-Kajian fungsi negara di hadapan agama
dalam konteks masyarakat multi-agama di Indonesia
melalui analisa kasus Ciledug-
melalui analisa kasus Ciledug-
oleh
R.B.E. Agung Nugroho
A. PENGANTAR
Dalam pengalaman hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, kita selalu direcoki oleh urusan agama yang tidak ada habisnya. Pada malam Natal tahun 2000, kita ditatapkan pada pengalaman tragedi bom di beberapa gereja di Indonesia yang menewaskan 19 orang. Atau belum lama ini, kita dihadapkan pada kasus penembokan Sang Timur di Ciledug karena ada kegiatan ibadat Katolik di tempat itu oleh FPI. Dalam hal ini, banyak kalangan yang menilai bahwa pemerintah kurang proaktif menanggulangi masalah ini karena peristiwa serupa terus berulang dalam sejarah bangsa dan negara Indonesia(1). Lalu, apakah makna Pancasila sebagai dasar negara yang memuat sila “Ketuhanan yang Maha Esa”? Ataukah batang tubuh UUD’45 pasal 28E dan pasal 29 ayat 2(2) hanya sekedar isapan jempol yang tidak pernah teraktualisasi dalam realitas hidup bagi seluruh warga negara Indonesia? Lalu, bagaimanakah sebenarnya hubungan agama dan negara di Indonesia –yang notabene mayoritas adalah Islam?(3) Serta langkah strategis seperti apa yang dapat kita ambil untuk mengeksplisitasikan idealisme yang tertuang dalam dasar negara itu?
Makalah ini akan berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Pertama, penulis akan menggali makna positif yang terkandung dalam sila “Ketuhanan yang Maha Esa” beserta implikasinya yang juga tertuang dalam UUD’45 pasal 28E dan pasal 29 ayat 2(B). Lalu, penulis akan memaparkan kasus Ciledug beserta kajian kritis dan analisa berdasarkan makna positif sila “Ketuhanan yang Maha Esa” sebagai realitas aktual yang memotret tentang ketegangan antara yang diidealkan dengan realitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (C). Kemudian, penulis akan melontarkan ke dalam ruang wacana langkah-langkah alternatif apa yang dapat ditempuh untuk menjebatani ketegangan yang sudah dibeberkan di bagian sebelumnya (D). Dan akhirnya, penulis akan memberikan simpulan-simpulan (E).
B. MAKNA POSITIF SILA KETUHANAN YANG MAHA ESA
Dalam pidatonya, 1 Juni 1945, Soekarno secara gamblang mengungkapkan ide tentang embrio sila “Ketuhanan yang Maha Esa”. Dia menempatkan prinsip ketuhanan ini sebagai prinsip kelima dalam prinsip-prinsip dasar negara –disamping kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi dan kesejahteraan sosial. Kutipannya sebagai berikut:
“Prinsip kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al Masih. Yang Islam menyembah Tuhan bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW. Orang Budha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semua bertuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme agama”. Dan hendaknya Indonesia satu negara bertuhan. Marilah kita amalkan jalannya agama, baik Islam, maupun Kristen dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara berkeadaban itu? Ialah hormat menghormati satu sama lain….. Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan bahwa prinsip kelima daripada negara kita, ialah ketuhanan yang berkebudayaan, ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur dan ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain.”(4)
Prinsip yang ditawarkan Soekarno ini memuat unsur kompromis atau jalan tengah yang ditempuh antara negara yang berdasar agama dan faham sekuler, yaitu negara berdasarkan kebangsaan. Konsep negara yang tidak berdasarkan negara agama semakin dipertegas lagi ketika rumusan panitia 9 menyerahkan Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 kepada Panitia Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Kemudian, Piagam Jakarta itu –pada tanggal 18 Agustus 1945- dijadikan sebagai pembukaan UUD’45 dengan sedikit perubahan, sehingga Pancasila dan UUD’45 menjadi Dokumen Negara Pokok. Perubahan itu adalah penghilangan tujuh perkataan di belakang “Ketuhanan”, yaitu “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya”. Isi tujuh kata itu diperuntukkan oleh orang Islam saja. Namun, tokoh-tokoh umat Kristen di Indonesia Timur keberatan jika tujuh kata itu dibiarkan saja tertulis dalam pokok dari pokok dasar negara.(5) Seolah-olah ada pembedaan warga negara Islam dan bukan Islam. Realitas ini menunjukkan bahwa pada The founding fathers dari negara ini menyadari bahwa negara ini memang terdiri dari realitas agama yang plural. Untuk itulah salah satu ciri yang menandainya adalah penekanan sikap toleransi masing-masing pemeluk agama terhadap pemeluk agama yang lain.
