-Sebuah kajian analitis tentang 6 film bertema Nazi
sebagai karya seni yang memotret realitas historis-
A. PROLOG
Antara tahun 1933 sampai 1945, pada masa itu, di Eropa praktis tidak ada kejadian paling fenomenal selain kemunculan dan geliat Nazi yang dipimpin oleh Adolf Hitler. Di bawah Nazi dan Hitler, Jerman memang seperti dilahirkan kembali. Meski sudah kalah dalam Perang Dunia I (PD I) dan “dihina” melalui perjanjian Versailles 1919, semangat Jerman untuk berkuasa atas seluruh Eropa tidak padam. Di bawah kepemimpinan Adolf Hitler, Nazi nyaris menguasai benua Eropa lewat gebrakan Reich Ketiga. Hampir seluruh kontinental Eropa ditaklukkan kecuali Swiss, Spanyol, Liechtenstein, Swedia, Portugal, Andorra, Vatican dan wilayah Ural. Selain kedigdayaannya yang mencuat, Nazi juga dituduh bertanggung jawab atas kematian puluhan juta jiwa semasa Perang Dunia II (PD II). Sisi gelap lainnya yang populer adalah kekejaman Hitler dengan menghabisi lawan-lawan politiknya dan pembantaian atas bangsa Yahudi secara sadis.
Sebagai salah satu sejarah dunia yang sangat menghebohkan, Hitler dan Nazi telah menjadi bahan kajian dalam pelbagai wacana ilmiah dan research historis, bahkan menjadi bahan tulisan dan cerita film layar lebar yang tiada habis digali. Salah satu kajian yang paling menarik adalah realitas historis ini dikemas dalam bentuk film layar lebar dengan pelbagai perspektif dan kreativitasnya. Tulisan kecil akan mengkaji 6 film yang bertema Nazi,(1) yaitu: Der Unter Gang (Down Fall), Life is Beautiful, The Pianist, Schindler’s List, Amen dan The Devil’s Arithmetic. Film-film tersebut akan diperbandingkan dengan pertanyaan dasar: bagaimana kreativitas dan interpretasi orang terhadap sejarah Nazi Jerman yang dikemas dalam bentuk film? Apakah yang menjadi cirikhas dari masing-masing film yang ingin ditonjolkan dalam melihat sumber sejarah yang sama?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, tulisan ini akan dibagi menjadi beberapa bagian. Pertama, penulis akan memberikan sinopsis atas 6 film yang akan dibahas (B). Kemudian, penulis akan memaparkan fenomena kemunculan anak kecil dalam setiap film dan menawarkan suatu pemaknaan atas adegan fenomenal munculnya figur anak kecil dalam film yang bersetting kekejaman Nazi(C). Setelah itu, penulis akan menunjukkan kelebihan dari film sebagai karya seni yang sekaligus menjadi sarana untuk aksesibilitas terhadap fakta historis(D). Dan akhirnya, penulis akan memberikan simpulan-simpulan pada bagian penutup tulisan ini (E).
B. SINOPSIS DAN INFORMASI PENTING TENTANG FILM
1. Der Unter Gang (Down Fall)
Sutradara : Oliver Hirschbiegel
Penulis naskah : Bernd Eichinger
Jenis Film : Drama, semi-dokumenter
Aktor/aktris : Bruno Ganz (Adolf Hitler), Alexandra Maria Lara (Traudl Junge), Corinna Harfouch (Magda Goebbels), Ulrich Matthes (Joseph Goebbels), Juliane Köhler (Eva Braun), Heino Ferch (Alberth Spencer), Christian Berkel (Dr.Schenck), Matthias Habich (Werner Haase), Ulrich Noethen (Heinrich Himmler).
Cinematografi : Rainer Klausmann
Musik : Stephan Zacharias
Tahun : 2004
Durasi : 155 menit
Bahasa asli : Jerman
Penghargaan : film terbaik, pemeran terbaik
Berdasarkan pada buku “Inside Hitler’s Bunker” karya Joachim C. Fest dan kesaksian Sekretaris pribadi Hitler, Traudl Junge, yang baru mau bercerita pada usia 81 tahun dan Melissa Müller dalam buku “Bis zur letzten Stunde”.
Berlin, April 1945 terjadi serangan tentara Rusia terhadap tentara Jerman dan sudah memasuki Berlin. Adolf Hitler (Bruno Ganz) memutuskan untuk mundur dan masuk ke dalam bunkernya bersama dengan orang-orang terdekatnya. Di antara orang-orang terdekatnya, terdapat seorang gadis muda berusia 25 tahun yang bernama Traudl Junge (Alexandra Maria Lara), yang telah menjadi sekretaris pribadi Hitler serjak tahun 1942. Meskipun fakta sudah sangat jelas bahwa Berlin sudah tidak dapat lagi dipertahankan, Hitler yang telah disarankan oleh orang-orang terdekatnya untuk meninggalkan Berlin, tetap menolak untuk meninggalkan kota tersebut dan menanggung realitas bahwa orang-orang kepercayaannya gagal menjalankan tugas-tugasnya. Bahkan, Hitler merasa ditinggalkan oleh orang-orang terdekatnya dengan menilai bahwa mereka sudah tidak sepenuhnya loyal padanya. Ketika perlawanan terakhir tentara Jerman sudah tidak memungkinkan lagi untuk mempertahankan Berlin, Hitler –yang disebut sebagai the Fuehrer, pemimpin- memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri bersama dengan istrinya, Eva Braun.
Tokoh-tokoh yang digambarkan dalam film ini merupakan tokoh-tokoh kunci dalam sepak terjang Nazi Jerman di bawah komando Hitler. Mereka itu misalnya: Martin Bormann, Paul-Joseph Goebbels, Hermann Wilhem Goring, Otto Skorzeny, Walter Richard Rudolf Hess, Heinrich Himmler, Alberth Spencer, dll. Meskipun tidak semua secara visual diperlihatkan, tetapi nama-nama mereka sangat mewarnai perjalanan terakhir Hitler di bunker-nya bersama orang-orang terdekatnya. Secara historis, film ini memang memperlihatkan dari dekat hidup Hilter menjelang saat kekalahannya dari kesaksian sekretaris pribadinya, Traudl Junge dan Melissa Müller.
2. La Vita è bella (Life is Beautiful)
Sutradara : Roberto Benigni
Penulis naskah : Roberto Benigni dan Vincenzo Cerami
Jenis Film : Drama komedi-romantik.
Aktor/aktris : Roberto Benigni (Guido Orefice), Nicoletta Braschi, Giustino Durano, Olidia Alfonsi, Sergio Bini Bustric, Giuliana Lojodice
Cinematografi : Shaila Rubin
Musik : Nicola Piovani
Tahun : 1997
Durasi : 116 menit
Bahasa asli : Italia
Penghargaan : Academy Award untuk Best Actor (Roberto Benigni), Best Music, Original Dramatic Score dan Best Foreign Language Film; dan masuk dalam nominasi untuk Academy Award untuk Directing, Film Editing, Best Picture dan Best Original Screenplay; serta menempati urutan ke-74 dalam Internet Movie Database dari 250 film (2006).
