Indonesia dalem Api dan Bara (Tjamboek Berdoeri)

Review Buku “Indonesia Dalem Api dan Bara”:
Pengalaman Seorang Tionghoa di Masa Revolusi

Buku: 
Tjamboek Berdoeri (Kwee Thiam Tjing). 2004. Indonesia dalem Api dan Bara (cet.2). 
Jakarta: Elkasa.

Buku “Indonesia dalem Api dan Bara”, buah karya Tjamboek Berdoeri menunjukkan tentang detil kejadian sekitar tahun 1941—1947. Zaman itu adalah akhir masa pendudukan Belanda dan pendudukan Jepang di Indonesia, awal revolusi saat Belanda mencoba menguasai Indonesia hingga tahun 1947. Buku ini terbit pertama kali di Malang pada November 1947. Awalnya, tidak ada yang tahu penulis buku ini. Yang diketahui hanyalah seseorang menyerahkan buku ini kepada Kwee Thian Tjing untuk diterbitkan.

Secara kebetulan, Benedict Anderson menemukan buku ini di pasar “lowak” pada tahun 1963 di Jakarta. Penelitian Anderson mengenai buku ini sempat tertunda karena dicekal rezim Orde Baru. Pasca reformasi, penelitian dilanjutkan lagi. Setelah dua tahun penelitian (2001-2002), Anderson berhasil mengetahui identitas Tjamboek Berdoeri. Ia lalu menerbitkan kembali buku ini dengan “Kata Pengantar” dan menambahkan foto-foto Malang selama masa revolusi. Tulisan ini akan meringkas buku “Indonesia dalem Api dan Bara” dan membandingkannya dengan buku lain yang memotret masa revolusi.

Pengantar oleh Benedict Anderson
Bagian awal buku ini berisi pengantar dari Benedict Anderson yang menceritakan tentang kehidupan Tjamboek Berdoeri. Sementara itu, Arif Widodo Jati juga menulis pengantar yang mengisahkan perjuangan mencari identitas pengarang buku ini. Tjamboek Berdoeri adalah seorang wartawan keturunan Tionghoa yang bernama asli Kwee Thian Thing (KTT). Meskipun berakar dari etnis Tionghoa, tidak berarti rasa nasionalismenya yang lebih kecil dibanding pribumi. Ia justru pernah menulis artikel yang membela perjuangan di Aceh. Akibatnya, ia dipenjara oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan pasal pencemaran nama baik.

KTT memiliki pengalaman hidup yang relatif kaya. Ia dikenal sebagai seorang aktivis masyarakat, wartawan yang terjun di bidang politik, keturunan Tionghoa yang kritis terhadap golongannya, dan penulis karya sastra bertema kritik sosial. Namun, saat Jepang datang, ia terpaksa berhenti sebagai wartawan karena sensor media yang keras dari Jepang.

Selama menjadi wartawan, KTT tergolong sukses. Ia disegani oleh Pemeritah Hindia Belanda. Sebagai aktivis masyarakat, ia sempat berkorepondensi dengan Bung Karno. Karirnya begitu pesat meningkat karena: (1) lahir dan dewasa di zaman emas, yakni saat muncul banyak tokoh pergerakan bangsa dalam situasi pergerakan yang kondusif, (2) termasuk orang Tionghoa pertama di Indonesia yang mempunyai kesadaran politik, (3) lahir di Jawa Timur yang beranekaragam kebudayaannya, (4) berkembangnya dunia pers di Hindia Belanda, (5) bersekolah di sekolah berbahasa Belanda.

KTT menceritakan pendudukan Belanda dengan bahasa yang lucu, zaman pendudukan Jepang dengan bahasa yang tenang, sekaligus gelisah dan mengejutkan, dan zaman melawan Belanda pada tahun 1947 dengan kisah banyaknya pembunuhan. Deskripsi ini mewakili bagaimana dirinya mengarungi hidup. Pada zaman Belanda, ia relatif hidup baik, meskipun sempat dipenjara karena menulis artikel yang menentang pemerintah. Pada zaman masuknya Jepang, dia menjadi polisi kota yang bertugas untuk mempertahankan Hindia Belanda. Meskipun ditinggalkan oleh pasukan pemerintah Hindia Belanda, bahkan dilecehkan oleh anak-anak, dia masih merasa belum mengalami tragedi yang menyakitkan. Pada awal kemerdekaan inilah terjadi sesuatu yang menyakitkan! Ketika Belanda datang, momen itu ditandai oleh ketidakpastian pemerintahan dan semangat nasionalisme yang kebablasan. Pada waktu itu, ada pembunuhan dan pemerkosaan terhadap etnis Tionghoa karena anggapan bahwa etnis Tionghoa merupakan antek-antek Belanda. Di antara para korban, keluarga dekat KTT pun termasuk di antara para korban. Tragedi ini menimbulkan ingatan yang tidak enak dalam dirinya.