Dapat dikatakan bahwa nilai positif dari sila “Ketuhanan yang Maha Esa” adalah negara secara positif mendukung budaya keagamaan yang mendalam dalam realitas kehidupan masyarakat Indonesia. Negara memberikan perhatian dan merumuskan realitas tersebut sebagai salah satu nilai luhur yang menjadi dasar negara. Semangat yang diperjuangkan adalah semangat menerima keberagaman agama dalam realitas hidup sebagai warga negara. Di sini, negara berfungsi sebagai penjamin terselenggaranya kehidupan yang selaras antar umat beragama yang ada. Namun, negara secara serentak juga menghargai hasil kebudayaan ini dengan memberi perlindungan dan perlakukan yang sama kepada setiap agama yang ada. Hal ini menjadi konsekuensi logis ketika negara ini mengajak setiap warganya untuk beriman kepada Tuhan seturut ajaran masing-masing agama. Ketika negara meletakkan fondasi bahwa setiap warganya harus beriman kepada Tuhan, negara itulah yang juga mempunyai kewajiban menjamin ekspresi dan eksplisitasi keagamaan sebagaimana telah dijabarkan dalam UUD’45 pasal 28E dan pasal 29 ayat 2.(6) Maka, nilai positif sila “Ketuhanan yang Maha Esa” justru terletak pada komitmen negara yang mendukung secara positif budaya keagamaan yang mendalam dalam masyarakat Indonesia.
Implikasi dari sila “Ketuhanan yang Maha Esa” terletak pada dukungan negara terhadap praksis penghayatan religius di dalam wilayah teritori dan yurisdiksinya. Dukungan itu terletak pada bagaimana negara mampu menjamin keberagaman dan mengakomodasi keberagaman itu sehingga masing-masing pemeluk agama mampu dan leluasa mengekspresikan kebebasannya dalam memeluk agama, melakukan peribadatan dan melakukan proses pengajaran terhadap umatnya. Ide keberagaman sebenarnya terkandung inheren dengan konstruksi konseptualisasi sila “Ketuhanan yang Maha Esa”. Maka, ketika negara sudah mulai campur tangan dan ingin mengatur agama dalam tata hukum legal formal, justru ide keberagaman itu terabaikan. Mengapa? Karena ada suatu proses penyeragaman yang malah akan merusak dan bertentangan dengan nilai “Ketuhanan” itu sendiri. Oleh karena itu, pluralisme agama memang ide yang diterima sebagai dasar negara. Artinya, pluralisme dipandang sebagai paham sila “Ketuhanan yang Maha Esa” yang diperjuangkan untuk menjamin keragaman keagamaan dan keragaman penghayatan religiositas dan melawan penyeragaman serta anti terhadap totalitarianisme eksklusif sektarian.
C. REALITAS AKTUAL SILA KETUHANAN DALAM NEGARA INDONESIA
Potret kasus Sang Timur adalah realitas tegangan penghayatan ideal kebebasan beragama dan beribadat, seperti yang tertuang dalam pasal 28E dan pasal 29 ayat 2. Fenomena apakah yang sesungguhnya mau ditunjukkan dengan kasus tersebut, dan sejauh manakah keterkaitan negara sebagai penjamin kebebasan penghayatan beragama bagi warganya?
