Defence Science

"...before war military science seems a real science, like Astronomy, but after a war it seems more like Astrology" (Dame Rebbeca West)

Form and Content of Peace

"It is high time for this sad tradition to be broken and for peace to be taken seriously." (Johan Galtung)

Defense Diplomacy Science

Defense diplomacy refers to the pursuit of foreign policy objectives through the peaceful employment of defense resources and capabilities.

Peace, Love, and Conflict Resolution

Three values of peace-making, peace-building, and peace-keeping.

Peace and Conflict Resolution Researches

These efforts are used to find an alternative solution of the susceptible condition in Indonesia.

Relasi EQ, CQ, SQ, dan IQ

Keterkaitan antara 
Kecerdasan Emosional (EQ), Kecerdasan Budaya (CQ),
Kecerdasan Sosial (SQ), dan Kecerdasan Intelektual (IQ)
R.B.E. Agung Nugroho

Kasus profesor alumnus Universitas AS kesohor yang mencaki-maki suku/agama lain dalam acara live di TV merupakan fenomena kurangnya kompetensi si profesor dari segi kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan budaya (CQ), dan kecerdasan sosial (SQ). Meskipun memiliki kecerdasan intelektual (IQ) tinggi, tiga kecerdasan lain seperti tersebut di atas tidak dimiliki si profesor. 

Menurut Crowne (2009), kecerdasan sosial (SQ) merupakan suatu kemampuan untuk melakukan kegiatan-kegiatan interpersonal dan untuk mengambil sikap bijaksana dalam berelasi dengan orang lain. Dengan kata lain, SQ adalah sebuah kemampuan untuk memahami dan untuk mengelola hubungan harmonis dengan orang lain. Kecerdasan sosial memuat tiga hal, yakni pemahaman sosial, ingatan sosial, dan pengetahuan sosial (Weis & Süß,  2007). Kecerdasan sosial ini sebenarnya memuat dua komponen kecerdasan yang lain, yakni kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan budaya (CQ). Sedangkan kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi tidak menjamin kecerdasan EQ, CQ, dan SQ juga tinggi. 

Kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan budaya (CQ) merupakan bagian dari kecerdasan sosial (SQ). Bedanya, EQ berfokus pada hal-hal yang terkait dengan emosional, sementara CQ berfokus pada hal-hal dalam budaya dan konteks lintas budaya. Oleh karena itu, kemampuan dalam EQ maupun CQ merupakan unsur kemampuan dalam SQ. Tiga kecerdasan inilah yang derajatnya sangat rendah dalam diri si profesor. 

Pertama, profesor memiliki kompetensi EQ yang rendah, sebab meluapkan rasa permusuhan dengan mencaci-maki orang lain di depan umum. Dia tidak punya sensibilitas dalam berhubungan dengan orang lain dengan mengelola kondisi emosionalnya. 

Kedua, profesor tidak punya kompetensi CQ karena secara terbuka dia merendahkan dan mendiskreditkan suku/agama lain dan menganggapnya sebagai musuh. Kemampuan relasi dalam konteks lintas budaya –dalam hal ini suku dan agama– tidak tercermin sama sekali. 

Ketiga, karena dua kompetensi kecerdasan, baik EQ maupun CQ sangat lemah, profesor ini dapat dikatakan memiliki SQ sangat rendah. Pasalnya, EQ dan CQ merupakan unsur pembentuk SQ.
 
