tanpa mengenal bahasanya adalah hal yang keliru. Padahal, ketika sudah mengerti bahasa aslinya pun, mereka masih kesulitan menangkap konsep teologisnya secara detail. Hal ini disebabkan oleh perilaku suku asli yang selalu berusaha menyembunyikan praksis ritual keagamaannya terhadap kehadiran orang asing. Penelitian Mr. Sproat pada suku Ahts di Pulau Vancouver selama 2 tahun membuahkan kesimpulan serupa. Informasi awal yang didapatnya tentang suku Ahts dari para pendatang di daerah itu menunjukkan bahwa suku itu tidak punya –bahkan menolak- eksistensi hidup sesudah mati, konsep jiwa dan Yang Ilahi. Namun, setelah mewawancari tokoh-tokoh Ahts, dia tahu bahwa selama ini, orang Ahts menyembunyikan seluruh doktrin sistem religiositasnya. Alasannya, dewa tidak mau hadir dalam ritual mereka jika dalam ritual tersebut dihadiri oleh orang asing.
Taylor menulis bahwa keharusan dalam studi sistematis tentang agama pada suku asli harus berdasarkan pada pengetahuan yang lengkap tentang suku asli dan esensi definisi agama itu sendiri. Dengan dasar ini, kepercayaan pada dewa/kekuatan tertinggi, sistem ritual kepercayaan, penyembahan, kurban, dsb, tidak diragukan lagi dipunyai oleh suku asli. Namun, para etnographer masih terjebak pada penekanan aspek perkembangan peradaban daripada motif dasar yang terkandung di dalamnya. Secara sederhana, esensi agama adalah iman/kepercayaan pada Ada-Spiritual [Spiritual-Being]. Jika standarisasi ini diterapkan, kesimpulannya adalah suku asli pasti punya konsep tentang Spiritual-Being yang bervariasi bentuknya. Bukti empiris dapat dilihat dari pelbagai penemuan benda purbakala dan studi intensif serta pengetahuan yang komprehensif tentang suku primitif. Secara instingtif, eksistensi manusia selalu memberi ruang pada hal spiritual sesuai dengan peradaban dan perkembangan intelektualitasnya. Pandangan picik akan menduga bahwa ada masa non-religius sebelum masyarakat mengenal religiositas. Yang menjadi dasar haruslah bukti empiris, bukan spekulasi belaka [interprestasi ngawur] dari eksplisitasi kepercayaan yang tertuang dalam kultur dan peradaban. Taylor menegaskan bahwa sejauh pengetahuan berkembang sampai saat ini, semua komunitas peradaban manusia yang kita ketahui sudah mengenal kepercayaan akan Spiritual-Being yang menjadi esensi agama.
Taylor menawarkan pendekatan berperspektif animisme untuk melihat perkembangan Spiritual-Being, esensi spiritualitas. Istilah “spiritual” harus dipahami sebagai kepercayaan umum akan adanya hal-hal spiritual, adikodrati, termasuk di dalamnya: animisme. Faham ini selalu terkait dengan roh/jiwa. Dalam perkembangannya, ide teologi sebenarnya berkembang dari doktrin tentang roh/jiwa ini. Dalam perspektif modern, animisme adalah manifestasi spiritualitas yang sangat rendah, meski dari situlah filsafat agama muncul. Karena, dalam masyarakat modern, ide ini sudah berkembang menjadi kompleks dengan argumentasi rasionalnya. Namun, intinya tetap sama, yaitu kepercayaan akan Spiritual-Being. Dua dogma utama dalam animisme adalah: 1). Percaya pada jiwa individu, yang melanjutkan eksistensinya pada hidup sesudah kematian badan; dan 2). Percaya pada roh-roh lain di luar jiwa manusia [misal, dewa-dewi].
Esensi dari Spiritual-Being adalah pengada dan pengontrol dunia, selalu berhubungan dengan eksistensi hidup manusia di dunia dan sesudahnya. Kepercayaan ini mempengaruhi hidup moral dan konsensus dalam masyarakat, baik primitif [sederhana] maupun modern [kompleks]. Falsafah animistik sudah ada sejak masyarakat primitif dan berevolusi dalam masyarakat modern, yang terlihat dari perkembangan moralitas dalam agama.