Menilik secara kronologis kasus Sang Timur,(7) kita menjadi sadar bahwa terdapat kecenderungan yang signifikan adanya dominasi mayoritas agama (Islam) terhadap minoritas (Katolik), yang dipicu oleh sentimen-sentimen tertentu berbau SARA.(8) Tampak bahwa pemerintah/negara, yang tercermin dari aparat-aparat lokal (Kepala Kantor Departemen Agama, Lurah) justru membatasi penghayatan kebebasan beragama bagi sejumlah umat minoritas. Aparat terkait di tingkat yang lebih tinggi terkesan diam menunggu, sekaligus bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Sebenarnya, Pengurus Gereja dan Dana Papa (PGDP) paroki Ciledug sudah mendapat surat rekomendasi dari dari kepada desa Karang Tengah melalui surat no.192/Pem/VII/1992, tertanggal 21 Juli 1992 dengan tembusan kepada Bupati KDH Tk.II Tangerang, Walikota Tangerang, Muspika Kecamatan Ciledug, Ketua RW dan Ketua RT sekomplek Barata Karang Tengah. Namun, setelah 12 tahun berjalan, tanpa ada dialog sebelumnya, Kepala Departemen Agama Kantor Kota Tangerang melalui surat Kd.258.5/BA.00/248/2004 menghentikan kegiatan keagamaan dengan menggunakan Bangunan Sementara Sekolah (BSS) Sang Timur. Sebulan kemudian, Lurah setempat memberikan surat pencabutan Rekomendasi Surat Lurah tertanggal 21 Juli 1992, dengan surat no.642/71-KRT/04 pada tanggal 30 Agustus 2004. Sambil mengupayakan forum dialog dengan pejabat pemerintahan tersebut, PGDP berusaha mencari alternative tempat untuk beribadat. Maka, untuk sementara, umat paroki St.Bernadette Ciledug masih menggunakan BSS Sang Timur. Karena ijin dan upaya dialog dari pihak PGDP tidak pernah ditanggapi oleh warga maupun pejabat pemerintahan setempat, maka terjadilah pelbagai aksi demonstrasi yang akhirnya berpuncak pada hari Minggu 3 Oktober 2004 pukul 06.30 WIB dengan adanya demonstrasi oleh Front Pemuda Islam (FPI) Karang Tengah disertai tindak anarki, perobohan papan nama sekolah, pembakaran ban, mengancam akan melakukan pembakaran dan memaksa menghentikan kegiatan ibadat yang sedang berlangsung. Kemudian, dilanjutkan aksi penembokan dengan batako untuk menutup akses jalan masuk ke sekolah Sang Timur dan mengakibatkan sekolah itu berhenti mengadakan kegiatan belajar-mengajar selama seminggu; serta pelaksanaan ibadat dihentikan.(9)
Negara sebagai penjamin kebebasan beragama dan penghayatan bahkan terkesan menyerahkan permasalahan tersebut pada warganya, yang notabene begitu majemuk, juga dalam hal kepentingan. Tak pelak lagi sikap gamang institusi negara tersebut semakin membuat proses dominasi menjadi cenderung anarkis dan terkesan hanya sebagai kedok yang aman bagi kepentingan-kepentingan kelompok tertentu. Lebih jauh, kasus Sang Timur itu memotret suatu bentuk dominasi negara terhadap kebebasan beragama. Fungsi penjamin yang seharusnya lebih bersifat sebagai pengayom, pelestari yang harus mengayomi, membantu kesulitan yang ada, menjamin kebebasan mengekspresikan keyakinan warganya, ternyata masih dalam tataran moral yang masih sangat utopis. Jaminan institusi negara, baru sampai dalam taraf pengetahuan moral, yang belum menjadi sebuah bangunan kesadaran yang sungguh-sungguh menjamin hak warganya. Tidak adanya sanksi hukum yang mengikat, membuktikan bahwa jaminan atas salah satu hak dasar manusia tersebut masih ‘mengambang’.
Secara legal-formal,(10) memang ada penterjemahan dari dari prinsip Ketuhanan yang Maha Esa. Salah satunya adalah Keputusan menteri (Kepmen) yang ditandatangani oleh K.H. Moh.Dahlan dan Amir Machmud, 13 September 1969, sebagai Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama no.01/BER/mdn-mag/1969. Namun, dalam hierarki hukum di Indonesia, Kepmen ini masih menduduki urutan keenam di bawah Keputusan Presiden (Kepres) sesuai dengan Tap MPRS no.XX/MPRS/1969. Keputusan ini memang mengikat secara yuridis, tetapi ada kelemahannya. Dalam pasal 4 SKB itu, memuat perizinan pendirian tempat ibadat di bawah kekuasaan pemerintahan setempat. Namun, dalam realitasnya, kaum minoritas mendapat kesulitan dalam akses perizinan pendirian tempat ibadat. Bukti ini sudah menjadi rahasia umum. Kesulitan ini dikarenakan perizinan itu harus melibatkan empat pihak lain, yaitu Kepala Depatemen Agama setempat (Depag), pejabat planologi (terkait dengan IMB), masyarakat setempat dan pejabat agama lain di daerah itu. Jika alasan masyarakat setempat –dalam kasus Ciledug- mengatakan bahwa jangan membangun rumah ibadat minoritas di tengah kaum mayoritas, lalu apakah artinya sila Ketuhanan, UUD’45 pasal 28E dan pasal 29 ayat 2? Akan tetapi, dalam perjalanan hukum di Indonesia, tahun 2000, ada Tap MPR no.III/MPR/2000 yang menghapus Tap MPRS no.XX/MPRS/1969. Tap MPR yang baru ini tidak memuat Kepmen sebagai sumber hukum dalam hierarki hukum di Indonesia. Maka, secara yuridis, SKB 1969 juga sudah tidak berlaku. Jika pelarangan pendirian tempat ibadat dan proses peribadatan berdasarkan SKB 1969, apakah sahih menggunakan sumber hukum yang sudah tidak berlaku lagi. Ini menunjukkan betapa negara yang didominasi oleh mayoritas Islam ingin memaksakan dan terlalu dalam mencampuri urusan keagamaan warganya. Dengan demikian, fungsinya sebagai penjamin dan pengayom –sebagai konsekuensi logis dari sila “Ketuhanan yang Maha Esa”- benar-benar masih menjadi konsep moral yang sangat utopis.
