Pemberontakan Bersenjata dan Separatisme Bersenjata

Perbedaan antara Pemberontakan Bersenjata dan Separatisme Bersenjata, 
serta Upaya Pemerintah dalam Menanganinya

R.B.E. Agung Nugroho

Pengantar
Pemberontakan bersenjata dan separatisme bersenjata merupakan ancaman terhadap sistem pertahanan negara, yang bersifat nirmiliter dan berskala nasional. Dasar perbedaan kedua ancaman ini tersurat dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Meski kedua acaman tersebut masuk dalam kategori nirmiliter, dalam pasal 7 ayat (2) poin b nomor 1 dan nomor 2 UU Nomor 34 Tahun 2004 dituliskan bahwa kedua ancaman ini dibedakan. Lalu apa perbedaannya dan bagaimana menangani kedua ancaman ini?

Perbedaan Dasar
Perbedaan antara pemberontakan bersenjata dan separatisme bersenjata terletak pada tujuan akhir dari aksi tersebut. Pemberontakan bersenjata melawan pemerintahan yang sah dengan menggunakan senjata sebagai alat kekerasan. Perlawanan tersebut bisa berorientasi pada usaha kudeta terhadap pemerintahan yang sah, perebutan kekuasaan politik menggunakan senjata, dan cara-cara inkonstitusional serta melanggar norma hukum yang berlaku. Pemberontakan bersenjata tidak mengarah pada usaha melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), melainkan hanya melawan pemerintahan yang sah. Gerakan ideologis bersenjata bisa dimasukkan dalam kategori pemberontakan bersenjata, seperti kudeta, tindakan anarkis dan main hakim sendiri melawan pemerintah, aksi kekerasan bersenjata melawan otoritas yang sah secara inkonstitusional, dll –selain terorisme. Contoh yang pernah terjadi di Indonesia ialah pemberontakan G 30/S/PKI pada tahun 1965.

Sementara itu, separatisme bersenjata merupakan tindakan melawan pemerintahan yang sah dengan tujuan memisahkan diri dari NKRI. Gerakan separatisme ini menjadi gerakan ideologis sekaligus berbau politis. Usaha pemisahan diri dari NKRI menjadi pembeda yang paling mendasar dibandingkan dengan pemberontakan bersenjata. Ancaman separatisme ini merupakan ancaman non-tradisional terhadap keutuhan suatu negara. Selain usaha pemisahan diri dari NKRI, gerakan separatisme bersenjata juga membawa dampak disintegrasi bangsa yang sangat hebat, karena mengancam keutuhan secara langsung dan perlawanan langsung serta terbuka antara daerah dengan pusat. Contoh yang hingga kini masih berlangsung adalah Gerakan Operasi Papua Merdeka (OPM) yang menginginkan pemisahan diri Papua dari NKRI.

Usaha Penanganan 
Yang harus disadari sebagai dasar usaha penanganan pemberontakan bersenjata maupun separatisme bersenjata adalah negara menjadi aktor yang bertanggung jawab untuk menyelesaikannya. Peran negara sebagai aktor ini merujuk pada otoritas politik yang sah dan secara operasional memobilisasi kekuatan militer, termasuk di dalamnya civil society. Langkah pertama yang diambil adalah himbauan dan ajakan untuk duduk bersama, menyelesaikannya secara kekeluargaan dengan menjunjung tinggi harkat dan martabat sesama anak bangsa dengan konsekuensi yuridis dan legal di hadapan konstitusi yang berlaku atas segala bentuk kekerasan yang sudah dilakukan. Langkah diplomatis dan dialog ini perlu sebagai upaya agar tidak dinilai kebijakan yang ditempuh menjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Jika langkah tersebut tidak membuahkan hasil atau bahkan tidak digubris, pendekatan law enforcement menjadi penting. Jika diperlukan, mobilisasi militer dilakukan dalam konteks Operasi Militer Selain Perang sebagaimana diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 pasal 7 ayat (2). Mobilisasi kekuatan civil society untuk melawan secara ideologis, politis, dan aspek-aspek nirmiliter lainnya sebagai usaha memberangus pemberontakan serta separatisme bersenjata tersebut. 

Langkah kedua itu juga disertai dengan usaha diplomatis dan dialog serta secara simultan mengembangkan kerjasama keamanan secara komprehensif (comprehensive security) antara Indonesia dengan negara-negara tetangga untuk ikut mendukung penyelesaian gerakan bersenjata tersebut. Bahkan, sinergi antara komponen utama dan komponen cadangan dalam semua bidang sangat dibutuhkan untuk mengeliminasi ancaman tersebut dan menjadi perwujudan sistem pertahanan semesta.

Penutup
Penjelasan tersebut mencerminkan bagaimana ancaman yang bersifat non-tradisional, berskala nasional, dalam lingkup internal negara, dan terkait dengan aspek ideologi dan politik, masih tetap menjadi isu aktual dan strategis dalam rangka memperkokoh sistem pertahanan negara. Oleh karena itu, perumusan ancaman yang strategi, peningkatan kinerja inteligen, dan membangun jejaring sinergis antarkomponen pertahanan, harus diperhatikan secara serius. Sistem pertahanan semesta menjadi on-going process, yang harus terus dijadikan framework dalam usaha menjaga keutuhan NKRI dari segala bentuk ancaman –terutama dalam hal ini, ancaman dari dalam negeri sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar