PROBLEM & STRATEGI PENGENTASANNYA
[Editor: Bagong Suyanto]
[Editor: Bagong Suyanto]
Resensi oleh
R.B.E. Agung Nugroho
UKURAN DAN PENGERTIAN KEMISKINAN
Pertanyaan yang paling mendasar adalah “siapakah orang miskin itu?” Ada banyak cara mengklasifikasikan orang miskin. Salah satu contohnya adalah poor [miskin], very poor [sangat miskin] dan poorest [termiskin]. Ada juga yang mengklasifikasikan kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Ada pula yang mengklasifikasikan berdasarkan pemenuhan kebutuhan kalori per hari, dan sebagainya. Namun, intinya, salah satu kebutuhan dasar yang paling hakiki tidak terpenuhi untuk kelangsungan hidup secara hayati yang dibutuhkan bagi semua makhluk hidup, yaitu: sandang, pangan dan papan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, miskin berarti ‘tidak berharta benda’. Sedangkan orang yang mengalami kemiskinan tersebut biasanya menerima stigma negatif dari orang lain. Kaum miskin diidentikan dengan sumber kriminal, mengganggu keindahan kota, sumber penyakit sosial dan sebagainya.
Pelbagai klasifikasi kemiskinan tersebut kadang kala kurang menyentuh aspek keadilan. Artinya, tolok ukur kemiskinan kurang menyentuh aspek keadilan. Dalam konteks Indonesia, pembangunan yang dilakukan pemerintah sering dipakai sebagai kedok untuk alasan mampu menurunkan angka kemiskinan. Tesis ini memakai tolok ukur peningkatan Gross National Product [GNP]. Tesis ini sekaligus menghilangkan sumbangan ekonomi non pasar karena tidak terhitung di dalam proses penghitungan GNP. Dan tesis ini pun menghilangkan aspek keadilan karena peningkatan pembangunan itu tidak memperhitungkan distribusi ekonomi masyarakat. Dengan prinsip keadilan, pembangunan seharusnya juga adil dalam distribusi. Artinya, pembangunan tersebut dapat mengatasi ketimpangan ekonomi dan memenuhi kebutuhan non-materi [misalnya: rasa aman, penghargaan, akses ekonomi, persamaan hak, kebebasan politik, dsb].
Tidak dapat dipungkiri bahwa kemiskinan merupakan fenomena multidimensional. Kita hendaknya bersikap kritis terhadap angka statistik yang kerap kali dilaporkan tentang kemiskinan di Indonesia, termasuk langkah-langkah pengentasannya. Lebih dalam, kemiskinan sebenarnya adalah fenomena alienasi. Artinya, akses terhadap kekuasaan dan pilihan-pilihan hidup menjadi terbatas karena kondisi miskin tersebut. Oleh karena itu, sikap kritis terhadap fenomena kemiskinan hendaknya menjadi dasar untuk melihat fenomena ini secara lebih komprehensif.
Kita juga sering mendengar terminologi tentang kemiskinan, kecukupan dan kesenjangan. Ketiga hal tersebut selalu dilematis. Artinya, konsep abstrak yang terkandung di dalam ketiga hal tersebut sering tidak mendeskripsikan secara jujur realitas yang ada. Maka, kegunaan sikap kritis terhadap fenomena kemiskinan dapat membebaskan kita dari proses pembodohan dalam menerima konsep-konsep abstrak yang terkait dengan kemiskinan.
Yang menjadi keprihatinan dalam fenomena kemiskinan adalah isu lingkaran setan kemiskinan. Artinya, jika perundangan yang berlaku tidak dapat ditegakkan secara benar atau berpihak pada golongan tertentu saja, lingkaran setan kemiskinan hanya akan memperlebar ruang ketimpangan diantara kaya dan miskin di negeri ini. Apalagi, merebaknya penyakit mondial yang telah merusak pola hidup semua orang di dunia, yaitu sikap konsumtif. Sikap ini telah berkembang menjadi fenomena konsumerisme, terutama di negara-negara berkembang yang menjadi pangsa pasar negara-negara dunia pertama.