Kebungkaman negara menanggapi kasus ini sangat kelihatan, sebelum Gus Dur berinisiatif mengunjungi Sang Timur.(11) Semenjak Gus Dur mengunjungi Sang Timur, pemerintah melalui Menko Kesra Alwi Shihab mulai turun tangan. Ini menunjukkan bahwa negara kurang jelas dan tegas membedakan fungsi penjamin/pengayom dan pendikte. Sejauh ini, negara hanya berfungsi sebagai pendikte yang ingin mengatur segala urusan yang terkait dengan agama. Negara seakan-akan terobsesi untuk melegal-formalkan segala urusan yang terkait dalam agama. Jika prinsip dasar sila Ketuhanan dipahami seperti itu, pasti akan berbuntut juga pada aturan-aturan birokratis yang mendiskreditkan minoritas. Kecenderungan diskriminasi ini akan sangat mungkin karena hukum yang dibuat belum tentu dapat mewadai semua kepentingan rakyat banyak. Atau dengan kata lain, hukum itu minimal sudah dapat mengakomodasi kepentingan mayoritas. Jadi ketegangan yang terjadi adalah belum terwujudnya fungsi negara sebagai pengayom/penjamin bagi warga negaranya dalam hal penghayatan hidup keagamaan. Atau, negara masih tergolong negara kekuasaan (machsstaat), bukan (belum) menjadi negara hukum (rechsstaat) dengan mengemban prinsip dasar para pendiri bangsa dan negara ini.
D. EKSPLISITASI SILA KETUHANAN: LANGKAH ALTERNATIF
Setelah menganalisa kasus Ciledug dalam nuansa ketegangan antara fungsi negara dalam hubungannya dengan agama, sekarang penulis akan menawarkan langkah alternative apa yang sebenarnya dapat dilakukan untuk menegakkan fungsi negara yang menjadi pengayom dan penjamin kebebasan beragama dan beribadat bagi warganya?
Pertama-tama harus ada suatu penyadaran yang sistematis di dalam struktur pemerintahan negara. Artinya, memanfaatkan forum-forum tertentu untuk menggamblangkan dimanakah negara berdiri di hadapan agama. Fungsinya adalah sebagai pengayom dan penjamin bagi hak-hak dan kebebasan warganya –dalam hal ini, kebebasan beragama dan beribadat. Di sini harus ada pemisahan yang jelas antara negara dan agama –dalam artian : negara seharusnya tidak berhak terlalu campur tangan dalam urusan masing-masing agama. Justru, negara memberikan akses yang seluas-luasnya bagi agama yang ada –tanpa memandang minoritas dan mayoritas- untuk mengeksplisitasikan hak dan kebebasannya dalam beragama dan beribadat dengan memperhatikan prinsip dan norma bagi kebaikan dan kepentingan bersama seluruh warga negara. Jadi, negara bukan sebagai pendikte yang berpegang atas dasar kekuatan yuridis hukumnya, tetapi membantu warganya untuk dengan leluasa mengekspresikan hak dan kebebasan beragama dan beribadatnya dalam konteks demi kepentingan dan kebaikan seluruh warga negara.