“Life is Beautiful” adalah film berbahasa Italya yang menceritakan tentang seorang Italya berdarah Yahudi, Guido Orefice (Roberto Benigni) yang menikah dengan gadis cantik dari kota yang berdekatan. Pernikahannya tidak direstui oleh mertuanya, bahkan sampai menghasilkan seorang anak laki-laki. Hal itu disebabkan karena Guido adalah seorang Yahudi dan istrinya berasal dari keluarga terhormat, bahkan kaya raya. Film ini bersetting pada tahun 1930-an di Italya. Guido bekerja dengan membuka toko buku, hidup sederhana dan bahagia bersama keluarganya, istri dan anaknya. Sampai pada akhirnya, Italya diduduki oleh Nazi Jerman. Karena darah Yahudinya, Guido terpaksa masuk ke dalam kamp konsentrasi bersama dengan anaknya. Karena kesetiaan dan cintanya, sang istrinya pun ikut menjalani masuk kamp konsentrasi. Untuk menjaga kebersamaan keluarga dan bertahan hidup dari ganasnya perlakuan dalam kamp konsentrasi, Guido menceritakan kepada anaknya bahwa holocaust tersebut adalah sebuah permainan dan hadiah bagi pemenangnya adalah sebuah tank. Dia berhasil mempertahankan imaginasinya dengan menggunakan kemampuan untuk bermimpi demi survival anaknya yang ikut dalam kamp konsentrasi.
Kreativitas yang ditunjukkan dalam film ini ingin memperlihatkan kemampuan survival yang dikemas dalam bentuk komedi-romantis. Ternyata ada sudut pandang lain untuk melihat kekejian Nazi, yaitu dengan berimaginasi secara nakal, konyol bahkan memang mengesankan suatu dunia rekaan yang diciptakan untuk memotret realitas historis adanya pengeliminasian etnis minoritas Yahudi oleh Nazi Jerman. Dari sisi dokumenternya, film ini sungguh-sungguh muncul dari ide kreatif dan imaginatif Roberto Benigni dan Vincenzo Cerami tanpa menghilangkan nuansa kekejaman dan kekerasan yang dialami oleh orang Yahudi dalam kamp konsentrasi.
3. The Pianist
Sutradara : Roman Polański
Penulis naskah : Ronald Harwood
Jenis Film : Drama, dokumenter, biografi.
Aktor/aktris : Adrien Brody (Wladyslaw Szpilman), Thomas Kretschmann (Capt. Wilm Hosenfeld), Frank Finlay (the Father), Emilia Fox (Dorota), Maureen Lipman (the Mother), Ed Stoppard, Jessica Kate Meyer, Julia Rayner, Ruth Platt, Michal Zebrowski
Cinematografi : Pawel Edelman
Musik : Wojciech Kilar
Tahun : 2001
Durasi : 148 menit
Bahasa asli : Polandia, Inggris, Jerman
Penghargaan : pemenang 7 Academy Award, antara lain: pemenang untuk Golden Palm (Palme d’Or) Award dalam Cannes Film Festival (26 Mei 2002), pemenang Oscar untuk Best Actor (Adrien Brody), pemenang Oscar untuk Best Director (Roman Polański), pemenang Oscar untuk Best Screenplay, pemenang Oscar untuk Best Picture, pemenang Cesar untuk Best Picture (2003).
Berdasarkan pada sebuah memoir yang ditulis oleh seorang musikus Polandia keturunan Yahudi, Wladyslaw Szpilman.
“The Pianist” menceritakan tentang bagaimana seorang pianis Polandia keturunan Yahudi bertahan hidup pada masa pembasmian bangsa Yahudi di kamp-kamp konsentrasi Jerman dengan Nazinya. Film ini berlatar belakang pada tahun 1943 saat penghancuran Ghetto di Warsawa dan tahun 1944 saat pemberontakan terjadi di Warsawa selama PD II.
Wladyslaw Szpilman (Wladek) dapat survive dalam masa pendudukan Nazi di Polandia berkat bantuan teman-temannya, bahkan juga dibantu oleh seorang komandan tentara Jerman. Awalnya, ia memang dipekerjakan di sebuah kamp dengan teror kematian yang setiap hari dialaminya. Namun, ia berhasil meloloskan diri dari kamp konsentrasi berkat bantuan teman-temannya. Ia hidup berpindah-pindah, mengalami bagaimana sulitnya mendapatkan makan dan tempat tinggal. Teman-temannya membantunya untuk mencarikan tempat tinggal beserta menyediakan makanan baginya. Selama hidup berpindah-pindah itu, ia sungguh-sungguh menyaksikan bagaimana Jerman berkuasa dan berperang melawan Rusia. Akhirnya, ia selamat dari ancaman Jerman terhadap etnis minoritas Yahudi.
4. Schindler’s List
Sutradara : Steven Spielberg
Penulis naskah : Steven Zaillian dan Thomas Keneally
Jenis Film : Drama-sejarah, biografi.
Aktor/aktris : Liam Neeson (Oskar Schindler), Ben Kingsley (Itzhak Stern), Ralph Fiennes (Amon Goeth), Caroline Goodall (Emilie Schindler), Embeth Davidtz (Helen Hirsch), Jonathan Sagall (Poldek Pfefferberg), Shmuel Levy (Wilek Chilowicz), Malgoscha Gebel (Victoria Klonowska), Mark Ivanir (Marcel Goldberg), Béatrice Macola (Ingrid), Andrzej Seweryn (Julian Scherner), Friedrich von Thun (Rolf Czurda), Krzysztof Luft (Herman Toffel), Harry Nehring (Leo John), Norbert Weisser (Albert Hujar).
Cinematografi : Janusz Kaminski
Musik : John Williams
Tahun : 1993
Durasi : 195 menit
Bahasa asli : Jerman, Polandia, Hibrani dan Inggris
Penghargaan : pemenang 7 Academy Awards, yaitu: Best Picture (sebagai film pertama yang bergambar hitam-putih sejak film The Apartment, 1960), Best Director (Steven Spielberg), Best Cinematography (Janusz Kaminski), Best Adapted Screenplay, Best Original Score (John Williams), Best Editing (Michael Kahn), Best Art Director. Selain itu, film ini juga menang dalam Best Actor (Liam Neeson) dan Best Supporting Actor (Ralph Fiennes), Best Costume Design, Best Sound, Best Make up. (selain itu menang dalam 60 penghargaan dan 22 nominasi, antara lain: British Academy Awards, the New York Film Critics Circle, Golden Globes).
Berdasarkan pada data sejarah(3) adanya golongan Yahudi Schindler yang masih berjumlah kurang dari 4 ribu jiwa yang hidup di Polandia, Ceko dan Slovakia yang mengalami sendiri masa-masa penindasan Nazi Jerman. Keturunannya sekarang sudah mencapai hampir 6 juta. Rujukan yang sering dipakai adalah sebuah novel biografi karya Thomas Keneally (Schindler’s Ark, 1982) yang merupakan kumpulan dari wawancara dengan 50 saksi hidup pada masa Schindler yang didapat dari pelbagai negara di dunia.
Oskar Schindler (Liam Neeson) adalah seorang pengusaha Jerman, anggota Partai Nazi yang sukses menjalankan sebuah pabrik (Deutsche Emailwaren Fabrik atau DEF) yang dibantu oleh Itzhak Stern. Film ini dibuka dengan sebuah ritual Sabbat dalam sebuah keluarga Yahudi, yang tiba-tiba hilang bersama matinya nyala lilin yang dipakai dalam ritual tersebut.
Setting yang diambil adalah kekuatan Jerman yang mampu mengalahkan Polandia hanya dalam seminggu. Orang-orang Yahudi segera disuruh meninggalkan rumah mereka dan melaporkan di stasiun-stasiun kereta api. Lebih dari 10 ribu orang Yahudi per hari kemudian dimobilisasi ke Krakow. Mereka dimobilisasi ke Krakow untuk digabungkan di sebuah getto yang sudah dipenuhi oleh orang Yahudi dari pelbagai daerah taklukan Jerman. Mereka dipekerjakan di getto tersebut dan diorganisir oleh Judenrat.(4) Di sinilah Schindler menemui Itzhak Stern, pemilik pabrik panci. Ia ingin membeli pabrik Stern karena orang Yahudi tidak boleh lagi menjalankan bisnis apa pun secara independen. Kemudian Schindler mengambil alih pabrik tersebut dan mengangkat Stern sebagai manajernya.