Tiga kecerdasan yang kurang dalam diri profesor itu dapat ditingkatkan dan sikapnya dapat diubah dengan cara persuasi menggunakan model high cognitive effort. Model ini digunakan untuk mempersuasi orang-orang dengan tingkat kecerdasan intelektual tinggi seperti profesor tersebut. Tingkat IQ tinggi ini terbukti dengan title profesor alumnus Universitas terkenal di AS. Untuk mengubah sikap profesor, digunakan metode message learning approach. Kita mengirimkan pesan kepada si profesor dengan mempertimbangkan karakteristik, status, dan posisi si profesor sebagai akademisi dengan IQ tinggi. Tujuannya, pesan itu sungguh diterima, dia mau memberi perhatian pada persuasi kita, dan mau memahami pesannya. Tentu saja dengan pendekatan ilmiah karena latar belakang pendidikannya tinggi. Oleh karena itu, persuasi itu harus berbobot secara akademis dan menggunakan rujukan ahli di bidang tertentu agar tujuan kita diterima. Perlu diperhatikan juga struktur dan model persuasi menentukan keberhasilannya, baik lisan (dialog) maupun tulisan.

Selain itu, kita juga bisa menempuh model active thought, yang mengajak dan memancing si profesor untuk aktif berpikir tentang pesan persuasif yang kita sampaikan. Model ini dapat menggunakan cara role-playing, yaitu mengajak profesor itu berpikir: “Seandainya dia menjadi orang-orang lain yang ia musuhi, yang ia caci-maki, yang ia jelek-jelekkan, dan ia diskreditkan, kira-kira bagaimana perasaannya menerima semua tumpahan emosi negatif itu?” Dapat juga ditempuh cara yang sangat halus, yaitu tanpa harus memberinya peringatan ketika si profesor menumpahkan rasa bencinya. Kita tetap bersikap baik agar dia tidak semakin ekstrim dan kontra dengan pemikiran yang berbeda.

Kecerdasan Emosional Pasukan Perdamaian

Perbandingan Kecerdasan Emosional (EQ)
antara Pasukan Perdamaian 
Italia dengan Amerika Serikat
R.B.E. Agung Nugroho

Kecerdasan Emosional (EQ) merupakan suatu kemampuan untuk mengelola perasaan agar dapat mengekspresikan perasaan secara tepat dan efektif, memungkinkan orang bekerja sama dengan baik demi meraih tujuan bersama (Goleman, 1995).

Pasukan peacekeeper asal Italia (Latin) memiliki EQ lebih tinggi dibanding EQ pasukan asal AS, yang komposisi pasukannya multikultural. Menurut Goleman, kecerdasan emosional dimiliki tiap individu sejak lahir, yang berpotensi untuk berkembang menjadi kompetensi emosional (emotional competencies), dengan proses belajar dan pelatihan. Kompetensi emosional ini terdiri dari self awareness, self management, awareness of others, relationship management, dan empathy. Namun, pasukan Italia dipersepsi tidak lebih tinggi berempati pada masyarakat lokal dibanding prajurit AS keturunan Anglo Saxon, bahkan juga dengan etnis Barat/Kaukasia yang terkenal diskriminatif. Artinya, kecerdasan emosional (EQ) tidak menjamin kecerdasan budaya (CQ). Sangat mungkin jika pasukan Italia tidak lebih berempati dari pasukan AS ketika harus bertugas di lingkup budaya lain.

Penjelasannya ialah berdasarkan kecerdasan budaya (CQ) dan kecerdasan sosial (SQ). Kecerdasan Budaya (CQ) merupakan kepribadian yang dapat dikembangkan (state-like personality), bukan kepribadian yang tidak dapat berubah (trait-like personality). Level CQ pasukan AS lebih tinggi karena sudah terbiasa dengan kondisi multikultural sebagai pasukan perdamaian. Mereka sudah hidup dalam komposisi yang beragam secara budaya, dibandingkan pasukan Italia yang cenderung homogen (Latin). Tidak mengherankan jika mereka lebih memiliki kecerdasan budaya karena pengalaman dan proses latihan sebagai pasukan perdamaian.

Dalam pendekatan CQ, pasukan AS punya kelenturan untuk berinteraksi dengan budaya lain yang berbeda dibandingkan pasukan Italia. Adaptasi budaya dan kinerja pasukan AS dipengaruhi oleh latar belakang dan pengalaman lintas budaya yang mencerminkan level kecerdasan budaya mereka. Inilah kemampuan individu untuk berfungsi secara efektif dalam lingkungan budaya yang beranekaragam (Ang dkk. 2006).

