Menyoal tentang Penggusuran

Menyoal tentang Penggusuran

R.B.E. Agung Nugroho

Sebagai warga ibukota, kita sudah tidak asing lagi dengan adanya penggusuran warga miskin kota. Biasanya, istilah penggusuran akan selalu dikaitkan dengan tindak kekerasan yang dilakukan oleh pihak penggusur kepada pihak tergusur. Banyak seruan juga menghendaki dihentikannya penggusuran. Namun, praktek ini sampai sekarang pun masih terus berlangsung.

Mengapa praktek seperti ini masih terus berlangsung sampai sekarang? Rasanya, kurang ada keseriusan untuk menyikapi hal ini. Kejatuhan pada lobang yang sama terus berulang dan membawa korban yang semakin banyak. Salah satu hal yang membuat praktek ini terus berlangsung adalah adanya diskomunikasi antara pihak penggusur dan tergusur. Bentuk diskomunikasi ini sangat beragam, mulai dari Surat Peringatan Pengosongan Tanah yang tidak dapat direspon warga sampai suara warga yang tidak terdengar oleh pihak penggusur.

Akibat dari adanya praktek ini –yang dieksplisitasikan dengan cara paksa- adalah dampak sosial yang luas. Akibat itu antara lain: warga tergusur jelas kehilangan tempat tinggal, pekerjaan juga terancam, nasib anak-anak sekolah terputus, kerugian material yang diakibatkan karena penggusuran dan dampak psikologis yang pasti membawa trauma tersendiri bagi warga yang belum siap, khususnya kaum perempuan dan anak-anak. Semua ketimpangan yang ada ini, apakah tidak dapat diminimalisir? Haruskah penggusuran –yang dapat dikatakan dalam polesan kata-kata indah- tetap dilaksanakan dalam bentuk seperti yang kita lihat sampai saat ini, meski memuat risiko banyak orang menjadi pengungsi di negeri sendiri?

Model Solusi Alternatif

Sebenarnya, ada jalan untuk membuka komunikasi antar kedua belah pihak: penggusur dan tergusur. Suatu jalan komunikasi antara kedua belah pihak tersebut sebenarnya sudah berlangsung dalam kasus perencanaan penggusuran Eks Bandara Kemayoran yang secara khusus, dilakukan oleh warga Blok Blok B 3 Dusun Angkasa RT 17/RW 06, Gunung Sahari Selatan, Kemayoran, Jakarta Pusat, dengan pihak Direksi Pelaksanaan Pengendalian Pembangunan  Komplek Kemayoran (DP3KK) tahun 2004-2006. Meskipun kasus ini belum sepenuhnya selesai, tetapi jika disistematisasikan konsepnya akan dapat dijadikan wacana untuk pencarian solusi alternatif dalam permasalahan penggusuran pemukiman miskin kota. Lalu, bagaimanakah komunikasi itu dapat dilaksanakan?

Pertama, pihak penggusur harus jauh-jauh hari sebelumnya menyatakan status tanah yang akan dikosongkan, memberi penjelasan kepada warga tentang semua hal yang akan direncanakan untuk tanah tersebut. Biasanya, ada kelemahan di sini, yaitu: proses komunikasi yang searah saja. Artinya, pihak penggusur serasa ‘kurang-mau-tahu’ situasi warga dan membuat Surat Peringatan Pengosongan Tanah dalam jangka waktu sekian hari atau bahkan jam. Kekurang-mau-tahuan itulah yang menghambat komunikasi dua arah; dan mengakibatkan terjadinya tindak penggusuran yang tidak sedikit derita dan kerugian yang ditanggung warga. Maka, himbauan penggusur hendaknya terbuka atas tanggapan dari warga. Terbuka dalam arti membuka kesempatan untuk dialog.

