Peran Gereja Katolik dalam Usaha Mewujudkan Papua Tanah Damai Tahun 2010—2012

R.B.E. Agung Nugroho* 

Abstrak
Permasalahan Papua masih menyisakan penderitaan bagi rakyat di sana dan menjadi ancaman bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Akar permasalahannya terletak pada isu kekerasan negara kepada masyarakat sipil, praktik diskriminasi pada warga asli Papua, perbedaan penafsiran sejarah masuknya Papua ke pangkuan NKRI, dan konsep “pembangunan” pemerintah yang berbeda dengan rakyat Papua. Menanggapi permasalahan ini, Gereja Katolik di Papua menjadi motor untuk mempromosikan visi “Papua Tanah Damai” dan misi “dialog” dengan merangkul seluruh pemuka agama dan tetua adat, dan membentuk Jaringan Damai Papua (JDP). Dialog menjadi solusi di level strategis untuk menyelesaikan konflik pemerintah RI dengan gerakan Operasi Papua Merdeka (OPM). Solusi strategis itu dijabarkan dalam langkah-langkah praktis, yaitu pendekatan pemerintah kepada rakyat Papua secara nonmiliter, penggalakan program riset dengan kajian tentang Papua, dan penggalian kearifan budaya lokal yang menunjang terwujudnya dialog. Jalur dialog menjadi mutlak dalam situasi konflik yang terjadi di Papua.


Sejak tahun 1962 hingga sekarang, permasalahan yang ada di Papua masih sama. Komunikasi antara pemerintah Indonesia dengan rakyat Papua tidak pernah mengalami titik temu. Dua pihak tersebut tidak pernah mencapai kesamaan persepsi dan cara melihat persoalan Papua. Selain itu, kepentingan dua pihak yang selalu berseberangan membuat hubungan keduanya menjadi tersendat, bahkan mengalami stagnan. 

Akibat buruknya hubungan pemerintah Indonesia dan rakyat Papua ini, kedua belah pihak harus menanggung kerugian yang semakin menghambat kemajuan pembangunan di Tanah Papua. Pemerintah Indonesia sering dituding sebagai pelaku tindak pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di wilayah Papua yang kini terdiri dari dua provinsi, yaitu Provinsi Papua yang beribukota di Jayapura dan Provinsi Papua Barat yang beribukota di Manokwari. Pemekaran teritori militer dan penambahan jumlah anggota Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI) juga disinyalir berkontribusi pada peningkatan kasus pelanggaran HAM di Bumi Cenderawasih ini.** Sementara itu, rakyat Papua justru sulit berkembang dan menikmati hasil-hasil pembangunan yang sudah dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia. Bahkan, bentrokan aksi bersenjata antara anggota TNI dan OPM yang memakan korban jiwa terus berlangsung hingga kini. Situasi mencekam dan teror pun terus mewarnai kehidupan masyarakat Papua.

Kondisi instabilitas di Papua ini membutuhkan cara pendekatan untuk mencabut akar permasalahan yang dihadapi. Peran seluruh elemen masyarakat dan pemerintah sangat diperlukan demi penyamaan titik pijak untuk mengambil langkah yang lebih jauh. Dalam konteks tulisan ini, penulis hanya akan membatasi pada sudut pandang peran Gereja Katolik sebagai salah satu unsur pembentuk mayoritas masyarakat Papua.*** Perumusan masalahnya pun harus tepat sehingga alternatif penyelesaiannya akan mampu diimplementasikan secara tepat sasaran. Oleh karena itu, artikel ini akan diawali dengan perumusan masalah dasar yang sebenarnya terjadi di Papua. Setelah itu, paparan dilanjutkan dengan peran Gereja Katolik sebagai entitas penyeru moralitas “motor” penggerak inisiatif dialog dalam kehidupan masyarakat di sana. Pada bagian akhir tulisan, akan disampaikan beberapa alternatif penyelesaian sebagai langkah strategis dan praktis yang sudah dimulai oleh Gereja Katolik.

