Kegilaan dan Peradaban*
R.B.E. Agung Nugroho
Sekitar abad XII-XV, perkembangan ilmu kedokteran sudah berhasil untuk
mengatasi penyakit kusta [lepra]. Banyak rumah sakit di Eropa pada zaman
itu sudah mulai tidak berpenghuni pasien kusta lagi dan pelan-pelan
bergeser fungsi menjadi rumah penampungan bagi orang-orang yang
didiskreditkan sebagai orang gila. Ini terjadi karena meskipun penyakit
kusta tersebut telah berhasil dimusnahkan, tabu atau stigma yang dulu
disandang dialihkan kepada orang-orang yang dianggap tidak waras.
Artinya, perlakukan dan penanganan yang sama serta pandangan terhadap
penyakit itu tetap bergema dalam kehidupan masyarakat. Perlakukan itu
termanifestasi di dalam tindakan pengasingan, pembuangan, pengurungan,
hukuman tanpa proses peradilan yang semestinya, dsb. Semua manifestasi
stigma itu digantungkan pada takaran keadilan dan bersuara demi kebaikan
masyarakat luas. [Note. Menggunakan prinsip utilitarian untuk mendekati
permasalah sosial secara tidak proporsional].
Konteks tersebut menjelaskan mengapa mulai awal abad XVII, yang disebut kegilaan itu dirumah-sakitkan. Dalam periode tersebut, kegilaan serasa dipotret kembali melalui manifestasi memori zaman romatik. Artinya, fantasi, imaginasi yang tertuang dalam bentuk karya sastra, seni, lukis dan patung mengalami suatu perubahan yang bersar. Karya-karya itu berkembang tanpa pakem yang jelas dan menunjukkan potret kehidupan masyarakat yang bersentuhan dengan realitas orang-orang gila di dalamnya. Perlakukan terhadap orang gila pun dapat ditemukan jejak-jejaknya dalam periode ini, yaitu terekslusi dari masyarakatnya.
Di sisi lain, perubahan manifestasi fantasi dan imaginasi juga merupakan bentuk kegilaan tersendiri. Kegilaan ini berasal dari kepongahan sia-sia yang ada dalam imaginasi yang ekstrim, selalu mengandalkan segala sesuatu pada diri manusia. Manusia dianggap sebagai sumber segala fantasi dan imaginasi sehingga dapat mengekspresikan apapun sebagai bentuk kebebasannya. Lain halnya dengan kegilaan di bidang peradilan dan hukum. Penjatuhan hukuman terasa sebagai suatu kegilaan moral, karena segala sesuatu –meskipun tidak jelas takarannya, asal demi penghukuman yang adil dan setimpal- sudah dapat dilasanakan, bahkan dengan kebanggaan bahwa keadilan dan moralitas telah berhasil ditegakkan. Yang terakhir adalah kegilaan atas nafsu putus asa. Secara jelas, yang terpotret dalam karya sastra dan lukir dari kegilaan atas nafsu ini adalah hasrat akan cinta. Demi cinta, segala sesuatu rela dilepaskan, bahkan memasuki titik penghabisan dan kematian pun bersedia. Itulah kegilaan yang muncul secara natural dalam perkembangan masyarakat saat itu.
Fungsi dari kegilaan itu semua adalah untuk menyembunyikan di bawah kekeliruan sebuah rahasia yang membangun kebenaran tertentu. Maka, kegilaan adalah bentuk qui pro quo, kekeliruan demi kebenaran, kematian demi kehidupan. Dalam kegilaan dibangun keseimbangan yang masih ditutupi oleh ilusi yang dibuat-buat, sehingga yang sebenarnya semu secara rasional, menjadi nyata; dan mulai terpisahlah ranah rasional dan irrasional yang sebenarnya adalah keutuhan yang ingin dibangun sebagai sebuah keseimbangan. Dan saat itulah bermunculan Rumah Sakit Jiwa –rumah dimana tempat kegilaan berdiam. []
Awal munculnya Rumah Sakit ini adalah di Perancis, yang disebut Hopital General mulai awal abad XVII. Fungsi Hopital General ini adalah sebagai Rumah Sakit, Rumah Tahanan dan tempat Pengurungan. Semua lapisan masyarakatnya mendukung ide Hopital General ini, bahkan Raja pun sampai mengeluarkan maklumat, otoritas Gereja dan semua badan otoritatif di bawah Raja mendukung maklumat Raja. Secara nominal, ada kurang lebih 32 kota provinsi di Perancis yang masing-masing selalu ada Hopital General. Dari Perancis, segera merebak ke Jerman, Inggris –yang ternyata mulail lebih dulu-, Belanda, Italya, Spanyol.