Kedua, pihak warga sudah selayaknya menyatukan pikiran dan keinginan mereka untuk menanggapi himbauan dari penggusur. Kesatuan suara dari warga ini juga membantu pihak penggusur untuk mengetahui keinginan warga ketika benar-benar membuka diri untuk forum dialog. Gerakan warga untuk menjawab tanggapan itu perlu satu suara. Hal ini dapat dijembatani dengan mengadakan pengkoordinasian oleh team bentukan warga yang menerima mandat dari warga. Team inilah yang menjadi fasilitator sekaligus perumus untuk menyatukan suara warga, supaya tidak pecah dan memudahkan pihak penggusur. Kita yakin bahwa warga miskin kota sudah banyak yang mampu untuk menyusun koordinasi dan pengorganisasian diri mereka guna menanggapi pihak penggusur. Hal ini mungkinkan karena proses pembelajaran mereka yang sudah kenyang dengan permainan kucing-kucingan  kasus penggusuran.

Ketiga, ketika team sudah terbentuk dan mulai membawa petisi dan juga memegang mandat warga, sudah dapat diadakan proses dialog antara warga dan penggusur. Team sebagai wakil calon tergusur dan pihak penggusur sudah mulai dapat bertukar pikiran, mencari jalan penyelesaian yang sebaik mungkin. Di sinilah, kita mulai diajari untuk bersikap dengan lebih manusiawi. Artinya, meninggalkan cara-cara lama yang cenderung berbau kekerasan dan seolah-olah buta akan derita absurditas sesamanya sendiri. Bahkan, cara lama seperti itu sudah menjadi lagu favorit untuk menyelesaikan kasus tanah, yaitu: penggusuran.

Proses ketiga ini dapat menelorkan dua kemungkinan, pertama: proses dialog dapat mencapai kata sepakat antara kedua belah pihak; dan kedua: proses dialog menjadi semakin jauh dari kata sepakat dan dialog macet. Kemacetan ini sebenarnya tidak hanya dapat terjadi pada proses ketiga, tetapi sudah dapat terjadi pada proses sebelumnya. Artinya, inisiatif baik dari team bentukan warga tidak mendapat respon positif dari penggusur. Hal ini dimungkinkan dengan berkembangnya stigma negatif yang diberikan kepada warga miskin kota. Apakah stigma seperti itu dapat dikaji kebenarannya, dan sejauhmana itu dianggap benar jika dilihat dalam pelbagai macam perspektif? Hal ini sangat subyektif dan selalu mengusung kepentingan untuk menjatuhkan warga miskin kota. Proses pengkriminalisasian warga miskin kota dalam tataran wacana dan menimbulkan stigma negatif ini dapat menjadikan proses komunikasi semakin tersendat.

Dalam keberadaan macet seperti inilah fungsi pihak ketiga menjadi penting. Pemilihan pihak ketiga ini pun harus mempertimbangkan uji kenetralan supaya pihak ketiga tidak condong ke kanan atau ke kiri. Dalam kasus seperti ini, KOMNAS HAM adalah mediator yang paling tepat. Mengapa? Proses pengosongan tanah yang akan dilaksanakan ini memuat pemiskinan nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung dalam hakekat manusiawi kita. Artinya, secara hakiki, kita sebagai eksistensi bertubuh ini membutuhkan ruang untuk hidup, bertempat tinggal secara layak. Kebertubuhan juga membutuhkan ruang untuk menghidupi kebertubuhan itu, yaitu mencari nafkah secara layak. Anak-anak yang punya hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak pun menjadi terancam dengan adanya penggusuran. Hak bersuara juga tersumbat ketika suara untuk mengangkat hak-hak tersebut diabaikan, bahkan dianggap tidak mempunyai legalitas untuk mengungkapkan diri dan bereskpresi. Belum lagi adanya kecenderungan untuk termanifestasikannya tindak kekerasan dalam praktek penggusuran itu. Di sinilah KOMNAS HAM mempunyai kompetensi dan legalitas atas dasar kewibawaan hukum dan wewenang.

Dalam proses keempat, pihak ketiga mulai ikut membantu terbukanya kembali dialog dengan menolak adanya tindak kekerasan. Di sini, KOMNAS HAM hanya berfungsi sebagai mediator yang memberikan perspektif-perspektif baru untuk menerangi kasus yang sedang dihadapi. Mediasi ini dimaksudkan untuk menentukan kata sepakat antara team warga dan penggusur dengan bantuan KOMNAS HAM.