Secara ringkas, kemiskinan dapat diklasifikasikan dalam 5 jenis berdasarkan faktor penyebabnya, yaitu:
1. Kemiskinan karena kolonialisme. Kemiskinan yang ada disebabkan oleh penjajahan atau pendudukan oleh orang asing.
2. Kemiskinan karena tradisi sosio-kultural. Kemiskinan ini disebabkan oleh aturan adat dan pola hidup yang sudah membudaya di dalam kultur masyakarat tertentu yang kurang mempunyai sikap progresif.
3. Kemiskinan karena terisolasi. Artinya, daerah yang miskin tersebut disebabkan oleh tertutupnya akses terhadap daerah lain [dunia luar] sehingga hanya mengandalkan apa yang ada di dalam daerah tersebut.
4. Kemiskinan struktural. Kemiskinan ini disebabkan karena tidak meratanya kepemilikan modal, lahan pekerjaan dan struktur kualitas SDM.
5. Kemiskinan alami, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh minimnya SDA yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan.
Semua negara di dunia bersuara untuk memerangi kemiskinan, setidaknya itulah yang menjadi pernyataan resmi negara-negara di dunia, bukan potret realitas yang mereka hadapi. Beberapa usaha konservatif pun telah dilakukan. Misalnya: pembukaan lapangan kerja padat karya. Artinya, memanfaatkan sebanyak mungkin tenaga kerja dalam suatu proyek pembangunan besar-besaran. Atau, secara lebih moderat, pemerintah memberikan perhatian secara khusus kepada kaum miskin. Secara konkret, mereka berusaha meningkatkan dan mengembangkan potensi yang ada dalam diri kaum miskin melalui pendidikan yang terjangkau atau bahkan gratis. Pun pula, memberikan kesempatan luas bagi kaum miskin untuk memperoleh akses pelayanan publik sama seperti yang lain, misalnya: kesehatan, transportasi, perdagangan, peribadatan, dsb.
PEMBANGUNAN DAN KEMISKINAN
Dalam pidato Presiden Soeharto di depan sidang DPR RI pada tanggal 16 Agustus 1991, seolah-olah dia berusaha menyemangati rakyat dengan membuka diri terhadap permasalahan kemiskinan yang ada di Indonesia. Namun, semua itu hanyalah isapan jempol dan formalitas protokoler kenegaraan dalam rezim Orba. Selama Orba, segala yang berbau jelek dan tidak layak dilaporkan selalu dipoles dan dihilangkan sehingga yang dilaporkan hanyalah hal yang baik saja. Prinsip Asal Bapak Senang [ABS] masih menjadi pedoman penyusunan laporan dalam birokrasi kepada atasan.
Pembangunan di Indonesia memang meningkat, tetapi kesenjangan ekonomi antara kaya-miskin semakin lebar. Maka, disarankan bahwa studi kemiskinan dan upaya pemberantasannya hendaknya berdasarkan pada pendekatan kesejahteraan sosial ekonomis [social economic prosperity approach] dan mengedepankan pendekatan keamanan [security approach]. Meski demikian, kita hendaknya tetap kritis terhadap tolok ukur dalam setiap pendekatan tersebut karena sering kali pendekatan tersebut digeneralisir menjadi proyek nasional yang berusaha memperdaya kelompok minoritas dan lemah, terutama kaum miskin itu sendiri.
Dengan kata lain, pembangunan yang sudah dan sedang berlangsung tidak secara langsung menyentuh aspek kemiskinan, khususnya kemiskinan di perkotaan. Seolah-olah fenomena kemiskinan di perkotaan hanya di biarkan merebak karena perang terhadap kemiskinan yang terus didengungkan hanyalah sebagai jargon yang tanpa arti dan membingungkan [meaningless and confused]. Pengakuan terhadap adanya realitas kemiskinan saja tidak cukup. Seharusnya, pembangunan yang menitikberatkan pengentasan kemiskinan inilah yang perlu ditekankan.