Hopital General diadakan sebagai usaha membentuk masyarakat yang damai sesuai perkembangan rasio, dengan asumsi bahwa kegilaan itu mengancam dan membahayakan orang lain dan rasio. Kekuataan inilah yang membuat pemisahan dan mengeksklusikan atas orang yang disebut aneh/gila. Namun, pada periode itu terjadi resesi ekonomi dunia sehingga keberadaan Hopital General dialihfungsikan sebagai tempat penampungan semua orang yang dianggap sampah masyarakat. Orang-orang yang masuk Hopital General ini ada di bawah kekuasaan Raja dan Hakim yang dapat memutuskan apapun atas nasib mereka tanpa perlu peradilan. Stigma sampah masyarakat, merusak keluarga, pengangguran dan gila [dianggap aneh oleh rasio normal] sudah cukup untuk memasukkan ke dalam Hopital General. Orang-orang yang menganggur dihukum dan diusir, tetapi dipelihara negara dalam kurungan. Implikasinya, sebagai individu bebas, mereka diekslusikan dan dibatasi ruang geraknya secara fisik dan moral. Orang-orang miskin dilarang mengemis; dan jika ketahuan mengemis akan dihukum cambuk, dikurung, diusir atau dibuang ke laut. Mereka dipaksa untuk bekerja dengan upah tertentu sehingga menguntungkan golongan tertentu yang mengatasnamakan seluruh rakyat dan negara. Maka, mereka hanya dua punya dua pilihan, yaitu bekerja secara paksa dengan upah kecil atau dieksklusi dari masyarakat.
Semua rumah yang dihuni oleh orang-orang miskin yang ditampung negara dijadikan rumah kerja. Mulai anak-anak sampai pensiunan dipaksa untuk terus produktif supaya produksi menekan biaya serendah mungkin dan harga jualnya pun terjangkau masyarakat. Namun, hasilnya justru kemiskinan semakin merajalela, sehingga orang-orang miskin lebih suka masuk penjara daripada dipaksa bekerja, karena di penjara, meskipun berat dan dihukum, tetap mendapat makan. Kemiskinan telah membuat orang putus asa dan rela disebut kriminal atau gila. Meski demikian, negara tetap menggerakkan orang-orang miskin dan bekerja sama dengan pabrik-pabrik sehingga profit dapat dibagi-bagi diantara mereka. Dalih mereka adalah ingin memberantas kemalasan dan pengangguran sehingga kemiskinan saat itu dapat teratasi. Padahal, mereka hanya ingin memanfaatkan tenaga kerja murah demi profit yang lebih besar.
Fase pertama dalam dunia industri ini memandang pekerja sebagai solusi masalah kemiskinan ekonomi. Apalagi, pandangan Kristen yang mengajarkan bahwa kerja adalah konsekuensi dari kutukan sejak Adam jatuh ke dalam dosa pertama. Setelah diusir dari Firdaus, manusia harus bekerja sendiri dan tidak dapat hidup enak-enakan. Di sisi lain, kerja juga dipandang sebagai cara manusia membebaskan diri dari kutukan itu. Sehingga, kemalasan merupakan bentuk pemberontakan dan ketidakpatuhan pada hukum yang ada dalam Kitab Suci. Sehingga mempekerjakan orang-orang miskin dengan paksa pun diteguhkan oleh otoritas Gereja jika alasannya adalah untuk membasmi kemalasan. Bahkan, Gereja pun melihat bahwa kerja adalah sebagai bentuk askese [latihan etis dan jaminan moral]. Dalam hal ini, posisi orang gila menjadi sulit, karena mereka tidak mampu bekerja, yang secara cepat dianggap sebagai sama dengan malas. Karena tidak mampu berintegrasi dengan masyarakatnya, mereka dianggap sebagai masalah. Maka, dengan alasan