KOMNAS HAM –dalam hal ini- memberikan perspektif perjuangan nilai-nilai kemanusiaan universal. Artinya, dari sisi moral dan etika yang berakar dari hak asasi manusia, KOMNAS HAM hendaknya menyumbangkan proses penyadaran akan pentingnya nilai-nilai hakiki kemanusiaan ini. Perspektif moral-etis ini juga yang dipakai untuk membantu penyelesaian sengketa lahan secara damai. Pendekatan dalam setiap proses realisasi penggusuran perlu mendapat tekanan sendiri-sendiri. Misalnya, mulai dari ancaman yang membuat keresahan dan pelbagai bentuk intimidasi serta memungkinkannya oknum-oknum tidak bertanggung jawab memanfaatkan hal ini. Bahaya kriminalisasi target gusuran juga sering terjadi dalam proses ini. Selanjutnya, pelaksanaan penggusuran sendiri, serta dampak setelah penggusuran itu, juga perlu mendapat tekanan yang berbeda dengan bertolak pada pendekatan moral-etis dan nilai-nilai kemanusiaan.

Dalam proses ini, ketika dialog dengan bantuan pihak ketiga sudah mencapai kata sepakat, maka sudah dapat masuk ke dalam proses peresmian kesepakatan secara legal melalui perjanjian hitam di atas putih dengan saksi pihak ketiga tersebut. Itu proses yang  keempat. Atau, masih melanjutkan perpanjangan proses dialog atau mediasi untuk mencapai kata sepakat. Perpanjangan mediasi ini sangat mungkin terjadi sebagai konsekuensi jalan damai yang tetap diprioritaskan. Dalam proses mediasi yang diperpanjang ini, biasanya akan tarik ulur masalah waktu persiapan penggusurannya, penetapan ganti rugi yang sesuai dengan kedua belah pihak, tawar menawar adanya relokasi bermukim, kelanjutan akses pekerjaan dan penghasilan, kelanjutan akses pendidikan anak-anak sekolah dan meminimalkan dampak psikologis, traumatis, dari proses penggusuran itu. Seakan-akan memang segala permasalahannya memojokkan pihak penggusur, tetapi sebenarnya, ini adalah usaha bersama kedua belah pihak untuk mencapai proses pembentukan civil society. Artinya, masyarakat dilibatkan dalam pengambilan-pengambilan keputusan penting yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Proses keempat adalah setelah tercapainya kata sepakat antara kedua belah pihak, yaitu proses dokumentasi resmi melalui perjanjian legal tentang kesepakatan tersebut. Proses ini sebenarnya hanya bersifat legalistis saja, tetapi juga mempunyai kekuatan hukum untuk mengikat kedua belah pihak dalam kontrol saksi, pihak ketiga yang menjadi mediator tercetusnya kesepakatan itu. Jadi, proses legalitas ini mempunyai ikatan yang menjadi jaminan akan terlaksananya kesepakatan sesuai dengan apa yang tertulis.

Proses kelima adalah pelaksanaan kesepakatan yang ada. Artinya, apa yang telah dijadikan kriteria bersama untuk proses pembebasan lahan itu mulai direalisasikan dengan sebaik-baiknya. Proses ini dapat berisi penyelesaian kasus per kasus mengenai pembebasan lahan. Jadi, jika sudah ada warga yang mencapai kesepakatan personal dengan team penggusur untuk pembebasan tanah huniannya, sudah dapat berjalan sendiri. Jadi, tim warga yang dibentuk itu juga sebagai perwakilan dari warga sendiri untuk menyampaikan aspirasinya. Ketika aspirasi itu mencapai kata sepakat, warga dapat secara pribadi menyelesaikan kasus per kasus tanah huniannya karena akses untuk bargaining dengan penggusur sudah ada, berkat perjuangan mereka sendiri. Sedangkan kesepakatan umum tentang relokasi, penentuan harga ganti rugi bersama, kelanjutan akses pekerjaan, penghasilan dan pendidikan anak-anak masih tetap terjamin.

Proses keenam –sebenarnya- adalah kemungkinan yang paling buruk terjadi, yaitu dilanggarnya kesepakatan bersama itu. Jika kesepakatan bersama itu dilanggar oleh salah satu pihak, pihak yang lain dapat segera memprosesnya melalui jalur hukum yang ada. Ini dimungkinkan karena sudah ada perjanjian legal diantara kedua belah pihak, perjanjian berdasarkan itikad baik. Pihak ketiga –sebagai saksi- berkewajiban membantu proses penegakkan fungsi legal dari perjanjian yang telah dibuat.