Akhirnya, mobilisasi itu diakhiri pada tanggal 20 Maret 1941 dengan tekanan keras dari tentara Jerman yang memaksa semua Yahudi masuk getto. Edict 44/91 menetapkan dibukanya secara resmi sebuah district khusus untuk orang Yahudi. Mereka dipaksa hidup di getto yang lebih mirip seperti sebuah kamp. Di sinilah Schindler mulai merekrut orang-orang yang sungguh-sungguh masih kuat dan mampu bekerja di pabriknya. Ia memanfaatkan situasi antara pilihan masuk kamp konsentrasi atau bekerja dengan upah rendah.
Lama kelamaan setelah pabriknya berjalan dan sukses meraup untung yang banyak, Schindler mulai terpengaruh oleh Stern dan mulai menunjukkan empati serta tanggung jawab kepada para buruhnya. Maka, ketika seorang komandan Nazi (Amon Goeth)(5) memaksa bahwa semua orang Yahudi tanpa kecuali harus masuk ke kamp untuk melaksanakan program kerja paksa, Schindler meminta dengan sogok supaya buruh-buruh Yahudinya tetap dapat bekerja di pabriknya. Schindler membangun barak atau kamp sendiri untuk para buruhnya yang dianggap sebagai surga bagi orang Yahudi dan tempat yang dapat menjamin kehidupan mereka. Mereka dapat terhindar dari kekejaman Goeth yang sangat suka membunuhi orang Yahudi dan mengirimkannya ke Auschwitz untuk disiksa dan dibantai.
Sebagai bentuk diplomasi dan “suap”, Schindler sering kali mengirimkan bingkisan dan mengadakan pesta dengan para pimpinan Nazi Jerman sekaligus untuk memperlancar produktivitas prabriknya. Diplomasi ini memang tertanam kuat. Pernah suatu saat, Itzhak Stern ikut terbawa dalam rombongan orang-orang yang akan dikirim ke Auschwitz, tetapi Schindler atas keberhasilan diplomasinya dapat dengan mudah mengeluarkannya.
Pada 13 Maret 1943 diadakan likuidasi atas getto yang ada. Ribuan tentara Jerman secara kejam membantai orang-orang Yahudi di sepanjang jalan di Krakow. Banyak yang berusaha melarikan diri atau bersembunyi, tetapi tetap tidak dapat luput dari kematian. Semua harta kekayaan mereka dirampas dan hanya sebagian yang masih dapat bertahan hidup dan dimasukkan ke dalam kamp baru di Plaszow. Sebagian besar buruh yang bekerja di pabrik Schindler ikut diambil, dibunuh dan dimasukan ke Plaszow. Kemudian, ia membuat pendekatan diplomatis untuk meminta kembali buruhnya yang masih hidup yang akhirnya berkat uang “suap” ia berhasil menarik kembali para buruhnya.
Di Plaszow, wanita, pria dan anak-anak dipisahkan satu sama lain. Bahkan, anak-anak diangkut dengan truk tanpa diketahui akan dibawa kemana. Beberapa anak berusaha bersembunyi di barak, bahkan masuk ke dalam septik-tank. Setiap minggu diadakan pemeriksaan kesehatan. Bagi yang sakit atau lemah secara fisik segera dikirim ke Auschwitz atau segera dimusnahkan. Oleh karena itu, mereka berusaha menunjukkan bahwa mereka tetap kuat dan sehat untuk terus bekerja.
Adegan menarik adalah hari ulang tahun Schindler yang dirayakan secara besar-besaran bersama dengan para pimpinan tentara Jerman. Dua gadis kecil Yahudi datang ke pesta tersebut dan memberi hadiah sebagai perwakilan dari para buruhnya. Schindler menerima menerima hadiah tersebut dan mencium gadis itu. Peristiwa ini menjadi skandal dan dianggap sebagai penghinaan atas partai Nazi dan ras Arya Jerman. Namun, Schindler segera meminta maaf atas kekeliruan yang telah dibuatnya tersebut.
Pada bulan April 1944, Goeth menerima perintah untuk mengumpulkan dan membakar mayat lebih dari 10 ribu orang Yahudi sebagai hasil dari pembantaian di Plaszow dan Krakow. Pembakaran mayat itu dikerjakan oleh orang-orang Yahudi yang masih hidup di kamp, bahkan mayat yang sudah dikubur dalam kuburan massal pun dipaksakan untuk digali supaya dapat dibakar sehingga menghilangkan jejak kekejaman Nazi pada saat itu. Pada adegan inilah, gadis kecil yang memakai gaun merah yang muncul pada awal film ini muncul lagi dan sudah menjadi mayat yang siap dibakar.
Orang Yahudi yang berada di kamp Plaszow akan dimobilisir untuk menghindari serangan Rusia, tetapi Schindler membuat rencana lain. Ia mendirikan pabrik sendiri di daerah kelahirannya (di Ceko). Ia berusaha menyogok Goeth dan membeli orang-orang Yahudi dengan alasan untuk dipekerjakan di pabriknya yang baru. Akhirnya, ia bersama dengan Stern membuat daftar nama (“Schindler’s List”) yang berisi lebih dari 1.100 orang pria, wanita dan anak-anak. Itulah saat dimana Schindler menyelamatkan nyawa orang Yahudi dari pembantaian oleh Nazi. Di kemudian hari, orang-orang Yahudi dan keturunannya yang berhasil diselamatkan oleh Schindler ini menyebut diri mereka sebagai “the Schindlerjuden” (Yahudi Schindler).(6)
5. Amen
Sutradara : Costa-Gavras
Penulis naskah : Costa-Gavras dan Jean-Claude Grumberg
Jenis Film : Drama-sejarah, biografi.
Aktor/aktris : Ulrich Takur, Mathieu Kassovitz, Ulrich Mühe, Michel Duchaussoy, Marcel Iures, Ion Caramitru.
Cinematografi : Patrick Blossier
Musik : Armand Amar
Tahun : 2002
Durasi : 131 menit
Bahasa asli : Inggris, Jerman, Italia
Berdasarkan pada sebuah buku berjudul Der Stellvertreter (Le Vicaire, The Deputi) karya Rolf Hochhuth. Selain itu, juga berdasarkan kesaksian Tokoh yang bernama Kurt Gerstein yang merupakan tokoh nyata, seorang komandan SS Nazi yang menjadi saksi mata atas kekejaman Nazi di kamp konsentrasi.(7)
Tokoh dalam film ini (Kurt Gerstein) bukanlah tokoh fiktif. Setidaknya, ia telah menyaksikan kekejaman dalam pembantaian tentara Nazi atas orang Yahudi di Hungaria (400 ribu jiwa), Romania (200 ribu jiwa) dan Yunani (80 ribu jiwa) serta di Jerman sendiri. Kurt Gerstein, seorang ahli kimia, doktor untuk bidang toksid sebagai obat penangkal wabah penyakit. Hasil dari keahliannya dimanfaatkan oleh Nazi karena ia adalah anggota unit paramiliter SS.(8) Pada awalnya, ia tidak tahu tentang misi rahasia pembantaian terhadap etnis minoritas Yahudi di Jerman dan Eropa pada umumnya. Yang ketahuinya adalah etnis minoritas Yahudi dimobilisasi ke kamp-kamp konsentrasi untuk dijadikan pekerja di sektor industri karena Jerman akan mengembangkan industri di bagian Timur dan Selatan.