etis dan agamis, mereka sudah selayaknya dikurung, dieksklusi, dihukum dan didiskreditkan serta dipaksa untuk menjalani apa yang umum dilakukan dalam masyarakat. Sedangkan orang-orang yang sudah jompo harus dimasukkan ke dalam kesunyian, dengan cara dikurung. Hal ini dilakukan supaya bertemu dengan kesucian, karena tanpa kerja, hanya nafsu kebinatangan saja yang akan muncul. Seakan-akan mengurung orang-orang yang tidak mampu bekerja adalah kebaikan karena bermotivasi ingin menyelamatkan mereka dari nafsu-nafsu. []
Masih dalam konteks Perancis, pada abad XVIII, orang-orang gila dipertontonkan di dalam rumah-rumah penampungan pada hari Minggu. Para pengunjung dapat membeli karcis masuk dan melihat bagaimana irrasionalitas kegilaan termanifestasi dalam diri orang-orang dalam kurungan. Semua ini dilakukan tanpa dasar kemanusiaan sama sekali. Mereka dijadikan komoditi bagi pertunjukan-pertunjukan kegilaan, dimasukkan ke dalam wilayah irrasional dan diorganisasi secara rasional dengan kegilaan yang lain. Hal ini dapat terjadi karena ada pandangan tentang orang gila [berbahaya dan tidak berbahaya]. Orang gila yang berbahaya dianggap sama seperti binatang buas, diperlakukan seperti binatang, bukan seperti manusia. Perlakuan itu dasarnya hanyalah ketakutan masyarakat karena menganggap bahwa kegilaan semacam itu dapat merusak tatanan sosial yang ada. Ketika sudah diperlakukan seperti binatang, mereka dianggap dapat menanggung kesengsaraan eksistensi yang tak terbatas seperti binatang. Lumpuhnya dimensi rasio membuat orang gila kembali murni sebagai binatang [misalnya: tahan pada suhu panas dan dingin ekstrim bagi orang biasa]. Maka, mereka diobati dengan kedisiplin, yaitu diperadabkan menjadi manusia kembali dengan ancaman-ancaman hukuman fisik. Karena sifatnya yang menyimpan potensi brutalitas, maka pengobatannya pun memuat unsur brutalitas seperti menjinakkan binatang.
Pandangan tersebut berakar dalam pandangan bahwa manusia dianggap sebagai binatang rasional; dan binatang dipandang mempunyai sifat anti-alam dan negativitas yang mengancam tatanan. Kegilaan memuat kekerasan seperti binatang sehingga dengan mudah dijustifikasi bahwa orang gila itu sama dengan binatang buas. Namun, sebenarnya tradisi Katolik juga menagalami kegilaan irrasional, yaitu memaknai Salib sebagai jalan keselamatan. Kristus telah datang dan berada di antara orang-orang gila. Dia datang untuk orang-orang yang tersingkir dari masyarakat dan memilih menjadi gila dan dianggap gila oleh masyarakatNya. Namun, melalui kegilaanNya itu, Dia dapat menyelesaikan tugas perutusan BapaNya dan mengalahkan kekuasaan dosa. Maka, kegilaan adalah bentuk kepurnaan atau akhir pembebasan terhadap hal-hal duniawi lewat pilihan salib. Yesus punya nafsu untuk berada bersama, berbelas kasih kepada orang-orang gila dan yang tersingkir dari masyarakat. Nafsu inilah yang merupakan panggilan untuk berbelas kasih kepada orang-orang yang tersingkir dari masyarakat, termasuk orang gila. Seperti halnya kematian sebagai batas kewaktuan manusia, kegilaan adalah batas akhir kebinatangan. Namun, Yesus datang untuk menyucikannya dan merangkulnya menjadi bagian karya penyelamatanNya. Jadi, realitas kegilaan adalah realitas purna manusia.