Akar Permasalahan Papua

Seorang peneliti senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elisabeth, telah melakukan kajian konflik Papua dengan riset selama 4 tahun (2004—2008) bersama tim yang sudah dibentuk. Hasil riset ini diterbitkan oleh LIPI dalam sebuah buku berjudul Papua Roadmap (2008). Dalam kajian tersebut, tim riset LIPI berhasil merumuskan 4 persoalan pokok yang menjadi akar konflik berkepanjangan di Papua. 

Pertama, isu kekerasan negara terhadap masyarakat sipil di Papua. Isu ini sering dikaitkan dengan kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyat Papua. Meskipun isu ini masih menuai pro dan kontra, media massa telah melambungkan kasus-kasus kekerasan yang terjadi di Papua sehingga masalah Papua pun menjadi perhatian komunitas dunia internasional.

Kedua, praktik diskriminasi terhadap penduduk asli Papua. Masyakarat Papua selalu merasa dianaktirikan oleh pemerintah Indonesia. Mereka menganggap bahwa perhatian dan kepedulian pemerintah terhadap pembangunan Papua masih sangat kurang. Salah satu contoh ialah minimnya sarana dan prasarana pendidikan. Menurut data dari Dinas Pendidikan Kabupaten Asmat tahun 2012,****  hanya ada 5 sekolah SMA/SMK yang diampu oleh 85 guru dengan 1.022 murid berusia 21—24 tahun. Di tingkat SMP, hanya 13 sekolah yang beroperasi dengan 144 guru dan 2.051 murid berusia 11—21 tahun. Sementara itu, di tingkat SD, ada 120 sekolah dengan 16.086 murid berusia 6—15 tahun. Keterbatasan yang juga terjadi dalam bidang yang lain ini dinilai sebagai bentuk diskriminasi terstruktur yang dilakukan oleh negara dan sangat melukai perasaan rakyat Papua. 

Ketiga, penafsiran sejarah Papua yang membutuhkan dialog untuk bisa saling mendengarkan. Sebelum tahun 2009, kata “dialog” masih dianggap sebagai sesuatu yang tabu. Pemerintah Indonesia merasa bahwa peristiwa 1 Mei 1963 merupakan peringatan Hari Integrasi Papua ke dalam NKRI. Sementara itu, sebagian besar rakyat Papua menafsirkannya sebagai mulainya aneksasi NKRI terhadap Papua. Perbedaan tafsir sejarah yang sangat kental bernuansa politis ini harus dipertemukan sehingga terjadi pemahaman sejarah yang sama. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia dan rakyat Papua harus berdialog. 

Keempat, konsep “pembangunan Papua” pun menjadi sumber masalah. Kompleksitas persoalan pembangunan disebabkan karena pemahaman konsep “pembangunan Papua” yang keliru dari pemerintah. Pemerintah dengan cepat mampu mengguyurkan triliunan rupiah untuk meratakan dan mengaspal jalan, membangun gedung-gedung, dan lain-lain. Padahal, semua infrastruktur yang disediakan oleh pemerintah justru banyak dimanfaatkan bukan oleh penduduk asli. Penduduk asli Papua tetap miskin dan tidak memiliki akses secara leluasa terhadap hasil-hasil pembangunan tersebut karena lemahnya kontrol pemerataannya.

Usaha Damai dari Gereja Katolik 


Empat akar permasalahan Papua ini mendapat tanggapan dari Gereja Katolik. Sejak awal kedatangannya di Bumi Papua, Gereja Katolik sudah memulai langkah pemuliaan harkat dan martabat penduduk asli Papua. Para misionaris, pastor, biarawan-biarawati, berjuang mendirikan sekolah, pusat-pusat kesehatan, pendampingan ekonomi kecil, dan memajukan peradaban orang Papua. Pada tahun 2010, usaha Gereja Katolik ini semakin berkembang dan berhasil merangkul para pemimpin dari 40 denominasi Gereja Kristen Protestan, Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Hindu, Budha, dan tetua adat puluhan suku di Papua. Mereka berkumpul untuk menyatukan visi bersama, yaitu menciptakan “Papua Tanah Damai” secara inklusif dan tanpa dipengaruhi oleh motivasi politis. 