Pengalaman pasukan AS berinteraksi dan bekerja di budaya lain dalam konteks di dalam pasukan mereka sendiri, secara signifikan dapat meningkatkan kemampuan dan perluasan pemahaman budaya (expanded cultural cognition). Maka, tidak mengherankan jika pasukan AS memiliki kemampuan lebih tinggi dibandingkan pasukan Italia yang berlatar belakang masyarakat dengan budaya homogen. Pasukan AS lebih mampu memahami dan mengetahui kondisi lintar budaya (cognitive SQ), lalu mereka dapat memprediksi apa yang akan terjadi dalam proses interaksi, baik yang akan dilakukan orang lain maupun bagaimana dirinya bersikap (metacognitive SQ), secara efektif dapat mengarahkan perhatian dan kemampuan untuk mempelajari dan bersikap dalam situasi lintas budaya (motivational SQ), dan berani serta mampu menempatkan diri dalam tindakan terhadap budaya lain, baik secara verbal maupun non-verbal (behavioural SQ). Empat aspek SQ ini dimiliki pasukan AS secara lebih baik daripada pasukan dari negara yang berlatar belakang budaya homogen. Dengan demikian, penghayatan internal lintas budaya yang mendalam dari pasukan AS akan dipersepsi secara positif oleh rekan kerja asing sebagai individu yang bersedia menyesuaikan diri untuk menjadi iklim kerja kelompok yang positif.

Tsunami dan Ketahanan Sosial

Tsunami dan Ketahanan Sosial
dari Perspektif Lima Dimensi Budaya
Menurut Hofstede
R.B.E. Agung Nugroho

Ketahanan sosial (social resilience) adalah kemampuan untuk mengembangkan, terlibat dalam, dan memelihara hubungan yang positif, serta untuk mempertahankan dan memperbaiki diri dari tekanan hidup dan isolasi sosial. Ketahanan sosial menekankan pada kemampuan, baik individu maupun kelompok, untuk bekerja sama demi mencapai tujuan bersama. Maka ketahanan sosial membentuk karakteristik dan nilai dalam masyarakat secara kolektif, yakni dengan cara berelasi yang saling percaya, berbela rasa, murah hati, terbuka, rendah hati. Selain itu juga nampak dalam kapasitas dan sumber daya interpersonal, seperti saling berbagi, mendengarkan, menerima orang lain dengan empati, menghormati, berkomunikasi dengan kepedulian, saling memaafkan, dll. Lalu juga muncul dalam kapasitas dan sumber daya kolektif pun berkembang dengan membentuk identitas kelompok, toleransi, taat aturan, dll.

Dalam kasus tsunami, ketahanan sosial Jepang lebih tinggi daripada Indonesia. Jepang lebih tahan menghadapi krisis dan terlihat seperti masyarakat dengan nilai-nilai kolektif dibanding Indonesia. Hal ini mungkin terjadi karena selain Jepang sudah lebih terlatih menghadapi tsunami, faktor intelektual tinggi negara maju juga menentukan tingginya tingkat resilience mereka. Mereka pun terbiasa hidup teratur sehingga dalam menerima bantuan, mereka lebih teratur dan tidak berebutan seperti Indonesia.
Meski demikian, tidak benar bahwa masyarakat Indonesia sudah menjadi individualis. Dalam lima dimensi budaya Hofstede (1987), nilai individualism Jepang (46) lebih tinggi dibanding Indonesia (14). Jepang lebih mengutamakan kewajiban individu, semetara Indonesia mengesampingkan kewajiban individu dan mengutamakan yang kolektif. Namun, dalam dimensi power distance, Indonesia (78) lebih tinggi dibanding Jepang (54). Jepang berusaha meminimalisir perbedaan, mengadakan perubahan dengan evolusi, dan ketergantungan terhadap yang lebih superior rendah. Sementara Indonesia lebih mampu menerima perbedaan, revolusi ditempuh untuk membuat perubahan, dan punya ketergantungan yang tinggi. Oleh karena itu, di Indonesia sangat dimungkinkan jika konflik (berebut bantuan) terjadi saat tsunami dan keadaan menjadi tidak teratur, karena ketergantungan besar dan memilih perubahan dengan revolusi.