Pada masa Orba, standart yang dipakai untuk mengukur kemiskinan masih sangat rendah. Program Inpres Desa Tertinggal [IDT] yang dikatakan berhasil hanyalah isapan jempol belaka. Banyak pakar ekonomi dan ilmu sosial skeptis dengan keberhasilan IDT ini. Rasanya, kemiskinan hanya dilihat dari sektor moneter belaka, tanpa melihat aspek non-materinya. Fenomena ini sangat kentara di kalangan petani pedesaan. Tanah mereka diperas [agriculture squeezed] karena penggunaan metode intensifikasi. Mereka harus memenuhi kebutuhan pertanian yang mahal, sedangkan harga komoditi pertanian rendah dan harga produk agroindustri lebih mahal. Mereka kalah bersaing dengan sektor industri yang mulai berkembang. Belum lagi, ada banyak proses birokrasi yang harus dilengkapi. Organisasi petani diikutisertakan dalam kegiatan berpolitik dengan pelbagai bentuk upeti, uang partisipasi, iuran politik yang tidak jelas penggunaannya. Sedangkan kebebasan serikat buruh dan petani selalu di bawah kontrol pemerintah. Maka, bargaining position mereka sangat lemah dan selalu disetir oleh pemegang kekuasaan sehingga pembangunan hanya menyebabkan fenomena pemiskinan yang lebih luas dan kesenjangan ekonomi yang semakin lebar.
Jika melihat potensi SDA dan men power, Indonesia merupakan negara yang kaya. Namun, jumlah penduduk yang besar lebih merupakan kendala daripada potensi karena dilekati ciri-ciri yang tidak menguntungkan, misalnya: tingkat fertilitas tinggi, struktur penduduk muda, distribusi penduduk tidak merata dan tingkat pendidikan serta ketrampilannya sangat rendah. Belum lagi, warisan budaya feodalisme dan orientasi kepada status daripada prestasi. Sedangkan suprastruktur politiknya dimonopoli oleh satu partai Golkar dengan alasan semu demi terwujudnya negara kesatuan dengan dasar Pancasila. Sistem perundangan dan realisasinya pun belum sepenuhnya berpihak pada sektor informal. Akhirnya, masalah suksesi kepemimpinan nasional seolah-olah ditabukan. Sehingga, yang tercipta adalah bertambahnya jumlah pengangguran daripada penurunan angka kemiskinan. Jumlah pengangguran terus bertambah karena monopoli di bidang ekonomi sangat kokoh dengan ditopang struktur kekuasaan dan politik yang berpihak kepada pemilik modal. Oleh karena itu, birokasi di Indonesia masih tergolong sangat kotor sehingga pembangunan yang dilakukan seolah-olah hanya diperuntukkan bagi sekelumit kelompok tertentu saja.
PERSPEKTIF TENTANG KEMISKINAN
Kemiskinan adalah suatu ketidakberdayaan. Padahal, keberdayaan itu adalah fungsi budaya. Artinya, berdaya atau tidaknya orang tergantung dari determinan-deterniman sosial budaya, misalnya: posisi, status sosial, wawasan dan modal yang dimiliki. Oleh karena itu, gerakan untuk membudayakan keberdayaan itu menjadi kunci untuk mendekati kemiskinan. Perspektif ini mengandaikan kesadaran bahwa ada lingkaran setan dalam sistem kebudayaan yang berkembang di tengah masyarakat. misalnya: budaya feodal, penggunaan status kekuasaan yang tidak semestinya dan sistem kepercayaan pada nasib yang telah digariskan dalam diri setiap orang. Oscar Lewis menyebutnya lingkaran setan kebudayaan kemiskinan. Artinya, perilaku kemiskinan itu sudah menjadi sistem budaya dalam masyarakat dan sistem itu dikontrol rapi oleh pemegang kekuasaan yang ada. Dari perspektif ini, langkah yang dapat diambil adalah memberdayakan [empowering] masyarakat bawah, yaitu membudayakan keberdayaan atau segala potensi SDA dan SDM yang ada. Prosesnya adalah masyarakat kelas bawah mempunyai budaya melek huruf, melek bahasa, melek fasilitas, melek hak, melek ilmu, melek informasi dan melek yang lain-lainnya.