Setelah menyaksikan sendiri pembantaian itu, ia berusaha melakukan perlawanan (diplomatik) dan mencari dukungan. Yang ia pegang teguh adalah tradisi kristianitasnya yang kuat. Imannya tidak dapat menyangkal adanya kebusukan di tubuh negaranya, Jerman. Ayah, teman-teman dan bahkan uskup pun menolak sikapnya yang berusaha mengungkap kebusukan Jerman dengan adanya pembantaian orang Yahudi. Ia juga berusaha mencari dukungan kepada duta-duta besar negara asing untuk menyampaikan kepada negaranya masing-masing adanya pembantaian oleh Nazi atas orang Yahudi di Jerman. Yang ia yakini adalah Bapa Suci (Pius XII) harus mengetahui realitas ini dan angkat bicara. Artinya, harus ada sikap yang jelas sebagai Wakil Kristus di dunia akan kekejaman ini.
Laporannya kepada Nuntius(9) dan keinginannya untuk meneruskannya kepada Bapa Suci Paus Pius XII tentang pembantaian di Polandia ditolak mentah-mentah. Namun ada seorang imam Jesuit muda yang idealis (Riccardo Fontana) yang menaruh simpati atas usaha Gerstein. Riccardo memang punya akses untuk menyampaikan kepada Tahta Suci tentang keprihatinan ini karena ayahnya (Don Fontana) adalah diplomat Tahta Suci. Pelbagai upaya diusahakan oleh dua orang ini, tetapi tetap saja Tahta Suci dan umat kristiani tidak berbuat banyak. Akhirnya, Riccardo memilih untuk mati menjadi salah satu bagian dari etnis minoritas Yahudi yang dimobilisasi ke kamp konsentrasi, meskipun sudah berusaha dikeluarkan oleh Gerstein dan salah satu komandan tentara Nazi. Gerstein akhirnya memilih keluar dari Jerman (meskipun ia menyadari bahwa kesaksiannya akan mendiskreditkan dia sebagai pengkhianat negara). Gerstein –atas anjuran istrinya- pergi ke Perancis daripada ke Amerika untuk menyatakan kesaksiannya. Ia menulis 3 versi kesaksian saat dalam penahanan Perancis dan mati di selnya tanpa diketahui penyebab pastinya.
Film ini mengangkat bagaimana Gereja Katolik menuai kritik atas kelambanan dan ketidakpeduliannya atas situasi dunia. Film ini memotret tentang “the conspiracy of silence” dalam Gereja Katolik ketika mengetahui adanya holocaust –pembantaian atas etnis minoritas Yahudi di Eropa oleh Nazi Jerman. Meskipun sudah ada pelbagai kesempatan untuk menyatakan pesan moralnya dan sikapnya atas realitas ini (misalnya: pesan Natal Pius XII), tetapi tidak diungkap sama sekali tentang Yahudi dibantai.
6. The Devil’s Arithmetic
Sutradara : Donna Deitch
Penulis naskah : Jane Yolen
Jenis Film : Drama
Aktor/aktris : Kirsten Dunst (Hannah Stern), Brittany Murphy (Rivkah), Paul Freeman (Rabbi Nochin Gershon), Mimi Rogers (Lenore Stern), Louise Fletcher (Eva), Nitzan Sharron (Ariel), Lilo Baur (Mina), Paulina Soloveicik (Sarah), Stewart Bick (Burton Stern), Shelly Skandrani (Leah), Daniel Brocklebank (Shmuel), Kirsty Mc Farland (Yetta).
Cinematografi : Jacek Laskus
Musik : Frederic Talgorn
Tahun : 1999
Durasi : 130 menit
Bahasa asli : Inggris
Penghargaan : Young Artist Award (Kirsten Dunst)
Berdasarkan dari sebuah Novel karya Jane Yolen yang menceritakan bagaimana refleksi kaum muda atas pengalaman sejarah yang sama sekali tidak pernah dia alami, tetapi hanya dipahami melalui penceritaan historiografi lisan dan tulisan.
Film ini menunjukkan refleksi dari kaum muda yang telah mempunyai “gap” sejarah dengan pengalaman historis yang telah tertulis sebagai tragedi. Segalanya harus dihitung dengan pasti, harus dapat dikalkulasi sebagai benang merah dalam era informatika yang disimbolkan dengan angka. Persentuhan peradaban simbol ini menjadi pintu masuk untuk menyeberang batas waktu dengan imaginasi nakal bahwa Yahudi pun menjadi obyek kalkulasi pada zaman Nazi.
Alur film ini dibuka dengan acara keluarga Yahudi yang sedang merayakan pesta “passover” (paskah Yahudi). Hannah Stern (Kristen Dunst) bersama keluarganya sedang merayakan passover karena mereka adalah keluarga Yahudi yang tinggal di New Roselle, USA. Pada waktu makan bersama, ada ritual membuka pintu bagi Elia (figur nabi besar bagi orang Yahudi). Hannah akhirnya dibawa ke kehidupan masa lalu tantenya, Eva (Louise Fletcher). Dalam keadaan sakit Hannah diterima oleh keluarga Rivkah (Britanny Murphy). Ia diceritakan telah mengalami shock karena orang tuanya meninggal karena wabah penyakit di Lublin, Polandia.
Kedua gadis itu akhirnya memulai perjalanan sebagai Yahudi di kamp konsentrasi pada Oktober 1941. Hannah –dengan kesadarannya- sebagai gadis Yahudi-Amerika yang hidup di abad XX sadar benar bahwa akan ada pembantaian sedikitnya 6 juta orang Yahudi. Dia dapat merasakan bagaimana di kamp konsentrasi, dilucuti, diperlakukan secara kasar, menyaksikan kekejian Nazi atas orang Yahudi. Petualangan dua gadis itu akhirnya membuahkan suatu persahabatan dengan seorang anak kecil, Sarah Deiss. Ia menyaksikan bagaimana teman-teman Rivkah digantung, pembantaian besar-besaran dengan gas beracun. Selama di kamp, Hannah mampu membangkitkan semangat hidup teman-temannya karena ia selalu bercerita tentang kehidupannya di New Rocelle, USA. Mereka juga merayakan passover di kamp.
Akhirnya, Rivkah menyatakan sumpah bahwa jika ia selamat dari kamp konsentrasi itu, ia akan mengganti namanya menjadi Eva sebagai tokoh favorit dalam cerita-cerita Hannah. Hannah dan Sarah akhirnya dibantai dengan gas karena menggantikan posisi Rivkah yang saat itu sedang sakit. Dengan daya imaginatif yang memukau, film ini diakhiri dengan setting di New Rocelle kembali, yaitu petualangan Hannah itu sebenarnya hanyalah mimpi ketika saat perayaan passover dengan keluarganya, ia pingsan. Saat sadar itulah ia menjadi tahu arti pembebasan yang dialami oleh Eva, tantenya. Apa yang dialami Hannah dalam mimpi sebenarnya adalah pengalaman Eva yang telah mempunyai ikatan emosi yang kuat dengan Hannah. Potret imaginatif pengalaman kamp konsentrasi inilah yang dijadikan nilai reflektif bagi kaum muda dengan pesan moral yang mendalam.