Dalam dimensi long term orientation, Jepang (42) lebih tinggi karena mereka menekankan konsistensi dan komitmen, serta memandang harga diri sangat penting. Sementara Indonesia (38) menekankan pada hasil sesaat dan harga diri menjadi kesadaran tetapi cenderung dilihat sebagai kelemahan. Maka ketika terjadi tsunami, orang Indonesia cenderung berorientasi pada hasil sesaat dengan mengharapkan bantuan (tanggap darurat) sehingga proses pemulihan pasca tsunami relatif lebih lama.

Dalam dimensi masculinism, Jepang (95) lebih tinggi dibanding Indonesia (46). Dalam keadaan tsunami, Jepang dengan resilience tinggi tetap berpegang pada rasio, maka bisa dibudayakan antri dan saling membantu untuk segera masuk masa pemulihan. Mereka hidup untuk bekerja dengan rasionalitas tinggi. Sementara Indonesia justru memegang intuisi untuk mengambil keputusan. Dalam kondisi krisis, Indonesia cenderung sulit antri karena kurang mampu berpikir rasional. Apalagi dengan tingkat resilience rendah, irrasionalitasnya pun muncul dalam bentuk berebut bantuan dan tidak teratur.

Lebih jelas lagi dalam dimensi uncertainty avoidance, Jepang (92) jauh di atas Indonesia (48). Jepang memegang hukum dan aturan, butuh konsensus, menganggap konflik sebagai ancaman, dan bekerja keras sehingga tidak terlalu mengandalkan bantuan. Berkebalikan dengan Indonesia. Hukum dan aturan lemah, konflik dianggap wajar, kerja keras bukan keutamaan sehingga mudah tergantung pada bantuan, apalagi di saat krisis. Dalam kondisi tsunami, Jepang yang memegang aturan akan lebih tertib dan tidak terlalu berharap pada bantuan karena punya motivasi kerja tinggi. Indonesia justru lemah dalam aturan, sehingga saat krisis, keadaan pun kacau/tidak teratur, berebut dan terlalu berharap pada bantuan, serta tidak terlalu peduli akan konsekuensi kondisi krisis tersebut.

Sikap dan Persuasi

Perubahan Sikap Melalui Persuasi
R.B.E. Agung Nugroho

Sikap dapat didefinisikan sebagai kondisi kesiapan mental dan neural, yang dibentuk berdasarkan dan melalui pengalaman, yang dapat secara dinamis mengarahkan dan mempengaruhi tanggapan-tanggapan individu terhadap berbagai macam obyek dan situasi yang terkait (Allport, 1935). Sedangkan menurut Krech & Crutchfield (1948), sikap merupakan suatu pengorganisasian yang berlangsung dalam waktu yang relatif lama dari proses motivasi, persepsi, dan kognitif, yang bersifat menetap pada diri individu yang terkait dengan semua aspek kehidupannya. Dengan kata lain, sikap adalah kondisi perasaan, pikiran, dan kecenderungan yang relatif permanen dalam individu, yang muncul berdasarkan pengalaman dalam bentuk kecondongan evaluatif, dan berpengaruh pada tanggapan terhadap semua aspek, obyek, dan situasi lingkungannya.