Pemikiran tentang kegilaan mulai berkembang dan dijelaskan tempat munculnya adalah dari sisi irrasionalitas manusia. Dalam irrasionalitas, kita dapat menyingkap adanya mekanisme kebebasan yang kejam dan ngeri seperti binatang. Semua itu hanya dapat dipahami dengan irrasionalitas, sehingga akan sangat tidak mungkin dapat dijelaskan dengan suatu kewajaran. Maka, kegilaan juga dapat dikatakan sebagai bentuk empiris dari irrasionalitas manusia. Suatu gagasan yang menjadi konter-irrasionalitas adalah rasionalisme yang dapat menjadikan kita waspada akan bahaya irrasionalitas yang mengancam ruang kebebasan absolut terbuka lebar. []
Yang menjadi penyebab kegilaan adalah nafsu. Awal kegilaan adalah gangguan pikiran sebagai hasil kebutaan manusia, meyerah pada hasrat ketidakmampuan untuk mengontrol nafsu. Sejak pra-Cartesian, nafsu sudah dipandang sebagai pertemuan antara jiwa dan tubuh. Maka, kegilaan juga terkait erat dengan pertemuan antara jiwa dan tubuh ini. Untuk mengendalikan dan mengontrol nafsu, pengobatan melalui humor dirasa dapat membantu. Dengan humor, kita mereduksi nafsu dengan menyeimbangkan mekanime fisik tubuh. Pemikiran nafsu sebagai penyebab kegilaan ini sudah lebih maju daripada pemikiran klasik yang menganggap nafsu sebagai kegilaan sementara dan lemah. Namun, kegilaan bukan salah satu kemungkinan yang dihasilkan oleh hubungan tubuh dan jiwa. Dia hanya salah satu konsekuensi nafsu, bahkan dia dapat berbalik melawan pola hubungan jiwa dan tubuh. Oleh karenanya, dia adalah realitas paradoksal. Dia merupakan kesatuan hubungan yang kokoh atau utuh, tetapi sekaligus rapuh dan sewaktu-waktu dapat hancur lebur.
Perkembangan pemikiran selanjutnya menjelaskan bahwa asal-usul kegilaan adalah impresi ketakutan yang terkait dengan macetnya atau terkait dengan tekanan dari syaraf pusat, yang dibatasi oleh obyek tertentu. Kemudian, jiwa akan memberi perhatian khusus dan berlebih pada obyek tersebut, mengisolasinya secara ketat sehingga terpisah dari hal-hal lain. Selanjutnya, muncullah imaginasi yang tidak langsung berkorelasi dengan obyek yang mendapat perhatian berlebih dari jiwa. Dengan demikian, perhatian dan imaginasi itu menarik tubuh untuk mengekspresikannya sebagai suatu tindakan yang terasa disetujui dengan sangat pasti oleh jiwa. Sebagai realitas paradoks, kegilaan ini diawali dengan nafsu, tetapi sekaligus memutus hubungan dengan nafsu ketika sudah solid sebagai suatu bentuk ekspresi. Ekspresi itu pun menjadi sangat spontan dan labil karena sudah sangat solid, tanpa butuh pertimbangan lagi.
Dalam hal ini, kegilaan dapat disebut sebagai kekacauan imaginasi sehingga apa yang rasional –dengan sendirinya- terpisah dari yang irrasional; dan yang tidak nyata pun muncul seakan-akan sebagai kenyataan empiris. Sedangkan imaginasi sendiri merupakan hal biasa, yang tidak dapat serta merta disebut sebagai kegilaan. Tetapi, jika imaginasi itu dimutlakkan menjadi suatu kebenaran tunggal-absolut, barulah imaginasi itu menjadi suatu kegilaan. Di sisi lain, kegilaan seperti ini justru menempatkan penalaran logis dengan sangat ketat terhadap kebenaran absolutnya. Hal tersebut menjadi irrasional setelah mengisolasi diri dengan semua hal lain di luar kebenaran itu. Dan, kebenaran logika murni itu sering tidak sinkron dengan ekspresi tubuhnya atau tidak dapat secara penuh dapat diekspresikan oleh tubuh dan bahasa. Di sinilah kita dapat menemukan kesempurnaan tersembunyi sebuah bahasa. Sehingga, bahasa tertinggi kegilaan adalah adalah rasionalitas, tetapi terkurung oleh keketatan imaginasi. Keyakinan dan imaginasi kompleks itu mengkonstitusikan ketidakwarasan. Misalnya, seorang yang telah insyaf karena membunuh anaknya sendiri merasakan quilty feeling yang sangat hebat, sehingga dia marah pada iblis yang telah memperalat dia. Maka, fantasi iblis itu sekonyong-konyong hadir dalam hidupnya, ada di depannya, sehingga dia dapat bercakap-cakap dengan iblis itu, berteriak-teriak, marah dan mengamuk untuk melawan iblis yang terlihat nyata di depan matanya. Proses keketatan logika ini tampak jelas, tetapi memutlakkan kebenaran imaginasinya sehingga muncullah ketidakwarasan dalam tingkah laku dan kata-katanya.