C. MEMAKNAI PEMUNCULAN FIGUR ANAK KECIL DALAM SETIAP FILM
Sebagai sebuah karya seni, keenam film yang bertema Nazi tersebut, semuanya masuk dalam kategori drama-perang yang memuat unsur historisnya. Penekanan masing-masing film pun berbeda satu sama lain. Dalam Der Unter Gang, yang ditekankan adalah masa akhir hidup Hitler dan runtuhnya Reich Ketiga. Secara psikologis, film ini ingin memotret kehidupan personal Hitler sebagai pemimpin Nazi Jerman secara lebih dekat berkat data historis, yaitu kesaksian sekretaris pribadinya Traudl Junge dan Melissa Müller. Salah satu komentar atas karakter Hitler ini menyebutkan bahwa pribadi Hitler adalah pribadi yang megalomania(10). Artinya, ia menganggap segala sesuatu yang berada di luar dirinya sebagai ancaman yang harus segera dimusnahkan. Simbol pemunculan anak kecil muncul dalam film ini dalam adegan anak-anak Goebbels. Secara khusus, adegan anak-anak Goebbels ini diberi tempat di sela-sela perjuangan Hitler bertahan menghadapi serangan tentara Rusia. Anak-anak ini ditunjukkan bagaimana mereka tetap bernyanyi di dalam bunker dan tengah-tengah kemelut menjelang jatuhnya iKetiga. Mereka mempunyai cita-cita untuk bertemu dengan “paman Hitler” yang telah dijanjikan oleh ayah dan ibunya. Dan, mereka pun berhasil mengadakan suatu acara keluarga Goebbels bersama dengan Hitler. Saat kondisi sudah kalut, Tradl Junge pun ditugasi untuk menjaga anak-anak Goebbels ini oleh Magda Goebbels. Namun, akhirnya, oleh ibunya sendiri, Magda Goebbels, anak-anak ini diberi racun dan dibunuh ditunggui oleh sang ayah. Hal ini dilakukan sebelum Joseph dan Magda Goebbels bunuh diri menyusul aksi bunuh diri Hitler dan istrinya (Eva Braun). Kejadian ini ingin menunjukkan bagaimana sosok-sosok orang terdekat Hilter yang mempunyai loyalitas tinggi kepada pimpinannya. Namun, di sisi lain, banyak orang terdekat Hilter yang mencoba lari dari realitas kekalahan tentara Nazi Jerman oleh tentara Rusia. Sosok Hitler yang temperamental dan mudah marah sangat ditunjukkan. Adegan anak-anak kecil yang lain adalah mereka yang ikut menunjukkan loyalitas kepada Hilter dengan ikut mempertahankan Berlin dengan ikut berperang. Hitler sempat menemui mereka dan memberikan penghargaan atas keberanian dan loyalitas mereka kepada Hitler. Pertanyaannya, apakah fenomena munculnya figur anak-anak dalam film seperti ini juga muncul di film-film yang lain?
Dalam film La Vita è bella sudah tidak diragukan lagi bahwa hampir semua adegan film itu menunjukkan imaginasi Guido, sang ayah, untuk mempertahankan hidup bersama anaknya yang ikut masuk ke dalam kamp konsentrasi. Adanya porsi untuk menunjukkan kehidupan anak kecil dengan segala keterbatasannya dalam setting kekejaman kamp konsentrasi jelas tidak dapat diragukan lagi. Meskipun titik pijaknya adalah suatu imaginasi dan karya kreatif dengan tidak menghilangkan nuansa historisnya, film ini mencoba menggabungkan antara suatu imaginasi fiktif dengan suatu realitas sejarah yang pernah ada. Tidak dapat dipungkiri bahwa film ini ingin menunjukkan adanya kreativitas jenaka yang dihidupi dalam suasana kamp konsentrasi yang berada dalam nuansa yang sama sekali berbeda. Maka, alur cerita dan adegan-adegannya juga sangat kental berbau fiktif, meski mengambil setting sejarah. Namun, mengapa figur anak kecil yang dijadikan sebagai motivasi dasar munculnya suatu imaginasi komedi dalam setting kamp konsentrasi yang sebegitu kejam?
Dalam film The Pianist, adegan yang mencolok menunjukkan adanya figur anak kecil yang dimunculkan ada dua, yaitu: pertama, adegan bersama dengan tokoh utamanya (Wladek). Seorang anak kecil yang berusaha masuk ke dalam getto Yahudi melalui lobang kecil. Kemungkinan si anak baru saja mencari makanan keluar getto karena segala sesuatu serba terbatas di dalam getto, apalagi orang-orang Yahudi dilarang keras untuk keluar getto. Dengan membawa sebungkus makanan, ia berusaha masuk, tetapi dari luar dipegangi oleh tentara yang memergokinya dan dihajar habis-habisan. Wladek berusaha menariknya ke dalam dan menolongnya, tetapi alhasil bocah ini mati di pangkuan Wladek. Yang kedua adalah saat keluarga Wladek dimobilisasi untuk dimasukkan ke dalam kamp atau getto, ada seorang anak yang menjual makanan kecil. Semua orang kebingungan dengan tingkahnya ini karena uang hasil penjualan itu pun untuk apa, tidak ada yang dapat dilakukan dengan uang banyak. Maka, keluarga Wladek membeli satu buah karamel. Kepolosan dan ketidakberdayaan yang ditunjukkan oleh dua kisah dalam film ini pun hampir senada dengan yang terdapat dalam dua film sebelumnya.
Sedangkan dalam film Schindler’s List, beberapa figur anak kecil ditunjukkan secara dekat. Pertama, adegan Schindler mencium seorang gadis Yahudi kumal dalam suatu pesta bersama dengan orang-orang Jerman. Kedua, dua anak kecil –si gadis adalah anak Yahudi, dan si anak laki-laki adalah Jerman- yang menjadi teman sekolah, mereka ternyata menjalin hubungan baik dan menyelamatkan si gadis kecil dan ibunya dari pengejaran pembunuhan tentara Nazi. Ketiga, adalah adegan anak-anak yang dimobilisasi dalam ketidaktahuannya untuk dibawa ke tempat lain oleh tentara Nazi yang kemungkinan juga akan ditempatkan di sebuah kamp konsentrasi dan dijadikan ajang kekejaman tentara Nazi. Keempat, adegan anak-anak yang berusaha mencari persembunyian untuk menghindarkan diri dari razia tentara Nazi yang ingin memisahkan mereka dari orang tuanya. Dan yang paling puncak adalah adegan bersambung dari seorang anak gadis bermantol merah yang muncul dan menjadi sorotan serta satu-satunya warna merah yang dimunculkan dalam film hitam putih. Saat terjadi kerusuhan (huru-hara), anak ini terlihat jelas sekali karena warna pakaiannya yang merah. Dan ia muncul lagi pada saat adegan pembakaran atas lebih dari 10 ribu mayat orang Yahudi oleh Goeth. Saat itu, anak ini sudah mati dan ikut dibakar bersama lebih dari 10 ribu mayat yang lain. Warna merah ini hanya muncul pada warna cahaya lilin di awal film, baju anak gadis kecil tersebut dan warna cahaya lilin pada akhir film, justru dalam film hitam putih.
Dalam film Amen, adegan tentang anak kecil muncul pada saat imam Jesuit muda yang ingin bunuh diri kelas dan ikut bergabung dengan orang-orang Yahudi dibawa dengan kereta api ke kamp konsentrasi. Saat itu, ia membantu seorang ibu yang menggendong anaknya yang masih kecil masuk kereta. Namun, ketika ibu tersebut akan dibantu untuk turun kereta saat sudah sampai di lokasi kamp konsentrasi, ibu tersebut menolak dan tetap menggendong anaknya erat-erat. Salah satu orang yang tahu mengatakan bahwa anak itu telah mati kehausan saat perjalanan di dalam kereta. Adegan kedua merupakan adegan bersambung dari ekspresi anak-anak Kurt Gerstein yang selalu memberikan salam Nazi dengan tangan diangkat dan berteriak “Hail Hitler”. Salah satu anak laki-laki Gerstein ini selalu memberikan salam ini pada ayahnya dan juga pada teman-teman tentara ayahnya. Akan tetapi Gerstein selalu melarangnya, meskipun anak itu selalu melakukannya berulang kali. Memang ada sesuatu yang ingin disampaikan melalui fenomena anak-anak yang disorot secara khusus justru dalam film yang berbau kekerasan dan perang ini.