Sifat ini dapat diubah melalui interaksi antarindividu dan individu dengan lingkungan sosialnya (Bohner & Schwarz, 2001). Salah satu langkah atau metode yang dapat mengubah sikap adalah persuasi. Menurut Perloff (2003), persuasi merupakan suatu proses simbolik, di mana seseorang berusaha untuk meyakinkan orang lain, dengan tujuan untuk mengubah sikapnya yang menyangkut suatu hal, yang disampaikan melalui suatu cara tertentu dan membiarkan orang lain mengambil keputusan untuk bebas memilih.

Dalam pendekatan persuasi, dikenal dua model pendekatan yang mendasarkan diri pada usaha kognitif (cognitive effort), yaitu low cognitive effort dan high cognitive effort. Persuasi yang tidak menggunakan usaha kognitif yang besar dikategorikan dalam low cognitive effort; dan sebaliknya yang dengan usaha kognitif besar disebut high cognitive effort.

Dalam kasus tokoh diskriminatif yang berpendidikan tidak terlalu tinggi, tetapi kharismatis dan sedang berkonflik etno-religious, dapat ditempuh jalan untuk mengubah sikapnya dengan pendekatan low cognitive effort. Pasalnya, pendekatan ini tidak memerlukan usaha kognitif yang besar. Langkah yang dapat diambil adalah –pertamaclassical conditioning, mengkondisikan agar yang dianggap musuh dan yang dibenci pelan-pelan berubah menjadi teman. Kondisi ini dapat dilakukan dengan cara menjalin hubungan yang baik, memberikan bantuan pada warganya dengan bakti sosial, dll, sambil memberikan pengertian tentang nilai-nilai persaudaraan. Model ini mengacu pada penelitian Anjing Pavlov dan Skinner Pigeon, yang menggarisbawahi salah satu pengaruh yang dapat mengubah sikap, yaitu aspek budaya. Skinner menekankan pengaruh lingkungan budaya dalam membentuk kepribadian seseorang. 

Kedua, dapat ditempuh cara operant conditioning, yakni dengan sistem reward and punishment. Model ini dapat diimplementasikan dalam bentuk “kooptasi”, yaitu pemberian fasilitas, status, ketenaran, dll supaya dapat mengubah sikapnya terhadap kelompok yang dibenci. Namun, jika sikapnya tetap tidak berubah, segala bentuk pemberian tersebut harus diambil.

Ketiga, kita dapat menggunakan metode feelings and subjective experiences as sources of attitudes. Model ini menggunakan pendekatan personal kepada tokoh masyarakat itu. Relasi yang terbangun diharapkan mampu mempengaruhi emosionalnya menjadi positif dan memiliki mood yang bagus. Dengan demikian, ketika emosinya positif dan moodnya bagus, diharapkan sikapnya pun menjadi positif terhadap kelompok lain yang selama ini ia anggap musuh.

Keempat, dapat juga memakai heuristic processing. Model ini menggunakan potensi dan kekuatan (power) yang lebih besar dibandingkan yang dimiliki oleh tokoh masyarakat tersebut. Kekuatan itu kita pakai sebagai jalan untuk mempersuasi dia –tetapi tetap mempertahankan sifat persuasif dalam proses tersebut. Harapannya, dengan pendekatan top-down seperti ini, tokoh masyarakat itu bisa berubah. 

Empat langkah itu diharapkan berdampak luas karena tokoh ini merupakan tokoh kharismatis yang memiliki banyak massa, sehingga terjadi perubahan sosial lebih baik.

Dimensi Budaya Trompenaars & Turner

Tujuh Dimensi Budaya
Menurut Trompenaars & Turner
 
R.B.E. Agung Nugroho

Menurut Trompenaars & Turner (1997), ada tujuh dimensi budaya yang dapat menjelaskan tindakan Kastaf Pasukan PBB asal Inggris, yang melanggar aturan –yakni mengizinkan Kolonel menemuinya meskipun namanya tidak ada dalam buku tamu dan memarahi Danki asal Indonesia yang mengerjakan sesuai aturan. Pertama, padahal dalam dimensi universalism vs particularism, orang Inggris jauh lebih taat aturan dari orang Indonesia. Namun, karena ada pertimbangan akan terjadi masalah diplomatis, Kastaf Inggris ini memilih strategi untuk menjelaskan keputusan yang diambil kepada orang lain dengan mendasarkan diri pada aturan kepangkatan dalam militer. Dalam prinsip universalism, Kastaf Inggris ini konsisten juga dalam jalur komando. Ia berusaha menjelaskan keputusannya dengan mengkaitkan tugasnya dengan kepercayaan yang ia yakini, bahwa mungkin muncul masalah diplomatis jika tidak menerima si Kolonel.

