Benang Merah Perjalanan Idea HAM

Benang Merah Perjalanan Idea HAM

R.B.E. Agung Nugroho

Konsepsi Hak Asasi Manusia (HAM) tidak serta merta menjadi konsep jadi, tetapi mengalami proses perkembangan yang sangat panjang dan belum selesai. Proses refleksi tentang konsepsi HAM itu berangkat dari pemikiran-pemikiran filosofis yang menyiratkan adanya benih-benih dasar HAM sejak zaman Yunani kuno. Kita sudah dapat menemukan benih pemikiran HAM dalam filsafat politik Aristoteles dan pemikiran Plato. Secara sederhana dan relatif samar, pemikiran mereka sudah memunculkan wacana yang terkait dengan pemikiran tentang negara, individu, kekuasaan dan keadilan. Nilai-nilai itu diperjuangkan dalam konteks negara (Yunani kuno) untuk tujuan kebahagiaan, eudaimonia bagi warganya. Ini memperlihatkan kesadaran awal bahwa ada penghargaan terhadap nilai-nilai yang penting bagi manusia. Artinya, ada aspek kemanusiaan yang secara samar, disadari keberadaannya untuk diwujudkan.

Lalu, dalam pemikiran Thomas Aquinas, mulai berkembang kesadaran akan adanya nilai-nilai kemanusiaan yang layak diperjuangkan. Kemanusiaan dilihat sebagai kodrat yang harus dihidupi dan selalu direfleksikan dalam kacamata hubungan dengan Yang Ilahi (bdk. ciri pemikiran abad pertengahan yang teosentris). Diskursus tentang moralitas yang kental berbau kristiani tertuang dalam kesadaran bahwa manusia secara kodrati punya kebebasan untuk membuat pilihan bagi dirinya sendiri. Kebebasan individu ini dihargai dan setara dengan kebebasan orang lain, sehingga menjadi pendasaran terbentuknya komunitas yang humanis (bdk. “cintailah sesamamu seperti kamu mencitai dirimu sendiri” –faham kristianitas). Ini menunjukkan bahwa kesadaran moral yang menyangkut kemanusiaan secara kodrati sudah mulai berkembang. Artinya, aspek-aspek kemanusiaan itu sudah mulai ditelaah –meski masih sangat kental berbau teosentris.

Selanjutnya, pemikiran Thomas Hobbes dan J.J. Rousseau –boleh jadi- memperlihatkan secara lebih jelas, meskipun belum sangat konkret, adanya perkembangan kesadaran tentang konsepsi HAM. Hobbes –misalnya- menempatkan natural right dan natural law sebagai kondisi awal yang menjelaskan bahwa manusia punya kebebasan hakiki. Dapat dipahami bahwa benih HAM berkembang menjadi diskursus dalam pemikiran modernitas dalam bentuk manusia yang secara hakiki mempunyai aspek kemanusiaan, yaitu kebebasan. Bahkan dalam Leviatan, Hobbes sudah menunjukkan adanya jaminan hak hidup. Rousseau menjelaskanbahwa manusia juga mempunyai kebebasan hakiki yang tertuang dalam state of nature. Aspek rasionalitas mulai memegang kendali utama untuk menelaah lebih jauh aspek hakiki kemanusiaan, yang terumus dalam kebebasannya dan jaminan hidupnya. Artinya, ada penghargaan serius terhadap aspek manusiawi ini.

Akhirnya, setelah holocoust Jerman, HAM mulai terkonseptualisasi dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Realitas problem kemanusiaan diangkat ke dalam kesadaran internasional, dikonseptualisasi, dikonkretkan dalam bahasa hukum dan terus berkembang. Hakekat bahwa manusia mempunyai hak-hak asasi tertuang jelas dalam DUHAM. Namun, konsepsi inipun masih menjadi diskursus dan terdiferensiasi ke dalam dua kubu, sosialis dan liberal. Ketika masuk dalam ranah nation-state yang tidak lepas dari ideologi masing-masing, titik berat konsepsi HAM pun menjadi berbeda. Masing-masing memperjuangkan dan menghargai adanya HAM, tetapi memanifestasikannya dalam fokus yang berbeda. Namun, kedua aliran besar itu memberikan sumbangan besar bagi terlemparnya HAM dalam wacana internasional. Sekarang, pergulatannya adalah bagaimana konsepsi HAM itu berproses menjadi bahasa hukum dalam konstitusi negara-negara dunia, regional maupun internasional. Oleh karena itu, perjuangan untuk membahasakan HAM secara legal-formal masih terus berlangsung supaya format legal-formal itupun tetap humanis, memperjuangkan prinsip-prinsip dasar HAM.

0 komentar:

Posting Komentar