Pada zaman klasik, kegilaan sebenarnya sudah dianggap sebagai sesuatu yang muncul dari penyakit. Klasifikasinya adalah penyakit yang punya kegilaan di dalamnya dan penyakit yang tidak punya kegilaan di dalamnya. Kegilaan yang implisit ini terdapat dalam semua perubahan pikiran. Secara fisik bercirikan munculnya tingkah laku ekstrim di luar kebiasaannya. Sedangkan pemahaman dan diskursus menutup seluruh wilayah kegilaan. Abad klasik mendefinisikan kegilaan sebagai ketidakwarasan. Dan abad XVIII mendefinisikan kegilaan sebagai gangguan keseimbangan otak yang disebabkan penyakit dari luar tubuh. Kemudian, bahasa merupakan struktur pertama dan terakhir dari kegilaan sekaligus bentuk dasarnya. Dalam bahasa, kegilaan menyuarakan hakekatnya secara ketat dan terkonstitusi logis.
Ada juga penjelasan yang menyatakan bahwa apa yang muncul dalam kegilaan tidak ada bedanya dengan apa yang muncul dalam mimpi. Orang diyakinkan dan berkelana dalam dunia khayal yang tidak real secara spontan dan arbitrer. Namun, kegilaan lebih kompleks daripada mimpi karena dalam keadaan terjaga mimpi itu diekspresikan sebagai keyakinan akan kebenaran. Kegilaan mengambil hakekat asali mimpi yang membawa kebingungan dan khayalan saja, tetapi hal itu tidaklah keliru. Hal itu menjadi keliru ketika khayalan itu diafirmasi atau dinegasi secara ketat dan tidak mau membuka peluang untuk hal lain.
Dalam definisi dari Ensiklopedi, kegilaan merupakan penyimpangan dari rasio dengan yakin dan percaya teguh bahwa jika orang melakukannya –bagi saya inilah yang disebut gila. Definisi ini kelihatannya dipakai untuk menjelaskan kegilaan dalam pendekataan yang berpijak dari definisi kebenaran. Pertama, kebenaran fisik yaitu relasi yang akurat sensasi kita dengan obyek-obyek fisik. Dalam hal ini, kegilaan merupakan kemustahilan mengabulkan kebenaran fisik yang berupa halusinasi atau ilusi. Kedua, kebenaran moral yaitu ketepatan relasi antara obyek-obyek moral dengan diri kita. Dan yang disebut kegilaan adalah semua hal yang menghilangkan relasi ini, menghilangnya relasi antara obyek-obyek moral dengan diri kita. Misalnya, kegilaan relasi, kegilaan karakter dan kegilaan nafsu. Sehingga kegilaan juga dapat didefinisikan sebagai semua kekacauan pikiran semua ilusi cinta-diri dan semua nafsu ketika mereka dibawa pada titik kebutaan, karena kebuataan adalah karakteristik kegilaan yang paling menonjol.
Kegilaan itu menyatukan semua yang negatif yang bersifat paradoks ketiadaan karena dia memanifestasikan diri, meledak dalam tanda, kata-bahasa dan tingkah laku tubuh. Kegilaan disebut paradoks karena sebagai ketiadaan, kegilaan dapat memanifestasikan dirinya dengan meninggalkan dirinya, mengharapkan pemahaman dalam level rasio, sehingga bertentangan dengan dirinya sendiri. Maka, rasionalitas yang menagguhkan kegilaan selalu mungkin dan perlu, sampai pada batas yang sama bahwa kegilaan tidak rasional. Trend pengurungan pada abad XVII-XVIII –sebenarnya- esensinya adalah mengembalikan kegilaan itu [ketiadaan] kepada hakekat dirinya, tidak untuk menghilangkan bahaya atau membuang dari tatanan sosial di mana mereka berakar. Kurungan adalah penekanan adanya ketiadaan. Model seperti ini diakui sebagai cara untuk mengembalikan kegilaan pada kebenaran kegilaannya. []
Dalam mengulas aspek-aspek kegilaan,
ada klasifikasi yang cukup jelas, yaitu: Mania dan Melankolia; serta
Histeria dan Hipokondria. Dalam penjelasannya, penulis banyak
menggunakan terminologi dan penjelasan melalui kajian psikologi klinis,
bahkan anatomis, medis-kedokteran, yang dieksplisitasikan dalam bahasa
sastra puitis yang multi-interpretasi. Mengenai melankolia, abad XVIII
mendefinisikannya sebagai semua bentuk kegilaan yang terdapat dalam
semua bentuk data kualitatif seperti: kesedihan, kepahitan, pilihan atas
kehampaan, ketidakberdayaan –yang menjadi gejala-gejala melankolia.