Dimensi budaya kedua adalah specific vs diffuse. Kastaf Inggris itu mampu membedakan relasi pribadi dengan kerja profesional. Ia tidak peduli keputusannya memarahi si Danki asal Indonesia akan merusak relasi personalnya, karena tidak akan berpengaruh pada hubungan kerjanya. Prinsip spesifik menjelaskan orang Inggris yang dapat langsung mengeluarkan pendapatnya (direct and to the point). Ia berfokus pada tujuannya terkait potensi masalah diplomatis daripada memikirkan relasi pribadi dengan Danki yang ia marahi.

Ketiga adalah neutral vs emotional. Kastaf Inggris tergolong sebagai kategori netral yang mampu mengelola emosinya, sekaligus rasionalitasnya lebih dominan mempengaruhi tindakan daripada perasaannya. Ia mengutamakan pertimbangan rasional daripada perasaan, sehingga ia pun mau menerima Kolonel (pangkat yang lebih rendah dan ingin bertemu tanpa mengikuti prosedur) dengan pertimbangan urgensi dan kepentingan diplomasi yang lebih besar. Dalam dimensi ini, Kastaf Inggris sangat stick to the point.

Keempat adalah achievement vs ascription. Orang Inggris melihat status orang dari pencapaian yang ia lakukan (achievement). Kastaf Inggris menghargai si Kolonel bukan karena kepangkatannya, tetapi secara fungsional ia menjadi kunci potensi masalah diplomatis jika tidak diterima.

Kelima adalah sequential time vs synchronous time. Kastaf Inggris termasuk masyarakat yang biasa berfokus pada satu proyek, perencanaan, dan target. Tidak heran jika ia memperjuangkan satu proyek yang dianggap prioritas, yakni menyikapi potensi masalah diplomasi. 

Keenam adalah internal direction vs outer direction. Tipe internal direction orang Inggris sangat yakin bahwa kontrol mereka atas lingkungan begitu dominan. Kontrol ini bertujuan untuk mencapai apa yang diharapkan. Oleh karena itu, mereka menganggap konflik sebagai hal yang wajar dan konstruktif, menyikapinya secara terbuka, dan siap menghadapinya. Kastaf Inggris menunjukkan hal itu dengan menunjukkan dominasi atas lingkungan di sekitarnya sehingga si Kolonel tetap diterima, meski ia harus berkonflik dengan Danki asal Indonesia.

Ketujuh adalah dimensi individualism vs communitarianism. Sifat individualis ini membuat Kastaf Inggris berpegang pada kebebasan individunya untuk meraih tujuan, bahkan sangat percaya diri terhadap keputusan yang ia ambil. Keputusan individu harus dihargai dan diperjuangkan. Kreativitas dalam mengambil keputusan individu juga diberi tempat. Dengan demikian, meskipun tergolong taat aturan, Kastaf Inggris tergolong individualis, yang bisa memarahi Danki dan menerima si Kolonel di luar jadwal. Ia berpegang pada kebebasan individunya untuk mencapai relasi baik secara diplomatis dalam rangka menjaga stabilitas misi peacekeeping PBB. Jadi, penjelasan tujuh dimensi budaya Trompenaars & Turner (1997) justru memungkinkan Kastaf Inggris yang taat aturan, menerima Kolonel di luar jadwal, bahkan memarahi Danki asal Indonesia.