Namun, pendekatan pada animisme tradisional hendaknya memperhatikan dua prinsip, yaitu: 1). Doktrin dan praksis religius dipahami sebagai sistem teologis yang berkembang seturut kemajuan argumentasi rasional dan menjadi tahap perkembangan agama primal; 2). Ada hubungan erat dalam ide dan ritus antara masyarakat tradisional dan modern. Implikasinya, kepercayaan pada jiwa manusia dan roh di luar diri manusia dalam masyarakat primitif bukanlah sebagai hasil perjumpaan dengan peradaban modern. Sistem kepercayaan itu berkembang secara alami. Justru sistem teologi dan doktrin agama modern yang maju, merupakan perkembangan dari sistem kepercayaan tradisional yang sering dianggap liar. Sistem kepercayaan tradisional mengalami evolusi dengan penambahan dan penghilangan karena disesuaikan dengan sistem argumentasi rasional yang dapat lebih dipertanggungjawabkan. Masuknya aspek rasionalitas inilah yang membuat bentuk baru dalam sistem agama, meskipun esensinya sama, yaitu: percaya pada Spiritual-Being. Oleh karena itu, animisme mulai luntur dalam masyarakat modern karena seturut perkembangan peradaban, dipandang sudah tidak rasional. Masyarakat modern merasionalisasi posisi roh di luar diri manusia dalam ranah metafisika agama, sedangkan penjelasan rasional tentang jiwa pun berkembang dalam ilmu psikologi [misalnya: terminologi intuisi dan rasio, emosi dan kehendak, dsb]. Perkembangan pelbagai disiplin ilmu –termasuk ilmu alam- berhasil merombak sistem animistik tradisional. Secara singkat, konsep jiwa manusia –secara esensial- terus berevolusi sejak kepercayaan animistik tradisional sampai teologi modern. Pengetahuan tentang jiwa menjadi satu bagian penting dalam religiositas yang menghubungkan sistem kepercayaan primal dengan agama Kristen. Jadi, sistem religiositas dalam suku primal itu sudah ada –bahkan menjadi cetak biru munculnya sistem teologi modern. Sehingga, justifikasi bahwa suku primal tidak beragama, tidak mengenal konsep religiositas merupakan justifikasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan karena hanya berdasarkan keterbatasan pengetahuan dan hasil spekulasi terhadap suku yang diobservasi.[]
****
Tulisan Taylor termasuk kritis terhadap penilaian sewenang-wenang terhadap suku primal. Saya setuju dengan pendapat bahwa penilaian semena-mena pada suku primal tidaklah benar. Perspektif subyek [suku primal sendiri] dan kelengkapan pengetahuan dan pemahaman berdasarkan data empiris harus menjadi dasar penilaian; dan bukan berdasarkan atas kacamata terkini dari kacamata kepercayaan [belief] yang lain, atau bahkan menyimpulkan secara prematur dan merendahkan suku primal.
Saya juga setuju pada pemahaman bahwa konsep teologis yang rasional dan lebih kompleks dari agama-agama semitik tidak dapat dan tidak boleh diterapkan untuk menilai suku primal. Kesimpulan yang terjadi jika penilaian itu dilakukan adalah suatu invasi yang memaksakan orang lain memeluk suatu keyakinan yang asing baginya dan mengeliminasi kepercayaan asli mereka dengan dalih tidak sesuai dengan konsep mereka. Inilah adalah pereduksian genuinity dan uniqueness dari tiap entitas dalam suatu struktur rasional yang diberlakukan untuk semua. Namun, saya tidak setuju jika kita melulu memperhatikan dan memposisikan suku primal sebagai yang lebih utama dibanding agama modern. Sikap yang saya setujui adalah kesamaan dan pamahaman yang lebih mendalam, tidak ada yang lebih tinggi atau rendah dalam hal iman, keyakinan dalam manifestasi konsep yang berbeda satu sama lain.
Saya tidak setuju pada Taylor dalam hal sikap menyamakan agama primal dengan proses perkembangan dalam agama semitik. Artinya, mereduksi realitas kultural yang berbeda ke dalam struktur modern dengan teori perkembangan kebudayaan. Di sini, jika tidak hati-hati, kita dapat jatuh dalam determinisme budaya, karena menyamakan apa yang sudah terjadi dalam satu budaya yang dianggap lebih modern, diterapkan begitu saja pada budaya yang dianggap masih terbelakang. Ini mereduksi kemungkinan bereksistensi secara genuine budaya primal tersebut. Artinya, dapat saja karena alasan utilitarianisme yang mengeneralisasi proses perkembangan satu budaya ke dalam budaya lain tanpa melihat keunikan dan kontekstulisasinya. Taylor dapat dengan mudah jatuh pada prinsip utilitarianisme ini karena menyamakan perkembangan yang terjadi pada agama semitik dengan tahap yang ada dalam agama primal. Agama semitik lebih maju dibanding agama primal. Saya berpendapat bahwa esensinya sama [percaya pada the Spiritual Being], maka aktualisasinya pun sesuai dengan konsep yang dihayati. Berkembangan atau mundurnya suatu sistem tidak tergantung kompleksitas realisasinya. Maka, hargailah setiap entitas budaya dengan segala keunikan dan keaslian mereka, dengan pengetahuan dan pemahaman yang cukup tanpa menilai secara gegabah.
0 komentar:
Posting Komentar