Perspektif lain adalah kemiskinan adalah suatu bentuk ketidakwajaran sosial karena disebabkan oleh tatanan yang tidak adil, yang sering dikenal sebagai kemiskinan struktural. Landasan dari perspektif ini adalah konsep kemiskinan sebagai suatu konsep kultural karena sifatnya relatif. Kesadaran akan adanya kemiskinan struktural ini terjadi karena proses pembelajaran akan ideologi dan pengaruh arus industrialisasi yang menjadi hasil pembangunan. Sejak zaman kolonial sampai zaman pasca kolonial, blaming the victim menjadi lagu favorit untuk memojokkan kaum lemah. Mereka seharusnya yang harus dibela karena berada dalam posisi korban. Analisis dari perspektif ini menunjukkan bahwa tatanan institusional dan struktural selama ini terbukti berpihak kepada yang sudah mapan. Sedangkan cara yang dipakai untuk mengentaskan korban kemiskinan selama ini hanyalah bersifat karitatif. Artinya, mereka seolah-olah dibantu dengan sedekah dan santunan yang sebenarnya hanyalah pembiusan terhadap hak-hak asasi mereka. Hal itu dilakukan supaya mereka tidak melawan dan tetap dapat terus dibodohi.
Perspektif yang lain lagi adalah kemiskinan sebagai standart tingkat hidup yang rendah yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standart kehidupan umum yang berlaku dalam masyarakat umum. Jika dilihat dari perspektif kesehatan, kemiskinan dan kesehatan adalah lingkaran setan yang tak terpisahkan [vicious circle]. Salah satu standart peningkatan taraf hidup adalah meningkatnya derajat kesehatannya. Keadaan sakit dan ketidakmampuan merupakan sebab utama ketergantungan seseorang, sedangkan standart hidup yang rendah mempengaruhi keadaan sakit dan kesakitan. Lingkungan miskin pasti akan menghadapi masalah sanitasi lingkungan yang kurang baik. artinya, kemiskinan merupakan salah satu sumber masalah kesehatan, dan keadaan yang tidak sehat akan menjadikan orang mengalami kemiskinan [dalam arti tertentu] karena tidak dapat produktif. Namun, langkah yang paling strategis adalah bagaimana menyehatkan orang miskin. Karena ketidakmampuan mereka, secara logis, kaum yang mampulah yang dapat mengerjakan sesuatu untuk mendukung kesehatan orang miskin. Berangkat dari promosi kesehatan yang sesungguhnya, orang miskin dapat terjangkau dan terjamah sehingga terbantu untuk meningkatkan produktivitas. Misalnya, menyediakan akses kesehatan yang terjangkau dan memikul tanggung jawab moral bersama atas permasalahan yang menyangkut sanitasi lingkungan. Dengan demikian, perhatian kepada kaum miskin semakin intens sehingga mampu menggugah untuk menyehatkan struktur dan institusi yang menjadi sumber penyakit sosial, yaitu kemiskinan.