Proses Pembelajaran

Seluruh proses ini memang membutuhkan kejelian dan perjuangan yang tidak mudah. Namun, dalam kasus Kemayoran proses ini dapat berjalan dengan cukup baik. Adanya penggusuran dengan jalan damai ini bukan berarti melegitimasi atau setidaknya mengafirmasi kesetujuan dengan adanya penggusuran, tetapi sebagai bentuk upaya pembangunan kesadaran masyarakat terhadap hak-hak asasi manusia dan kesadaran moral-etis yang tidak semata-mata berjalan kaku dan dingin dalam bahasa hukum yang kerap kali tidak sesuai antara konsep dan realitasnya. Penyelesaian ini menjadi bentuk alternatif dan dapat dikatakan memuat progresivitas dalam hal metode penyelesaian. Artinya, progress itu terlihat pada –pertama- mulai terbentuknya kantong-kantong yang mandiri dari warga sendiri untuk melakukan proses advokasi secara mandiri. Kedua, sisi positif dari pihak penggusur/pemerintah karena mau duduk bersama mendengarkan dan mencari solusi bersama dengan warganya. Mereka dapat saling mengungkapkan harapan dan kesulitan mereka untuk mencari solusi bersama. Ketiga, sebagai implikasi dari dua hal itu adalah munculnya kesadaran yang lebih maju tentang konsep abstrak moral, etika dan hak dasar manusia yang mulai sejalan dengan praksis kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Keempat, munculnya kesadaran baru akan sisi transendensi nilai-nilai moral-etis yang mampu mengatasi bahasa hukum yang relatif kaku. Di sini juga memuat unsur proses perealisasian hukum yang humanis di negara ini. Implikasinya, dapat menurunkan tingkat kekerasan dalam proses pembebasan tanah yang menjadi sengketa. Kelima, proses ini menjadi suatu kajian, wacana baru dan mungkin proses induktif tentang metode penyelesaian alternatif –sementara- yang paling baik untuk kasus penggusuran. Di sini dimaksudkan bahwa melalui proses ini, mungkin dapat diterapkan secara metodis dalam beberapa kasus yang lain dengan mempertimbangkan kekhasan masing-masing kasus, diadaptasikan dalam konteks tertentu, sehingga dapat membantu pemerintah dan juga warga dalam penyelesaian kasus sengketa permukiman miskin kota. Dan, terakhir yang paling penting adalah munculnya benih-benih konkret dari perjuangan pembangunan civil society dalam masyarakat kita. Pemerintah dan warga dapat duduk berdampingan mencari solusi bersama atas suatu masalah yang sedang dihadapi, tanpa ada kekerasan dan praktek penggunaan kekuasaan yang sewenang-wenang. Kontrol masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pihak penguasa mulai berjalan –meski dalam skala kasuistik dan partial. Namun, justru mulai dari hal-hal yang  partial inilah masyarakat mulai belajar proses memperjuangkan hak-haknya, merealisasikan bargaining power-nya kepada pemerintah, menyatakan hak-haknya secara lebih berani, tertata, logis dan sistematis. Itulah yang menjadi suatu bentuk progress jika penyelesaian kasus eks-Bandara Kemayoran ini dapat selesai. Karena sampai saat ini, penyelesaian kasus ini baru berjalan pada tahap kelima, yaitu pelaksanaan kesepakatan setelah mediasi dengan bantuan KOMNAS HAM. Namun, ketika pelaksanaannya nanti akan berhasil dalam penentuan ongkos bongkar (ganti rugi) yang memungkinkan berlangsungnya akses pekerjaan, penghasilan, kelanjutan sekolah bagi anak-anak dan pindah tempat tinggal yang layak. Sehingga, harapannya adalah semoga sistematisasi ini dapat menjadi salah satu pembelajaran secara metodis untuk penyelesaian kasus ancaman penggusuran di pelbagai kawasan ibukota yang lain di masa mendatang. Sebagai cara alternatif, model ini masih terus dapat dijadikan diskursus yang terus dikaji, dikritisi, diperdalam dan disempurnakan.

0 komentar:

Posting Komentar