Kedua, negara –karena berkewajiban mengatur dan menjamin serta mengayomi- hak dan kebebasan warganya, harus menindak dengan tegas segala bentuk praktek diskriminasi dan pelanggaran atas dasar hak asasi manusia serta prinsip toleransi, penghargaan dan kepentingan seluruh warga.(12) Maka, tidak etislah jika ada suatu “sistem terselubung” yang hanya membuat mayoritas dipermudah dalam urusan yang terkait dengan agama dan minoritas dipersulit. Idealnya adalah perlakuan yang diterima minoritas dan mayoritas haruslah sama, karena masing-masing individu punya kedudukan yang sama di hadapan hukum sebagai sesama warga negara. Namun, kadang kala kita masih bisa mentolerir sikap-sikap kompromis, yaitu perlakukan yang sedikit berbeda antara mayoritas dan minoritas. Sejauh kompromi ini tidak merugikan minoritas dan mempersulit pengaktualisasian hak dan kebebasan dasar minoritas –menurut hemat penulis- masih dapat diterima. Artinya, sebagai agama mayoritas, Islam sudah mau berkorban untuk tidak menjadikan Indonesia sebagai agama negara. Islam masih memberikan ruang bernafas bagi warga pemeluk agama lain. Di sisi lain, rasa terima kasih ini masih tetap dalam kerangka bahwa sebagai warga negara kita mempunyai hak yang sama di hadapan hukum. Maka, jika mau konsisten dengan komitmen bahwa negara ini berdasarkan prinsip Ketuhanan yang memuat implikasi seperti telah dipaparkan di bagian B, perlakuan sama itu harus diungkapan dalam realitas hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Ketiga, penulis melihat peranan media yang begitu kuat dalam pengaksesan informasi.(13) Maka, etika media dan jurnalistik harus sungguh-sungguh dipegang teguh. Mengapa? Karena melalui media, kita dapat menciptakan opini dan wacana dalam masyarakat tentang bagaimana realitas actual yang terjadi dalam kehidupan multi-agama di Indonesia. Maka, prinsip kejujuran dan memberikan informasi yang seakurat mungkin harus ditegaskan. Dapat terjadi bahwa media mampu memicu sentimen atau memperkuat stigma negatif pada pemeluk agama lain ketika ada suatu peristiwa yang mendiskreditkan agama tertentu. Jadi, media ini dapat berfungsi sebagai pemicu disintegrasi dan konflik yang terus berkepanjangan, tetapi juga dapat menjadi sarana efektif pembangunan masyarakat multi-agama di Indonesia dengan melempar wacana atau diskursus dan laporan peristiwa tentang aspek positif kehidupan keagamaan di Indonesia.
Keempat, penulis juga melihat sisi strategis dari pintu pendidikan agama. Dalam artikel “Pendidikan Agama dalam Zaman yang Berubah”,(14) A. Sudiarja mengatakan bahwa pendidikan agama dewasa ini harus sudah membahas tentang pluralisme, atau setidaknya memasukkan dalam agenda pemikiran. Kesadaran akan perlunya berefleksi tentang pluralisme ini karena realitas akual Indonesia –dalam prinsip dasar negaranya- memuat dan menerima pluralitas yang ada dalam masyarakatnya. Dalam hal agama, pendidikan yang membangun kesadaran akan hidup dalam pluralitas ini adalah dengan mengembalikan pada pemahaman bahwa pendidikan haruslah berorientasi pada kemanusiaan, menciptakan peserta didik menjadi lebih manusiawi (humaniora). Maka, diskursus mengenai mana agama yang paling baik atau benar dalam pendakuannya (klaimnya) tentang kebenaran absolut sudah menjadi barang basi dan tidak relevan. Karena, yang paling penting justru masing-masing melihat bagaimana kiprah sosial dalam agama tertentu mengusung kepetingan bersama seluruh warga dan mendorong pembangunan kehidupan bersama yang lebih baik.
Kelima,(15) sebagai warga negara, kita harus lebih bersikap asertif atas apa yang dialami berkaitan dengan pengalaman kehidupan kerukunan umat beragama dengan suka dukanya. Artinya, kita hendaknya berani mengungkapkan apa yang sebenarnya selama ini dianggap sebagai sesuatu yang bernilai dalam penghayatan kehidupan keyakinan, keagamaan dan keberibadatan kita bersama dalam maupun inter-religius sesuai dengan realitas konkret yang dihadapi. Bahasa pengalaman konkret kiranya menjadi bahasa kita dalam menghadapi jargon-jargon yang dikeluarkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab atau oleh media yang memilih sikap controversial demi profit tanpa melihat dampak bagi pencitraan bagi tiap agama. Keberakaran dari pengalaman hidup bersama inilah yang menjadi nilai untuk kita perjuangkan melawan dominasi dan mewujudkan prinsip Ketuhanan menjadi semakin baik. Inilah usaha kita untuk melawan jalur birokrasi top-down dan bukan consensus yang dibangun atas dasar komunikasi diskursif.