KEMISKINAN DI PERKOTAAN
Proses pemiskinan masyarakat di kota bermula pada arus migrasi dari desa ke kota. Masyarakat lebih memilih trend instan dengan memasuki dunia industri daripada sektor pertanian. Maka, mereka bermigrasi ke kota dan menjalankan sektor informal sebagai pedagang atau pekerja kasar lainya. Tingkat pendidikan yang rendah dan ketrampilan yang kurang hanya menempatkan para migran tersebut pada tempat-tempat rendah. Sehingga muncullah pemukiman kumuh [slum area] di kota. Apalagi, secara struktural, pendekatan birokrasi tidak memihak mereka, bahkan justru discriminate against para migran tersebut. Hal ini terjadi karena pihak yang menguasai sumber daya ekonomi tidak memiliki solidaritas sosial untuk membantu para migran untuk lepas dari lilitan kemiskinan. Dari sisi para migran sendiri, mereka kurang mampu membangun organisasi yang kompak untuk bersuara, sehingga yang muncul hanyalah tokoh-tokoh kharismatis yang mudah hilang dan gerakan sporadis yang tidak serempak. Dari sisi pemerintah daerah, mereka tidak mempunyai komitmen untuk meredistribusi sumber daya ekonomi secara merata. Maka, penanganan kemiskinan seperti ini tidak dapat hanya menyalahkan kehadiran perumahan mewah di pelbagai tempat. Tetapi, kesenjangan itu sudah ada sejak awal, hanya tidak disadari dan semakin melebar ketika secara fisik terwujud dalam bentuk pembangunan real estate di pelbagai tempat. Oleh karena itu, pemerintah perlu membuat perencanaan kota yang baik. Artinya, memperhatikan sungguh proses pendirian segala bentuk usaha bermodal besar dengan mempertimbangkan dampak bagi masyarakat sekitarnya. Kepentingan masyarakat setempat yang luas menjadi pertimbangan yang patut mendapat prioritas supaya distribusi sumber daya ekonomi dapat merata dan jurang kaya-miskin dapat semakin berkurang.
Salah satu proses pendekatan terhadap kaum miskin kota adalah kebijakan pembangunan pemukiman. Setidaknya ada tiga kebijakan publik tentang pembangunan pemukiman bagi kaum miskin, yaitu:
1. Rumah Model RSS [Rumah Sangat Sederhana]. Model RSS ini memungkinkan munculnya pemukiman kumuh yang baru. Hal ini disebabkan karena penghuninya tidak mempunyai pekerjaan dan penghasilan yang tetap sehingga sangat sulit dipastikan kelangsungan kehidupan yang layak. Dan, penambahan jumlah anggota akibat angka kelahiran atau pertambahan jumlah angka migrasi. Apalagi, tidak ada penyuluhan dan pendampingan pemerintah secara resmi dan berkala pada para penghuni rumah model RSS. Kendalanya adalah akses RSS inipun masih dinilai sangat tinggi bagi masyarakat kelas terbawah.
2. Program penataan dan perbaikan pemukiman kumuh menjadi perkampungan yang secara fisik tidak tergolong kumuh. Program ini hendaknya dilakukan secara berkelanjutan dengan memperhatikan karakteristik warganya.
3. Kebijakan pembangunan perumahan 1:3:6. Artinya, satu rumah mewah, tiga rumah menengah dan enam RSS. Kendalanya adalah jika rumah-rumah itu menjadi satu komplek, maka komunikasi diantara penghuninya pasti tidak dapat berjalan karena status ekonomi yang berbeda jauh dan menimbulkan kesenjangan sosial yang lain. Dan konsekuensinya adalah pemerintah harus mempunyai Rencana Detail Tata Ruang Kota [RDTR] sehingga kendala yang dikhawatirkan dapat diatasi, yaitu dengan menyediakan komplek-komplek bagi kelas atas, menengah dan bawah. Namun, komitmen untuk menyediakan tempat bagi semua kelas sosial itu harus dipenuhi sesuai dengan kebijakan 1:3:6.