Semua itu tidak lagi dimaknai sebagai ketidakwarasan seperti yang
didefinisikan oleh zaman klasik, tetapi serangkaian kelembaman,
keputusasaan, serangkaian kondisi yang membosankan, isolasi diri,
memfokuskan diri pada kepahitan, kelesuan dan kehampaan. Dalam hal ini,
pikiran melankolia hanya terfokus pada satu obyek tunggal saja.
Sedangkan dunianya terlihat lembab, dingin dan berat.
Mengenai mania, abad yang sama mendefinisikan sebagai pendeformasian semua ide dan konsep, selalu menyalahkan pencitraan diri sendiri, kehilangan kongruensi antar mereka sendiri; dan dapat dikatakan bahwa totalitas pemikiran terganggu dalam relasi esensialnya dengan kebenaran. Ciri utama dari mania adalah perasaan keberanian dan kemarahan yang meluap-luap, terus menerus kasar; dan sikap-sikap tubuh menanifestasikan tingkah laku yang meledak-ledak. Sehingga pasien ini tidak akan takut akan panas dan dingin yang ekstrim bagi orang biasa. Materi pemikiran mania ini sudah tidak koheren lagi. Oleh karena itu, ketika mengungkapkan rasa riang ataupun marah selalu berlebih-lebihan, yang ditandai dengan percepatan aliran darah yang mengalir dalam tubuhnya. Sedangkah dunia mania terasa panas, kering, rapuh dan sangat biasa dengan kekerasan. Dua realitas –melankolia dan mania ini- secara ketat lebih berfokus ke arah pencitraan fisik, tetapi sebenarnya, pencitraan itu berasal dari suatu nilai yang lebih bersifat simbolik. Dua realitas ini juga disebabkan oleh penyebab yang sama dan diobati dengan terapi obat yang sama pula.
Klasifikasi kedua adalah histeria dan hipokondria, yang sejak abad XVIII telah diklasifikasikan ke dalam jajaran penyakit jiwa. Dikatakan bahwa kedua realitas ini merupakan dua bentuk yang berbeda dari satu penyakit yang sama. Penjelasan terhadap dua penyakit ini masih terkesan spekulatif karena sangat banyak teori yang berusaha untuk menjelaskannya. Pada zaman klasik, dua penyakit ini sering disebut penyakit kegelisahan, seperti juga halnya melankolia dan mania. Mengenai histeria, penyakit dinilai jarang muncul. Penyakit ini muncul di antara afeksi-afeksi yang tidak teratur dari fungsi alamiahnya. Pada hakekatnya, para histeria sangat bergairah. Gejala kegairahannya lebih mirip seperti imaginasi. Ketika orang sedang mengalami histeria, acap kali mereka akan mengalami gangguan perut, yang rasa sakitnya dapat menyebar ke seluruh tubuh. Namun, pasien histeria mempunyai kepekaan internal yang tinggi dan bagus. Mengenai hipokondria, penyakit ini juga dinilai jarang sekali. Hipokondria merupakan penyakit yang terdiri atas kelemahan atau kehilangan fungsi-fungsi vital binatangnya. Gejalanya kadang-kadang hanya berupa halusinasi-halusinasi yang hanya berkaitan dengan kesehatan saja. Namun, jika pasien sedang mengalami hipokondria, mereka –sebenarnya- menderita penyakit itu di seluruh tubuhnya. Kepekaan internal hipokondria ini terasa kasar, dibandingkan dengan kepekaan internal histeria. []
*) Kegilaan dan Peradaban adalah buku terjemahan kedua dari Madness and
Civilization, A History of Insanity in Age of Reason by Michel Foucault.
Diterjemahkan oleh Yudi Santoso; penerbit Ikon Teralitera, Yogyakarta;
cetakan pertama, 2002.
0 komentar:
Posting Komentar