Dalam film The Devil’s Arithmetic, adegan tentang anak muncul di awal perjalanan penangkapan orang-orang Yahudi dengan wajah yang menunjukkan keluguan dan kepolosan. Ia ikut diangkut dan bersama tokoh utama selalu disorot bagaimana tingkah kekanak-kanakannya muncul di sela-sela kejamnya kehidupan di kamp konsentrasi. Akhirnya, anak kecil ini pun ikut mati bersama sang tokoh utama di kamar gas bersama ratusan wanita yang lain. Bahkan, bayi yang baru saja dilahirkan pun disorot sebagai adegan tersendiri yang akhirnya diciduk oleh tentara Nazi dengan alasan bahwa dilarang ada bayi dalam kamp. Sebenarnya ada pesan apa yang ingin disampaikan dengan adegan khusus yang menyorot anak-anak ini dalam film-film tersebut?
Hal ini sangat menarik karena menunjukkan suatu kepolosan dan keluguan yang masih terus dipertahankan dalam nilai kemurnian seorang anak di tengah situasi chaos yang sedemikian rupa. Itu menunjukkan bahasa kemanusiaan yang mengundang keprihatinan dan rasa belas kasihan dari para pemirsa untuk berefleksi lebih jauh, bahkan refleksi kritis dalam perspektif sosial. Analisis yang sangat jelas adalah siapa pihak yang paling dirugikan dalam keadaan chaos tersebut? Yang paling menderita kerugian bahkan menanggung beban penderitaan adalah kaum perempuan dan anak-anak. Hanya saja mereka tidak dapat bersuara lantang, tidak punya perlawanan dan selalu dipojokkan dalam penindasan yang sedang berlangsung. Bahasa kemanusiaan universal sebenarnya ingin diusung dan ditonjolkan sebagai pesan moral yang paling ditekankan. Bahkan universalisasi bahasa kemanusiaan melalui gambar ini justru sangat terasa karena menunjukkan ekspresi, bahasa dan tindak-tanduk yang secara visual tergambar jelas.
Selain menyuarakan nilai kemanusiaan universal, sebenarnya hal itu juga dapat ditangkap sebagai suatu jeritan yang tidak dapat terbahasakan secara lisan yang muncul dari situasi ketidakberdayaan seorang anak. Dalam keterbatasan yang masih kental dengan kepolosan, ketidaktahuan informasi, keluguan bahkan kemurnian hati seorang anak direnggut dengan begitu kejam melalui kekerasan terhadap hak asasi manusia. Ini juga dapat menjadi potret jeritan masyarakat yang sama sekali tidak mempunyai akses mandiri akan hak-hak asasinya yang tertindas. Potret ini begitu terasa ketika memahami dunia yang terus bergejolak dengan perang dan kejahatan kemanusiaan lain yang menimpa masyarakat golongan bawah yang sama sekali tidak mempunyai akses informasi cukup, pengetahuan yang tidak memadai dan keberadaannya masih tergantung dari kehadiran orang atau masyarakat lain yang justru sudah kuat untuk melakukan advokasi. Diseminasi nilai kemanusiaan yang muncul melalui potretan bahasa kemanusiaan yang tidak terbahasakan ini justru secara lugas dan ekspresif dapat teraktualisasi dalam pemunculan figur-figur anak yang mewakili golongan lemah dan tertindas, atau tidak mencukupi bargaining power-nya untuk mengadvokasi diri sendiri secara mandiri.
Dua pesan itulah yang dikemas oleh film-film perang yang berisi penuh kekejaman, tetapi secara genuine dan khas menunjukkan perspektif lain, yaitu menawarkan suatu tatanan moralitas yang jauh lebih luhur. Tatanan moralitas itu terpotret dalam pribadi anak-anak yang muncul dalam film, yaitu kepolosan, keluguan, ketidakberdayaan, ketidaktahuan, kemurnian hati, dan sikap-sikap anak yang lainnya.
D. FILM : KARYA KREATIF UNTUK AKSESIBILITAS HISTORIS
Dalam buku “Teks-teks Kunci Estetika : Filsafat Seni” digarisbawahi bahwa kegiatan imaginasi dalam aspek kehidupan yang disebut fantasi menemukan titik kulminasinya pada film.(11) Ketika imaginasi tersebut dihayati oleh akal budi, biasanya berfungsi mengatur kembali apa-apa yang diimaginasikan. Setiap pengaturan kembali itu selalu mempunyai dua aspek,(12) yaitu: pertama, ia merupakan negasi –artinya, ada proses penyaringan dan dari sikap reflektif atas masa lalu, menanggalkan yang tidak berguna dan menyusun yang berguna. Kedua, ia merupakan pengenyaman, perpanjangan, penemuan, transformasi atau kreasi baru. Ia akan selalu mengajak untuk “melahirkan” ide-ide dan pemikiran-pemikiran yang baru, selalu kreatif untuk merancang kreativitas di masa depan.
Dalam hal ini, film merupakan bentuk hasil proses kreatif sang seniman yang berimaginasi yang mengaktualisasikan imaginasinya dalam media tertentu. Jadi, film adalah salah satu bentuk materialisasi imaginasi setelah mengalami proses kreatif seniman yang paling menonjol dibandingkan bentuk-bentuk materialisasinya yang lain. Ia mampu menampakkan kekuatan dan keluasan. Di dalam film, bentuk-bentuk materialisasi yang lain digabungkan dan mendapatkan bentuknya secara unik. Film dapat memuat suatu fakta historis sampai cerita fiksi atau drama, puisi, dansa dan tari, musik, lukisan, psikologi, agama, ideologi bahkan filsafat dalam satu rangkaian sekaligus. Namun, lebih lanjut, film merupakan jembatan yang paling canggih untuk menjembatani “dunia nyata” dan “dunia khayal”, antara “aktualitas” dan “fantasi”.(13) Jembatan ini juga dapat diartikan sebagai suatu media untuk menghubungkan peristiwa sejarah masa lalu dengan situasi konkret dan aktual saat ini.
Titik inilah yang mampu menempatkan film sebagai suatu potret akan fakta sejarah yang mampu diolah dengan daya kreatif dan proses permenungan yang melibatkan kegiatan berimaginasi sehingga mampu menampilkan keberagaman secara variatif. Maka, tidak mengherankan bahwa dalam film yang sama temanya, yaitu Nazi, setiap seniman menangkap dan menghasilkan kreativitas yang beraneka ragam. Dari fakta sejarah yang sama tetapi terpotret secara berbeda, bervariasi dan menjadi suatu pembelajaran sejarah yang mengandung tata nilai moral tertentu yang ingin disampaikan. Pesan yang ingin disampaikan inilah yang membuat diseminasi suatu ide tertentu dapat secara lugas dan bebas ditangkap oleh pemirsa. Potret kehidupan yang menjadi fakta sejarah masa lalu dipotret kembali dan dihadirkan semaksimal mungkin mendekasi aslinya dalam polesan dan kemasan dari daya kreatif sang seniman. Oleh karena itu, film dapat disebut “gambar hidup”.(14)
Sisi kelebihan film yang lain adalah kemampuan untuk dapat menciptakan jejak-jejak ingatan lebih lama seperti gores hidup sendiri. Film juga mampu menumbuhkan daya pendobrak dan penggerak emosi, penggores hati, pembangkit harapan, pemberi simpati, atau ajakan solider dengan tema yang diangkat olehnya.(15) Dalam sisi keluasan dan banyaknya dimensi yang dapat diangkat, film lebih mampu mengangkat tidak hanya satu aspek kehidupan saja atau satu peristiwa sejarah saja; melainkan mampu menampilkan suatu kehidupan yang multi dimensi dan suatu rangkaian peristiwa sejarah yang dapat direfleksikan lagi dalam pelbagai perspektif.