Keberadaan program perumahan tersebut sebenarnya tidak efektif. Artinya, pembangunan rumah-rumah tersebut biasanya tidak tepat sasaran karena yang dapat mengakses rumah tersebut adalah golongan menengah ke atas. Ketika peruntukan itu sudah masuk dalam jalur birokrasi, maka yang berbicara adalah bahasa bisnis, yaitu mencari keuntungan atas program perumahan itu. Model kredit yang dinilai mudah oleh pemerintah masih belum mampu diakses oleh kelompok masyarakat yang sebenarnya berhak atas peruntukan rumah tersebut. Namun, pemerintah seolah-olah menutup mata atas realitas ini. Belum lagi, terjadi perkawinan antara pemegang kekuasaan dengan para kontraktor yang diserahi tender untuk menyediakan perumahan bagi masyarakat. Maka, biaya tender itu pun sudah melambung tinggi sehingga harga kredit untuk perumahan itu sendiri sangat sulit terjangkau oleh masyarakat. Ini membuktikan bahwa pemerintah tidak konsisten dengan komitmennya, atau masih jelek dengan Rencana Tata Ruang Wilayahnya [RTRW].
KEMISKINAN DI PEDESAAN
Ternyata fenomena kemiskinan tidak hanya menjadi masalah di kota saja. Fenomena kemiskinan juga menjadi masalah besar di pedesaan. Beberapa faktor penyebab kemiskinan di desa, yaitu:
1. Adanya pemusatan kepemilikan tanah yang dibarengi dengan fragmentasi pada arus bawah masyarakat desa. Artinya, jumlah penduduk terus meningkat, tetapi luas tanah tidak pernah bertambah. C. Geertz menyebutnya sebagai pembagian kemiskinan [shared poverty]. Semakin jumlah penduduk bertambah, maka penguasaan akan tanah semakin sempit bagi setiap orang.
2. Nilai tukar hasil produksi warga pedesaan khususnya sektor pertanian yang semakin jauh tertinggal dengan hasil produksi lainnya, termasuk di dalamnya kebutuhan hidup warga pedesaan.
3. Lemahnya posisi masyarakat petani di desa dalam mata rantai perdagangan. Petani tidak dapat menentukan sendiri harga berasnya.
4. Karakter struktur sosial masyarakat desa yang terpolarisasi. Hasil-hasil pembangunan biasanya dinikmati terlebih dahulu oleh kaum berduit dan sisanya oleh warga sekitar yang lebih membutuhkan.
Sebagai salah satu upaya yang dapat ditempuh adalah pemetaan yang jelas tentang lokasi kemiskinan di desa. Setelah itu, menyiapkan kemandirian massa dalam hal berorganisasi sehingga mereka mampu mengekspresikan diri sebagai kelompok dan mampu bersuara kepada pemerintah. Apalagi, ada peraturan otonomi daerah yang semakin mengkerucutkan fokus pemberantasan kemiskinan dalam level lokalitas tertentu sehingga akan lebih intensif dan dalam.
Masalah yang sering menjadi refren permasalahan petani adalah permainan harga jual [nilai tukar] yang tidak sebanding dengan modal yang dikeluarkan. Hal ini sangat menyiksa para petani ‘gurem’ [petani kecil yang memiliki lahan di bawah seperempat hektar]. Ketika KUD tidak dapat membantu mereka mendistribusikan berasnya, mereka pasti akan menghadapi para tengkulak yang akan mempermainkan harga dasar gabah mereka. Keadaan tersebut membuat para petani sering mengalami over stock karena mempertimbangkan kerugian yang mungkin akan mereka alami. Kondisi seperti ini mengakibatkan banyak petani menjadi kurang bergairah untuk bercocok tanam. Hal inilah yang meningkatkan arus migrasi dari desa ke kota.