Pimpinan Gereja Katolik Keuskupan Jayapura, Mgr. Leo Laba Ladjar O.F.M., mengungkapkan bahwa para pemuka Gereja Katolik selama ini berhasil memotori gerak pembentukan kesadaran bersama untuk mencapai cita-cita “Papua Tanah Damai”.*****  Sejak bulan Januari 2010, mereka telah membidani lahirnya Jaringan Dialog Papua (JDP) sebagai langkah untuk meredefinisi konsep “dialog” yang sebelumnya berkonotasi negatif. Selain itu, JDP juga menjadi ajang diskusi, kaderisasi, promosi, dan konsientisasi konsep “dialog” bagi Papua Tanah Damai. Berbagai kegiatan dimotori oleh JDP yang melibatkan seluruh elemen masyarakat Papua, baik dari pihak OPM maupun dari pihak pro NKRI, yang biasanya berlangsung di Jayapura.

Selain di tingkat lokal, usaha dialog bagi penyelesaian masalah Papua juga diangkat dalam forum para pimpinan Gereja Katolik Indonesia level nasional, yakni dalam Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Pada bulan November 2011, atas permohonan dari para pimpinan Gereja Katolik di Papua dan JDP, KWI secara khusus membahas tema “Dialog bagi Papua Tanah Damai”. Mereka menggelar kolokium khusus dan menyerukan dukungan secara penuh pada pelaksanaan dialog demi terciptanya perdamaian di Papua. 

Menurut Leo Laba Ladjar, Gereja Katolik di Indonesia berpandangan bahwa permasalahan Papua bukanlah sekadar konflik politik, melainkan juga kemiskinan, pemerataan pembangunan, pendidikan, dan kesehatan. Namun, banyak pihak sering memelintir dan menyederhanakan persoalan Papua sebatas isu politik saja. Oleh karena itu, Gereja Katolik bergerak dalam ranah kemanusiaan tanpa membedakan latar belakang masyarakat yang mereka layani. Tidaklah mengherankan jika Gereja Katolik di Papua gencar membuka sekolah, klinik, HIV/AIDS Center, dan rumah sakit, baik di kota maupun di pedalaman. Tujuannya ialah mengangkat harga diri, martabat, dan hak-hak orang Papua supaya mampu mandiri dan berkontribusi positif pada kemajuan NKRI.

Kontribusi Gereja Katolik dalam ikut berperan menyelesaikan konflik Papua dapat dikatakan menjadi suatu terobosan yang cukup signifikan. Kata “dialog” tidak lagi dipahami sebagai ungkapan keinginan untuk merdeka dari rakyat Papua di mata pemerintah. Rakyat Papua pun tidak lagi memahami kata “dialog” sebagai suatu bentuk aneksasi, pembodohan, dan pemiskinan di tanah Papua.

Jika menilik hubungan Gereja Katolik dengan pemerintah dalam konteks Papua, dua belah pihak ini mempunyai relasi yang harmonis. Selama periode awal promosi dialog untuk Papua Tanah Damai, tidak dapat dielakkan bahwa sempat muncul pandangan negatif dari pemerintah terhadap Gereja Katolik di Papua. Gereja Katolik pernah dicurigai sebagai entitas masyarakat yang mendukung gerakan OPM. Pemerintah berargumentasi bahwa Gereja Katolik juga membantu para anggota OPM dalam pelayanannya. Padahal, pelayanan Gereja Katolik tidak membatasi pada sentimen dan latar belakang masyarakat yang dilayaninya. Gereja Katolik melayani semua orang yang membutuhkan atas dasar kemanusiaan tanpa membedakan latar belakang suku, ras, agama, orientasi politik, status sosial, gender, dan kategori primordialitas lainnya. Berkat kerja keras para pemimpin Gereja Katolik di Papua, kecurigaan itu akhirnya terkikis dan hubungan dua belah pihak pun berjalan baik hingga kini. Posisi Gereja Katolik ini juga dapat diterima oleh semua pihak, baik para anggota OPM dan kelompok pro integrasi dengan NKRI.