Tentang pengaruhnya kepada khalayak, film juga mempunyai jangkauan dunia khalayak yang lebih luas dan banyak.(16) Pengaruh media perfilman ini tidak mengherankan mampu memberikan pengaruh yang begitu besar pada kehidupan masyarakat tertentu, bahkan sampai tingkat membentuk suatu persepsi dan sebagai bentuk diseminasi ide-ide religius maupun sekuler, kemanusiaan, filsafat maupun entertainment belaka dan ideologi atau aliran pemikiran tertentu. Inilah yang dapat dirujuk sebagai kelebihan film sehingga sangat memungkinkan suatu aksesibilitas atas fakta historis yang pernah terjadi.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kelebihan-kelebihan dalam karya seni film tersebut sungguh-sungguh nyata. Artinya, dari satu peristiwa tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi dalam sejarah perjalanan peradaban manusia (Hitler dengan Nazinya), orang dapat menciptakan dan memberikan apresiasi dalam bentuk film-film dengan fokus yang berbeda-beda. Meskipun dalam salah satu fenomena pemunculan anak kecil dalam setiap film tersebut, ternyata dapat ditemukan benang merah yang berupa pesan kemanusiaan dan suatu ide tentang suatu tatanan moralitas yang justru bertolak belakang dari apa yang disajikan secara ekspresif dalam gambar hidup tersebut. Kekayaan dari khasanah yang terkandung dalam film ini memang terbukti bahwa fakta historis dapat dipotret (dengan proses kreatif dan selalu diusahakan mendekati) sebagaimana pada faktanya terjadi secara demikian. Oleh karena itu, bumbu yang diberikan dalam setiap film pun bervariasi tergantung dari fokus atau tekanan yang ingin diangkat, serta data historis yang ingin disampaikan melalui film tersebut.
Maka, tidak mengherankan jika keenam film yang dibahas di sini menunjukkan adanya ruang luas yang terbuka untuk mengakses dan memperluas pengetahuan melalui data sejarah yang digambar-hidupkan dan gambar hidup ini dihidupi (baca: dihayati) oleh para seniman yang terlibat di dalamnya dalam perannya masing-masing. Setelah itu, potretnya pun masih terus menjadi suatu kajian refleksi historis yang membuka wacana yang lebih luas untuk memperdalam kontroversi dan permasalahan historis dari apa yang ditampilkan dalam gambar-hidup tersebut. Oleh karena itu, selain sebagai gambaran hidup dari fakta historis, keenam film tersebut juga menjadi suatu kajian studi tentang sejarah yang dapat menambah pengetahuan dan wawasan tentang apa yang pernah terjadi dalam sejarah peradaban manusia.
E. EPILOG
Keenam film yang dibahas di atas merupakan suatu kajian singkat tentang bagaimana penampilan fakta sejarah yang digambar-hidupkan setelah mengalami proses kreatif dari para seniman yang terlibat di dalamnya. Hal ini menunjukkan adanya data historis yang valid dan tidak dapat diragukan meskipun telah tercampur dengan ide kreatif dari daya imaginasi para seniman yang terlibat di dalamnya. Meskipun ada suatu imaginasi yang berbau fiktif dalam film-film tersebut, tetapi bukan berarti data dalam film-film tersebut dimanipulasi sedemikian rupa sehingga mengaburkan potretan historis yang ingin ditunjukkan. Secara singkat, keenam film tersebut ingin memotret fakta historis dengan sudut pandang dan pendekatan serta studi historis yang berbeda. Selain itu, ada suatu benang merah yang dapat ditarik dari beberapa kesamaan adegan yang memberi ruang secara cukup pada adegan tentang anak-anak justru dalam keadaan chaos, bahkan massacre yang begitu kejam yang dilakukan Nazi atas orang-orang Yahudi.
Data historis yang dapat ditunjuk adalah persebaran kamp-kamp konsentrasi pada saat itu, angka tahun yang menunjukkan secara tepat dan pasti bagaimana sepak terjang Nazi pada waktu itu, jumlah korban, tokoh-tokoh yang muncul sebagai tokoh sejarah, data-data historis yang didapat dan dipelajari serta diberi bumbu kreativitas yang cukup dari kesaksian, memoir, novel sejarah, dan studi sejarah lainnya. Selain itu, apa yang ditampilkan juga dapat dirujuk kebenarannya melalui buku-buku sejarah dan juga data historis yang secara khusus menjadi kajian ilmu sejarah.(17)
Jadi, film memang menjadi media yang secara luas dan kreatif menampilkan kehidupan dalam bentuknya yang multidimensi dan dapat menjadi suatu sarana efektif untuk proses diseminasi nilai-nilai kemanusiaan universal. Dalam film-film yang bertema Nazi, aspek (tata nilai dan moralitas) kemanusiaan yang dibungkus dalam pelbagai bentuk khas disampaikan sebagai pesan kemanusiaan yang merupakan hasil refleksi historis atas tragedi sejarah kemanusiaan. Maka, kekuatan film itu justru terletak pada kekhasannya menjembatani daya kreativitas imaginasi seniman dan fakta historis yang menggambar-hidupkan kehidupan yang dihayati dalam bentuknya yang multi dimensi, serta memberikan perspektif baru yang dapat direfleksikan lebih lanjut dan membuka wacana untuk menindak lanjutinya dalam mewujudkan peradaban manusia yang lebih beradab. Itulah kehidupan yang digambar-hidupkan dan gambar- hidup yang dihidupi. ***
DAFTAR SUMBER
• Film dalam bentuk DVD
1. Amen
2. Der Unter Gang (Down Fall)
3. La Vita è bella (Life is Beautiful)
4. Schindler’s List
5. The Devil’s Arithmetic
6. The Pianist
• Kepustakaan
- Gilbert, Martin, 2006. The Routledge Atlas of Jewish History 7th Edition, London and New York : Routledge Tylor and Francis Group.
- Sutrisno, Mudji, 2005. Seni, Cipta dan Politik dalam Mudji Sutrisno, dkk, 2005. Teks-Teks Kunci Estetika: Filsafat Seni, Yogyakarta: Galang Press. (hal. 91-104).
- , Kedigdayaan Nazi Jerman (1933-1945) dalam Edisi Koleksi Angkasa, Januari 2006.
• Internet
http://en.wikipedia.org/wiki/Life_Is_Beautiful
http://en.wikipedia.org/wiki/The_Pianist_%28memoir%29
http://movie-reviews.colossus.net/movies/d/downfall.html
http://rogerebert.suntimes.com/apps/pbcs.dll/article?AID=/20030103/REVIEWS/301030302/1023
http://rogerebert.suntimes.com/apps/pbcs.dll/article?AID=/20050310/REVIEWS/50222002/1023
http://www. imdb.com/title/tt0118799/Vita è bella, La (1997)
http://www.bbc.co.uk/films/2002/07/04/amen_2002_review.shtml
http://www.bbc.co.uk/films/2003/08/14/the_pianist_2003_dvd_review.shtml
http://www.bbc.co.uk/films/2004/04/08/schindlers_list_1993_dvd_review.shtml
http://www.bbc.co.uk/films/2005/09/16/downfall_2005_dvd_review.shtml
http://www.filmsite.org/schi3.html
http://www.historyinfilm.com/schnlist/
http://www.historyinfilm.com/schnlist/plot.htm
http://www.historyinfilm.com/schnlist/plot2.htm
http://www.imdb.com/title/tt0108052/
http://www.imdb.com/title/tt0108052/usercomments
http://www.imdb.com/title/tt0253474/
http://www.imdb.com/title/tt0280653
http://www.imdb.com/title/tt0363163/usercomments
http://www.rollingstone.com/reviews/movie/_/id/5947729?pageid=rs.ReviewsMovieArchive&pageregion=mainRegion&afl=imdb&rnd=1143042768370&has-player=unknown
http://www.sfgate.com/cgi-bin/article.cgi?f=/c/a/2003/03/07/DD106190.DTL#amen
http://www.urbancinefile.com.au/home/view.asp?a=10200&s=Reviews
______________________
Catatan:
- Enam film yang bertema tentang Nazi atau terkait dengan Nazi ini hanya sebagian dari banyak film yang ingin mengangkat tentang fenomena seputar meletusnya PD I dan PD II dalam perspektif yang berbeda, sekaligus terkait dengan kemunculan sosok Hitler dan kuatnya tentara Jerman saat itu. Film-film yang lain, misalnya: Hitler: The Rise of Evil, The Life of Adolf Hitler, Stalingard, Up Rising, dll.