Untuk menanggulangi permasalah kemiskinan di desa ini, perlu dicanangkan program pembangunan desa yang berkelanjutan. Artinya, warga diajari untuk peka dan lebih mementingkan proses pembelajarannya daripada sekedar hasilnya. Peran pemimpin sangat besar di sini, yaitu bagaimana menjadi fasilitator dan mediator yang membawa kepentingan kaum petani kepada publik. Maka, pembentukan forum-forum warga dan lembaga swadaya masyarakat yang murni berkerja bagi perjuangan kepentingan kaum miskin. Jadi, organisasi yang dibangun bukanlah atas dasar ABS atau formalitas yang tanpa memuat unsur pemandirian warga. Harapan yang paling besar adalah warga dapat semakin mandiri dalam menghadapi permasalahan di sektor pertanian dan belajar memecahkan persoalan yang terkait dengan sektor pertanian.
UPAYA PENGENTASAN KEMISKINAN
Beberapa hal yang ditawarkan sebagai usaha mengentaskan kemiskinan adalah sebagai berikut :
1. Pengembangan modal program IDT. Ide dasar dari program ini cukup baik karena menawarkan suatu pendekatan yang didasarkan pada Community Based Resources Management Approach. Model ini tampaknya menjadi suatu optimalisasi swakelola dan prakarsa masyarakat serta lembaga lokal. Sasaran dari program ini cukup jelas dan ditetapkan secara serius. Namun, seringkali istilah Inpres menunjukkan pada model Top Down Blue Print Approach yang masih tunduk pada birokrat dalam segala bentuk pelayanan sosial. Jangan sampai IDT jatuh ke dalam model Inpres tersebut, karena memuat ciri negatif: tidak menghargai feed back dari masyarakat, memuat proses dehumanisasi, membatasi kreativitas masyarakat, cenderung mengabaikan peranan kelembagaan dan kapasitas lembaga dan bersifat uniform serta mengabaikan variasi sosio-kultural. Sedangkan yang diidealkan dari IDT adalah pengambilan keputusan dan prakarsa dipegang oleh masyarakat setempat, fokus utamanya adalah untuk memperkuat kemampuan masyarakat dan mengidentifikasi,menguasai dan memobolisir sumber yang ada dalam masyarakat, bersifat toleran terhadap keragaman kepentingan dan menghargai hak individu dalam memilih apa yang baik bagi mereka dan kultur kelembagaan lebih diwarnai adanya kolusi antara birokrasi lokal dan self managing unit. Untuk keberhasilan program IDT tersebut ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu: meningkatkan kualitas Kelompok Swadaya Masyarakat [KSM], adanya orientasi program yang jelas dengan sumber informasi yang lengkap dan deskripsi karakteristik kemiskinan serta penyebabnya, dan selalu butuh pengawasan atas distribusi bantuan. Jika ketiga hal ini tidak diperhatikan, boleh jadi program IDT adalah kesempatan bagi para birokrat untuk melakukan korupsi besar-besaran.
2. Menumbuhkan ‘empati’ kepada orang miskin. Hal ini memang terlihat sepele dan kurang intelek. Namun, kedekatan relasi dengan orang akan dibantu dapat membantu untuk memahami kebutuhan dasar dan karakteristik serta sumber persoalan yang sesungguhnya. Sehingga bantuan dan langkah-langkah yang diambil tidak meleset dari sasaran. Rasa empati ini sangat penting dimiliki oleh siapa saja yang ikut membantu program pengentasan kemiskinan, terutama personel yang langsung terjun ke lapangan sebagai tenaga penyuluh atau pendamping KSM, termasuk di dalamnya tenaga pengajar [guru]. Pendekatan persaudaraan dan gotong royong dipakai untuk membangun relasi yang berdasarkan rasa empati kepada orang yang membutuhkan bantuan finansial maupun dukungan moril dan spiritual.