Dialog sebagai Kemutlakan

Peran Gereja Katolik dalam usaha mewujudkan Papua Tanah Damai ini tidak jarang mengalami kesulitan. Selain faktor finansial yang sering membuat kerepotan tersendiri, usaha Gereja Katolik dalam mengusahakan dialog antara pemerintah Indonesia dengan OPM mengalami hambatan yang cukup serius. Setelah 2 tahun ditumbuhkembangkan, dukungan terhadap usaha dialog antara pemerintah Indonesia dan OPM tetap belum berhasil dilaksanakan. Kesulitan ini terjadi karena pemerintah Indonesia ingin berdialog dengan rakyat Papua secara langsung tanpa campur tangan pihak ketiga. Sementara itu, rakyat Papua menerima jalur dialog jika ada pihak ketiga yang memediasi. Mereka mengusulkan Inggris atau Amerika Serikat sebagai mediator dalam dialog tersebut. 

Meskipun kendala terlaksananya dialog dalam tingkat nasional belum terwujud, dialog merupakan satu-satunya solusi dalam level strategis. Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun mengafirmasi perjuangan JDP untuk merealisasikan dialog terbuka, bersih, dan berkelanjutan antara pemerintah dan pihak Papua. Pada tanggal 9 November 2011, Presiden SBY menyerukan agar seluruh elemen yang terkait dengan permasalahan Papua harus berdialog dengan rakyat Papua secara terbuka.****** Semua kesempatan hendaknya digunakan sebagai ajang dialog untuk mencari solusi terbaik, yakni Papua Tanah Damai. 

Pertama, dalam level praktis, selain melaksanakan dialog secara konkret, hendaknya juga diadakan pendekatan dari pihak pemerintah Indonesia kepada rakyat Papua melalui perhatian dan kepedulian untuk memajukan Bumi Cenderawasih. Pendekatan nonmiliter harus diprioritaskan daripada pendekatan berbasis militer. Pendekatan nonmiliter tersebut meliputi pembangunan secara terencana, terprogram, berkelanjutan, terkontrol, dan terevaluasi. Pemberian beasiswa kepada putera-puteri Papua yang berprestasi agar dapat mengenyam pendidikan setinggi mungkin, menjadi salah satu contoh perhatian dan kepedulian pemerintah terhadap penduduk Papua. 

Kedua, narasi sejarah yang tidak mencederai rakyat Papua juga layak disosialisasikan secara resmi oleh pemerintah. Selain itu, pendirian pusat-pusat kajian dan riset terkait isu Papua harus menjadi prioritas dalam usaha menggali potensi dan peluang dialog. Alokasi pendanaan untuk bidang ini seharusnya mendapat porsi yang lebih besar. Pemerintah juga perlu menggalakkan kajian tentang Papua di kalangan generasi muda, terutama para pemegang kebijakan dari instansi pemerintah, baik di level lokal maupun nasional. Kajian mengenai segala aspek kehidupan, seperti sosial-budaya, politik, ekonomi, keamanan, dan adat istiadat harus diidentifikasi untuk menjelaskan secara komprehensif cita-cita itu. Bidang-bidang itulah yang dapat dijadikan pendekatan demi terwujudnya dialog yang diidam-idamkan.

Ketiga, penggalian nilai budaya lokal yang mendukung proses terwujudnya dialog yang dicita-citakan. Kearifan lokal ini menjadi daya dorong internal masyarakat Papua sehingga perlu disosialisasikan secara luas. Promosi terhadap keberadaan Papua dengan menawarkan potensi yang dimiliki Bumi Cenderawasih itu mendesak dilakukan, baik di dalam negeri maupun di dalam kancah dunia internasional. Usaha ini bisa menjadi pintu masuk demi pendekatan dialog sebagai solusi terbaik penyelesaian masalah Papua.

Ketika solusi strategis dengan dialog dan ketiga pendekatan praktis tersebut secara konsisten dilakukan, diharapkan situasi Papua akan semakin membaik. Dialog sebagai satu-satunya solusi yang diharapkan dapat dilaksanakan dengan penuh persaudaraan. Dengan demikian, cita-cita mempertahankan keutuhan NKRI dapat terus terpelihara dan semakin kokoh. 