E. PENUTUP
Setelah melihat makna positif sila Ketuhanan yang Maha Esa, menganalisis kasus Ciledug sebagai pintu masuk untuk melihat ketegangan yang terjadi antara agama dan negara serta mengajukan suatu langkah alternatif, penulis dapat menyimpulkan bahwa sila Ketuhanan yang Maha Esa sebenarnya sudah memuat prinsip penghargaan, hak asasi kebebasan beragama dan beribadat, toleransi dan dijabarkan secara lebih jelas dalam UUD’45 pasal 28E dan pasal 29 ayat 2. Implikasi yang muncul dari pernyataan di atas adalah negara mempunyai kewajiban untuk menjamin semua prinsip dan nilai dasar yang terkandung dalam sila Ketuhanan yang Maha Esa itu. Kecenderungan Indonesia, negara belum mampu menciptakan suasana yang kondusif bagi idealisme sila Ketuhanan yang Maha Esa tersebut. Bahkan, pemerintah Indonesia justru sering tidak konsisten pada statusnya sebagai negara hukum, sehingga menerapkan sistem pendiktean pada institusi agama –negara kekuasaan. Secara lebih kasar, agama juga sering dijadikan sebagai kendaraan politis, alat pengumpul massa dengan menggunakan sentiment agama. Konsep prinsipiil dalam sila Ketuhanan yang Maha Esa masih menjadi konsep utopis bagi negeri ini.
Penjelasan kasus Ciledug dapat dijadikan bukti adanya inkonsistensi dan ketidakseriusan pemerintah dalam mengusahakan terwujudnya prinsip Ketuhanan yang Maha Esa. Kasus Ciledug hanya menjadi sample bagi kita untuk menggali bahwa fungsi pemerintah yang seharusnya sebagai penjamin, pengayom bagi teraktualisasinya hak dan kebebasan beragama dan beribadat bagi warganya, justru ditumpangi oleh kepentingan kelompok tertentu. Bahkan, kemudahan dalam urusan birokrasi sering menjadi monopoli kaum mayoritas dan kesulitan serta “tindak diskriminasi” sering dijatuhkan pada golongan minoritas. Dengan sedikitnya akses pengaduan dan juga jaminan bagi minoritas, dalam realitasnya, mayoritas akan semakin meraja lela dan cenderung untuk mengeliminasi minoritas. Boleh jadi bahwa distingsi antara fungsi negara di hadapan agama memang belum jelas dan tegas dirumuskan. Namun, hendaknya sudah mulai dibentuk forum diskursus untuk memperjelas dan mempertegas fungsi ini. Jadi, sila Ketuhanan yang Maha Esa masih menjadi konsep utopis yang masih harus menjadi “pekerjaan rumah” bagi senegap elemen masyarakat untuk membangun dan menciptakan fungsi negara di hadapan agama –sebagai pengayom, pembantu dan penjamin pemeluk setiap agama tanpa diskriminasi. Pembenahan dan pelurusan fungsi sampai pada tataran praksis –dengan beberapa langkah alternatif yang penulis tawarkan di atas- kiranya dapat pelan-pelan memasuki proses menemukan titik temu antara ketegangan sila Ketuhanan yang Maha Esa dalam tataran konsepsi dan realitas.
Daftar Bacaan
- Abdulmanap, Soerowo, 1997, Republik Indonesia Menggugat, Jakarta: Pustaka Grafiksi
- Baso, Ahmad, Diskriminasi Agama di Balik RUU KUB dalam BASIS No.01-02, Tahun ke-53, Januari-Februari 2004, Hal.20-23.
- Binawan, Al. Andang L., Membangun Tempat Ibadat di Negara Hukum; dalam HIDUP no.46 Tahun ke-58, 14 November 2004.Hlm.28.
- Biro Demokrasi, Hak-hak Asasi dan Perburuhan, tentang Laporan Kebebasan Beragama Internasional 2003, 18 Desember 2003.
- Dompas, Alan Jeffrey, “Teroris itu mengatasnamakan agama” dalam HIDUP no.46 Tahun ke-58, 14 November 2004.Hlm. 29.
- Forum Masyarakat Katolik Indonesia-Jakarta Badan Pengurus Harian (BPG FMKI) dan ORMAS Katolik, Surat Pengaduan Penutupan Peribadatan Umat Katolik Paroki St.Bernadette Karang Tengah Ciledug –dari Forum Masyarakat Katolik Indonesia-Jakarta Badan Pengurus Harian (BPG FMKI) dan ORMAS Katolik kepada Komisi Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM). No.015/FKMI/X/2004, Jakarta, 5 Oktober 2004.