3. Perencanaan untuk orang miskin. Hal ini lebih menjadi tanggung jawab para pemegang kekuasaan yang telah diberi mandat untuk membuat kebijakan-kebijakan publik. Perencanaan ini harus bersifat holistik, sistematis dan berkelanjutan. Dalam hal ini, perlu ada sentralisasi, ada penjabaran operasional sesuai dengan partikularitas sosio-kultural masyarakat setempat dan mekanismenya diawasi melalui sentralisasi serta membuka kesempatan publik untuk menanggapi dan mengkoreksi setiap langkah perencanaan yang ditawarkan kepada orang miskin.
4. Mengentaskan kemiskinan melalui pendekatan lingkungan. Di sini, lingkungan dilihat sebagai sumber kehidupan, yaitu tempat mencari dan memenuhi kebutuhan hidup. Oleh karena itu, kreativitas masyarakat menjadi sangat penting untuk semaksimal mungkin dapat dipakai sebagai modal mengolah SDA yang dimiliki. Upaya ini mengandaikan adanya tingkat pendidikan dan keahlian akan suatu ketrampilan yang mencukupi.
5. Mengatasi kemiskinan lewat spiritualitas bersama. Artinya, sebagai suatu realitas bangsa yang majemuk dengan perlbagai corak budaya dan semangat spiritualitasnya, bangsa Indonesia harus mengembangkan spiritualitas kebersamaan. Relasi yang baik sebagai saudara sebangsa menjadi dasar untuk membangun dan mengembangkan bangsa ini bersama-sama, serta mempunyai tanggung jawab yang sama dalam hal memerangi masalah kemiskinan di negeri ini.
6. Zakat untuk mengurangi kemiskinan umat perlu pendekatan yang lebih konvensional. Hal ini dimaksudkan supaya sumbangan atau bantuan apapun yang diberikan kepada kaum miskin tidak menjadi suatu alasan ketergantungan. Artinya, dalam pemberian zakat dan pelayanan karitatif lainnya, harus selalu memuat unsur mendidik mereka. Proses pendidikan inilah yang sebenarnya perlu karena akan mengajari mereka untuk tidak tergantung dari zakat atau bantuan yang diberikan. Secara sederhana, kita hendaknya berzakat secara cerdas. Hal ini dapat dijembatani dalam pengajaran di dalam agama masing-masing, yaitu tentang kesadaran sosial yang mendidik.
7. Menyatakan perang terhadap kemiskinan secara frontal dengan cara, tidak hanya memihak kepada kaum miskin, tetapi juga memberi perlindungan sehingga akan terbentuk jaring-jaring sosial yang kuat diantara mereka. Perang ini memuat empat prioritas, yaitu : memperkuat posisi tawar dan memperkecil ketergantungan kaum miskin terhadap kelas sosial di atasnya serta memungkinkan diversifikasi usaha di kalangan mereka ; memberikan bantuan permodalan dengan bunga rendah dan berkelanjutan ; memberi kesempatan kepada mereka untuk dapat terlibat menikmati hasil produksinya dengan ikut menentukan menetapkan harga yang adil ; mengembangkan potensi dan kemampuan kaum miskin untuk lebih trampil dan ahli dalam memberikan ‘nilai tambah’ pada produk dan hasil usahanya.
Semua usaha pengentasan kemiskinan itu sebenarnya dapat diringkas dengan pendekatan participatory dan emansipatory. Participatory hendaknya tidak hanya diterjemahkan sekedar partisipasi. Hendaknya dipahami bahwa memuat ciri pentingnya pemilikan kemauan aktif untuk dapat terlibat langsung mulai dari pendefinisian masalah sampai proses dan evaluasi akhir setelah proses berlangsung. Sedangkan emansipatory dipahami sebagai penolakan terhadap pola hubungan ekonomi atas-bawah, tuan-hamba, superior-interior, majikan-kuli; tetapi berdasarkan pola hubungan ekonomi yang memberikan kesempatan sama, duduk sama rendah berdiri sama tinggi.
Merci beaucoup!!!
0 komentar:
Posting Komentar