Daftar Pustaka

  • Alua, Agus A., Presentation to Parliament Members in Canbera and Indonesia Solidarity Cooperated Meeting in Sydney, August 6 to 10, 2007.
  • Elisabeth, Adriana, 2008. Papua Roadmap, Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
  • Ganadi, Aprianita, “Potret Problematika Pendidikan di Asmat”, dalam Majalah HIDUP edisi 37, terbit pada tanggal  22 September 2013.
  • Nugroho, R.B.E. Agung, “Usaha dan Sikap Gereja Papua”, dalam Majalah HIDUP edisi 17, terbit pada tanggal  28 April 2013.
  • Sihaloho, Markus Junianto dan Ezra Sihite, “Papua Needs Improved Welfare, Not Extra Soldiers, Yudhoyono Declares”, dalam http://www.thejakartaglobe.com/archive/papua-needs-improved-welfare-not-extra-soldiers-yudhoyono-declares/573498/ diunduh pada hari Jumat, 15 Agustus 2014, pukul 09.00 WIB.
  •                          , Archdiocese of Merauke (Archidioecesis Meraukensis) dalam http://www.catholic-hierarchy.org/diocese/dmera.html, diunduh pada hari Jumat, 15 Agustus 2014, pukul 09.15 WIB.

________________________________________________
Endnote:

*) Penulis ialah mahasiswa Pascasarjana Program Studi Damai dan Resolusi Konflik Universitas Pertahanan Indonesia (Unhan).
**) Terjadi peningkatan jumlah anggota dan pemekaran wilayah militer. Pada periode 1998—2001, sebelum otonomi khusus, hanya terdapat 3 Komando Rayon Militer (Korem) di bawah Komando Daerah Militer (Kodam) XVII Cenderawasih dengan kekuatan 3 batalion. Setiap Korem terdiri dari 9 Komando Distrik Militer (Kodim). Pasca pemekaran dan penetapan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, jumlah tersebut meningkat menjadi 5 Korem dengan kekuatan 6 batalion, bahkan sedang dipersiapkan 17 Kodim baru. Anggota baru tersebut berasal dari luar Kodam XVII yang diperbantukan untuk pengamanan terhadap gerakan Operasi Papua Merdeka (OPM). (Agus A. Alua, Presentation to Parliament Members in Canbera and Indonesia Solidarity Cooperated Meeting in Sydney, August 6 to 10, 2007, hlm.7)
***) Alasan dasar pemilihan perspektif dan kontribusi Gereja Katolik ialah selain menjadi unsur mayoritas pembentuk masyarakat Papua, kehadiran organisasi Gereja Katolik di Papua sudah ada sejak awal abad XX. Secara resmi, organisasi Gereja Katolik di Papua didirikan pada 12 Mei 1949 dan kini berkembang menjadi 5 teritori gerejani, yakni Keuskupan Agung Merauke, Keuskupan Jayapura, Keuskupan Manokwari-Sorong, Keuskupan Agats-Asmat, dan Keuskupan Timika. (http://www.catholic-hierarchy.org/diocese/dmera.html, diunduh pada hari Jumat, 15 Agustus 2014, pukul 09.15 WIB)
****) Aprianita Ganadi, “Potret Problematika Pendidikan di Asmat” dalam Majalah HIDUP edisi 37, hlm.10-11, yang terbit pada tanggal  22 September 2013.
*****) R.B.E. Agung Nugroho, “Usaha dan Sikap Gereja Papua”, dalam Majalah HIDUP edisi 17, hlm.14, yang terbit pada tanggal  28 April 2013.
******) Markus Junianto Sihaloho dan Ezra Sihite, “Papua Needs Improved Welfare, Not Extra Soldiers, Yudhoyono Declares”, dalam http://www.thejakartaglobe.com/archive/papua-needs-improved-welfare-not-extra-soldiers-yudhoyono-declares/573498/ diunduh pada hari Jumat, 15 Agustus 2014, pukul 09.00 WIB.

0 komentar:

Posting Komentar