- Magnis-Suseno, Franz, Tidak dapat dijerat Hukum dalam Suara Pembaharuan (19/10/2004).
- Sindhunata, RUU KUB sebaiknya dipetieskan, dalam BASIS No.01-02, Tahun ke-53, Januari-Februari 2004, Hal.3
- Sunardi, St., Rekayasa Kerukunan Umat Beragama, dalam BASIS No.01-02, Tahun ke-53, Januari-Februari 2004, Hal.12-19.
- Tahalele, Paul dan Thomas Santosa (Ed.), 1997, Beginikah Kemerdekaan Kita, Surabaya: FKKI.
- Wardiyanto, FL., Haji Syachroni S. Abdul Aziz Melindungi Orang Kristen di Pondok Pesantrennya dalam HIDUP no.45 Tahun ke-58, 7 November 2004.Hlm.20-21.
- Sudiarja, A., Pendidikan Agama dalam Zaman yang Berubah dalam BASIS no.07-08, Tahun ke-52, Juli-Agustus 2003.Hal.9-16.
Catatan:
- Sebelumnya juga pernah terjadi kasus serupa yang berupa pembakaran gereja di Surabaya (Juni ‘96), Situbondo (Okt.’96), Tasikmalaya (Des.’96), Rengasdengklok (Jan.’97) dan Banjarmasin (Mei ‘97) dalam Paul Tahalele dan Thomas Santosa (Ed.), Beginikah Kemerdekaan Kita, Surabaya: FKKI, 1997, hlm.155-168. Jadi, sejak tahun 1990 sudah lebih dari 500 gereja diserang. Bahkan dua bulan lalu, di Bandung juga terjadi kasus serupa, yaitu Bupati Bandung per surat serentak menutup 12 tempat ibadat (Franz Magnis-Suseno, Tidak dapat dijerat Hukum dalam Suara Pembaharuan (19/10/2004).
- Bunyi UUD’45 pasal 28E adalah (1) “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali; (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakinkan kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nurani” dan pasal 29 ayat 2 berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap warga negara untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”
- Pertanyaan ini muncul sebagai pertanyaan kritis dari fenomena RUU Kerukunan Umat Beragama (KUB) yang dicurigai sebagai langkah politis menyongsong PEMILU 2004. Kecurigaan ini berisi bahwa negara semakin memperbesar campur tangannya dalam hal agama. Etatisme dan campur tangan negara dalam hal agama sudah menjadi nyata dalam UU Sisdiknas, dan dengan adanya RUU KUB, campur tangan itu semakin diperbesar. Negara mempunyai sentralisasi kekuasaan di bidang keagamaan. Padahal, sejarah membuktikan, agama sering tidak bisa menjadi dirinya sendiri, karena diperalat dan dibelenggu oleh kekuasaan dan politik. Apalagi, RUU KUB ini juga dipandang sebagai suatu bentuk diskriminasi terselubung bagi para penganut agama minoritas di negara ini, serta sebagai penyempitan kebebasan beragama dari kacamata Hak Asasi Manusia. Dari sudut pandang ini, RUU KUB justru dapat dikategorikan sebagai sebuah kemunduran besar, saat kita memperjuangkan kehidupan demokrasi. (Sindhunata, RUU KUB sebaiknya dipetieskan, dalam BASIS No.01-02, Tahun ke-53, Januari-Februari 2004, Hal.3).
- Soerowo Abdulmanap, 1997, Republik Indonesia Menggugat, Jakarta: Pustaka Grafiksi. Hal.202.
- Soerowo Abdulmanap, 1997, Republik Indonesia Menggugat, Jakarta: Pustaka Grafiksi. Hal.172.
- Pasal 28E dan pasal 29 ayat 2 UUD’45 ini juga tergolong sebagai salah satu pasal yang mengungkapkan adanya Hak Asasi Manusia di dalamnya. Dengan demikian, dari sisi etis, negara memang berkewajiban untuk menjamin kebebasan bagi setiap warganya untuk memeluk agama yang diyakini. Apalagi, dalam Declaration Universal of Human Rights (DUHAM) dan Deklarasi Kairo juga memuat prinsip kebebasan beragama dimana Indonesia ikut menandatangani kedua deklarasi itu, sebagai anggota PBB dan anggota negara-negara OKI (Organisasi Konferensi Islam). Salah satu kutipannya adalah sebagai berikut: “Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or community with others and in public or private, to manifest is religion or belief in teaching, practice, worship and observance” (DUHAM art.18). Peran penjamin yang dilaksanakan negara/pemerintah ini tidak serta merta menjadi keluasan bagi negara untuk masuk campur tangan dalam permasalahan internal agama. Karena dengan campur tangan dalam urusan internal agama, pemerintah justru menegasi sendiri komitmen yang telah dibuatnya sebagai dasar negara, yaitu penghargaan dan dukungan positif terhadap semua agama yang ada dan diakui pemerintah.