- Distingsi dokumenter, semi-dokumenter dan non-dokumenter berdasarkan dari penyelipan dokumenter asli sejarah yang sesuai dengan sumber sejarah aslinya. Film Der Unter Gang dikategori film semi-dokumenter karena hanya sedikit (atau tidak seluruh cerita dalam film tersebut) berisi tentang dokumenter asli.
- Oskar Schindler memang sungguh tokoh nyata dalam sejarah. Ia berhasil menyelamatkan ribuan orang Yahudi yang akan dibantai oleh tentara Nazi Jerman. Meskipun sebagai anggota Partai Nazi, ia dinyatakan sebagai orang yang tidak bersalah atas tuduhan penjahat kemanusiaan (perang) oleh suatu pengadilan Yahudi di Jerusalem. Pada tahun 1958, ia diundang ke Jerusalem untuk menanam sebuah pohon sebagai simbol perdamaian. Orang-orang Yahudi yang diselamatkannya menamakan diri sebagai orang Yahudi Schindler.
- Judenrat adalah dewan Yahudi yang beranggotakan 24 orang Yahudi pilihan yang bertanggung jawab atas segala bentuk peraturan hidup yang mengatur orang Yahudi sekaligus memantau pelaksanaannya.
- Untersturmfuhrer Amon Goeth adalah pimpinan tentara Jerman yang ditugasi untuk membangun kamp konsentrasi di Plaszow. Orang-orang Yahudi dipekerjakan untuk membangun kamp bagi mereka dan sebuah villa untuk para pimpinan Jerman. Kekejamannya sangat tidak manusiawi. Ia kerap kali membunuhi orang Yahudi tanpa alasan yang jelas selain hanya demi kesenangan untuk bermain senapan berburunya.(http://www.historyinfilm.com/schnlist/plot.htm).
- http://www.historyinfilm.com/schnlist/plot2.htm
- Kurt Gerstein pernah mengunjungi kamp di Belzec dan Treblinka (1942). Menjelang akhir PD II, ia menyerah kepada tentara Perancis. Ia dakwa sebagai penjahat perang dan dipenjara pada tanggal 5 Juli 1945 di Cherche-Midi Military. 20 hari setelah dipenjara, ia ditemukan tewas di selnya tanpa diketahui jelas penyebabnya. Namun, sebelum tewas, ia sempat membuat suatu pengakuan dan memberi kesaksian tertulis atas kekejaman Nazi. Pada tahun 1950 (lima tahun setelah kematiannya), ia mendapat proses denazifikasi. Meski tidak menjadi pelaku utama kekejian Nazi, ia tetap dinyatakan terlibat dalam holocaust tersebut. Baru setelah 20 tahun meninggalnya, 20 Januari 1965, ia dinyatakan tidak bersalah oleh Premier of Baden-Württemberg. Rehabilitasi ini karena kesaksiannya sungguh memberikan data sejarah yang kuat dan menjadi salah satu data primer yang digunakan sebagai bukti dalam proses pengadilan penjahat perang di Nuremberg.
- SS atau Schutzstaffel adalah unit paramiliter elit yang juga dibentuk secara khusus oleh Adolf Hitler. SS biasa disebut tentara partai Nazi. Unit ini dibentuk pada 1925 oleh Julius Schreck. Pimpinan tertingginya sudah pernah berganti selama lima kali. Pada masa Hitler kesatuan ini berkembang pesar dengan 38 divisi yang beranggotakan 950 ribu personel. Personelnya lebih berkelakuan “tentara” daripada tentara reguler Jerman. Unit ini punya pangkat, seragam dan lambang tersendiri. Bahkan, Hitler membentuk Waffen SS atau Skadron Pelindung Bersenjata Partai Nazi dari kesatuan SS yang bertugas untuk melakukan provokasi, teror hingga misi pembantaian. Maka, dalam pengadilan atas kejahatan perang Nazi, SS dituduh sebagai yang paling bertanggung jawab atas tragedi holocaust –pembantaian kaum minoritas etnis Yahudi di Jerman dan Eropa pada umumnya. SS dibubarkan pada 1945 setelah kekalahan Jerman dalam PD II.
- Nuntius ini juga biasa disebut Papal Nuntio, artinya utusan Paus yang secara khusus menjadi perwakilan Bapa Suci entah di suatu wilayah atau teritori tertentu atau bidang kategorial lainnya.
- Hitler dapat terkurung dalam karakter Megalomania karena egonya yang amat rapuh, pribadinya tidak mempunyai kepercayaan diri dan tidak bisa menyembunyikan ketakutan yang amat mengada-ada. Seorang kolumnis Schuyler Ebbets menyamakan karakter Megalomania yang ada dalam diri Hitler ini dengan Presiden AS, George W. Bush saat menyatakan kebijakan luar negeri yang dilancarkan kepada teroris yang bermuara dalam invasi Amerika ke Irak. Titik kesamaannya adalah jika Hitler memulai invasinya lewat perjanjian Versailles dan serang teroris terhadap gedung Reichstag di Berlin, Bush memulai upayanya untuk menguasai dunia lewat isu Serangan terhadap gedung WTC (yang terkenal dengan sebutan “tragedi 9/11). Kedigdayaan Nazi Jerman (1933-1945) dalam Edisi Koleksi Angkasa, Januari 2006, hal. 4-5.
- Sutrisno, Mudji, 2005. Seni, Cipta dan Politik dalam Mudji Sutrisno, dkk, 2005. Teks-Teks Kunci Estetika: Filsafat Seni, Yogyakarta: Galang Press. hal. 99.
- Ibid. hal. 99.
- Ibid. hal. 99-100.
- “Gambar” ingin menunjukkan sisi fantasi kreasinya, sedangkan “hidup” ingin menunjukkan sisi dunia realnya. Ibid. 100.
- Ibid. hal. 100.
- Ibid. hal. 103.
- Salah satunya dapat dirujuk dari Gilbert, Martin, 2006. The Routledge Atlas of Jewish History 7th Edition, London and New York: Routledge Tylor and Francis Group. The persecution of the Jews of Germany in the First Five Years of Nazi Rule 1933-1938 (hal.95); The Flight from German Persecution 1933-1941 (hal.97); The Consentration Camps (hal.98); Jews Under German Rule 1933-1941 (hal.99-100); The Search for Safety 1933-1945 (hal.100-101). Dalam buku ini disajikan peta persebaran etnis minoritas Yahudi dan secara khusus (nomor halaman yang dirujuk) adalah persebarannya pada masa Hitler bersama Nazinya berkuasa di German dan gencar melakukan ekspansi ke negara-negara Eropa di sekitarnya.
0 komentar:
Posting Komentar