- Pemetaan kronologis ini disarikan dari surat Pengaduan Penutupan Peribadatan Umat Katolik Paroki St.Bernadette Karang Tengah Ciledug –dari Forum Masyarakat Katolik Indonesia-Jakarta Badan Pengurus Harian (BPG FMKI) dan ORMAS Katolik kepada Komisi Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM).
- Franz Magnis-Suseno dalam Suara Pembaharuan 19/10/2004 mengatakan bahwa saat gerbang dirusak dan aksi pembakaran ban, terdengar teriakan “Kami harus memerangi orang kafir”.
- Data empiris mencatat: 8.975 jiwa umat Katolik Ciledug berasal dari 6 kecamatan tidak dapat menggunakan BSS sebagai sarana ibadat, dan 2.087 murid Sang Timur dan guru termasuk 147 murid SLB tidak dapat melaksanakan kegiatan belajar-mengajar.
- Kajian legal-formal ini disarikan dari Al. Andang L.Binawan, Membangun Tempat Ibadat di Negara Hukum; dan Alan Jeffrey Dompas, “Teroris itu mengatasnamakan agama” dalam Majalah HIDUP no.46 Tahun ke-58, 14 November 2004. Hlm.28-29.
- Alan Jeffrey Dompas, “Teroris itu mengatasnamakan agama” dalam Majalah HIDUP no.46 Tahun ke-58, 14 November 2004. Hlm.29. Mempertanyakan apakah aksi anarkis di Ciledug itu dapat digolongkan ke dalam bentuk the act of terrorism. Argumennya adalah: dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menegaskan “Setiap orang yang dengan sengaja mengguakan kekerasan dan ancaman kekerasan menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan dan hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas public atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun.”
- Sejauh ini, sebagaian besar pelaku kasus-kasus yang merecoki urusan agama seakan-akan mempunyai impunity (tidak terkena sanksi hukum, kebal hukum). Seakan-akan mereka tidak masuk dalam wilayah yurisdiksi hukum yang sedang diberlakukan. Ini menjadi suatu keprihatinan tersendiri dalam kacamata Hak Asasi Manusia yang memang lebih tepat disebut konsep yang masih utopis di Indonesia yang menyebut dirinya sebagai negara hukum.
- Salah satu contoh pencitraan media yang positif adalah salah satu artikel di HIDUP no.45 Tahun ke-58, 7 November 2004, bertajuk “Haji Syachroni S. Abdul Aziz Melindungi Orang Kristen di Pondok Pesantrennya” oleh FL.Wardiyanto. Pencitraan media terhadap realitas actual ini dapat memicu persepsi masyarakat untuk bersikap partisipatif dalam mewujudkan aktualitas prinsip Ketuhanan yang Maha Esa. Tulisan ini justru muncul setelah ramai dibicarakan kasus Ciledug di kalangan umat Katolik melalui tulisan-tulisan di majalah HIDUP. Visi media yang seperti inilah yang dapat menjadi sarana efektif bagi pembentukan opini masyarakat tentang eksistensi pergulatan hidup beragama selama ini secara positif. Ide dasarnya adalah mengubah atau membentuk pandangan positif untuk terlaksananya nuansa toleransi dan saling menghargai, menghormati di antara pemeluk agama satu sama lain.
- A.Sudiarja, Pendidikan Agama dalam Zaman yang Berubah dalam BASIS no.07-08, Tahun ke-52, Juli-Agustus 2003. Hal.9-16.
- Poin kelima ini disarikan dari St. Sunardi, Rekayasa Kerukunan Umat Beragama, dalam BASIS No.01-02, Tahun ke-53, Januari-Februari 2004, Hal. 19. Ahmad Baso dalam Diskriminasi Agama di Balik RUU KUB menjelaskan bahwa isu kristenisasi atau juga dapat disejajarkan dengan isu penyebaran agama yang lain, sebenarnya dapat diselesaikan, bahkan dikonter dengan penjelasan langkah kelima ini. Prosesnya, diselesaikan di antara lembaga agama yang bersangkutan dan umat beragama sendiri dan mekanismenya dikembalikan kepada hukum yang berlaku, KUHP misalnya.
0 komentar:
Posting Komentar