Penjajahan Belanda hingga Penguasaan Jepang
Tjamboek Berdoeri memulai tulisannya dengan mendeskripsikan penyerangan yang dimulai oleh Hitler pada Agustus 1939 ke Eropa.Penyerangan ini mengakibatkan Eropa luluh lantak dan hanya menyisakan puing-puing dalam lautan api. Hitler memakai Nazi untuk menggertak negara-negara demokrasi, memperluas kekuatannya, dan melemahkan negara lain. Pada 10 Mei 1940, Nazi menyerang Belanda. Akhirnya Jerman menduduki Belanda dalam kurun waktu 5 hari. Pada waktu yang sama, Indonesia melakukan persiapan untuk perang melawan pendudukan Hindia Belanda. Biaya yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda di Indonesia sangat besar dalam mempersiapkan diri melakukan perlawanan kepada Jerman. Pemerintah kolonial ini mempersiapkan Angkatan Darat, Laut, dan Udara. Bahkan, di setiap tempat mulai didirikan land dan stadswachter. Anggota-anggotanya terdiri dari semua kalangan, tidak melihat lagi perbedaan ras dan warna kulit, tidak terkecuali etnis Tionghoa di Indonesia. Mereka tergabung sebagai Nederland Onderdaan niet-Nederland is Welkom.
Propaganda yang dilakukan oleh para tokoh terkemuka Tionghoa sangat berpengaruh pada perekrutan Stadswachter pada saat itu. Perkumpulan Tionghoa yang tergabung dalam Chung Hua Tsing Niem Hua dikumpulkan dalam satu gedung dan digerakkan untuk bergabung menjadi anggota Stadswacher. Setelah menjadi anggota Stadswachter, ada keharusan menghormati pemimpin yang berpangkat lebih tinggi seperti tatanan militer. Pada 8 Desember 1941, Hindia Belanda berperang melawan Jepang (Dai Nipon). Semua anggota Stadswachter harus selalu bersiaga di semua tempat, menggunakan persenjataan lengkap ke manapun, dan siap sedia jika terjadi peperangan dan dianggap sebagai bagian dari Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL).

Pasukan lain yang dibentuk untuk persiapan perang adalah Luchtbeschermingsdienst (LBD). Jika Stadswachter untuk penyerangan, LBD merupakan pasukan bertahan. LBD bertugas untuk melakukan semua penyelamatan agar pertahanan tidak goyah akibat serangan musuh. LBD memiliki telepon, tandu, pembalut luka, dan kurir yang lebih teratur untuk membantu pertahanan Hindia Belanda. Biasanya pasukan Stadswachter memulai pergerakan dari pos LBD, lalu diikuti oleh anggota LBD sebagai pembantu dalam pertahanan. Pos-pos LBD ini tersebar di semua daerah. Pasukan lain yang juga dibentuk adalah Eerste Hulp Bij Ongelukken (EHBO). Anggota EHBO adalah kaum perempuan yang dilatih untuk mengobati para pasukan yang terluka. Pasukan EHBO lebih sering dilatih karena kurangnya pengalaman dari anggota awal yang direkrut oleh Hindia Belanda.

Jepang kalah oleh Belanda hanya karena tinggi badan. Dari segi Angkatan Laut dan Darat, Tjamboek Berdoeri pun lebih memberi rasa hormat dengan perjuangan yang dilakukan Belanda. Angkatan Laut Belanda menyerang mati-matian markas Jepang. Begitu juga dengan Angkatan Darat yang terus menyerang walaupun jumlahnya lebih sedikit dari milik Jepang. Akan tetapi, secara umum, seorang Hindia Belanda yang mempunyai kedudukan tinggi mengatakan bahwa perang melawan Jepang berlangsung dengan cara yang memalukan.

Tjamboek Berdoeri menuturkan bahwa serdadu dari berbagai negara mulai terlihat. Serdadu Amerika, Australia, dan Inggris muncul untuk membantu dengan persenjataan yang lebih lengkap, seperti Pesawat Jager. Penyerangan itu mengakibatkan banyak korban berjatuhan. Ia pun terkena dampak berupa batuk yang hebat dan masuk angin yang mengakibatkan suaranya hilang. Akibatnya, ia tidak dapat membantu mempertahankan wilayahnya dan beristirahat di rumah karena luka dan penyakit yang dialaminya. Namun, ia tetap pergi ke tangsi Lapangan Boegis tanpa pakaian serdadu dan hanya membantu pasukan lainnya. Ketika pasukan Jepang melakukan penyerangan ke sana dan meluluhlantakkan benteng, pasukan yang tersisa membuka pakaian serdadunya, memakai pakaian biasa, lalu menuju jalan raya seperti kaum pengungsi.

Setelah Belanda menyerah pada Jepang tanpa perjanjian apa-apa, Jepang melakukan apapun yang mereka inginkan. Jepang mulai menduduki pemerintahan, wilayah dan sebagainya. Belanda begitu gampang menyerah karena Jepang memiliki kekuatan yang besar. Jepang memperlihatkan kekuatannya di Pasifik, menjegal Amerika di Pearl Harbour, dan menggulung Inggris di Hongkong dan Singapura. Akhirnya, penyerahan wilayah dan pemerintahan menjadi faktor akselerasi bagi Jepang untuk menancapkan kakinya di Indonesia. Rakyat Indonesia pun menerima kedatangan mereka sebagai “Saudara Tua”.

Perkembangan Sejarah Kota Malang
Kota Malang pertama kali ditaklukkan oleh Belanda pada tahun 1767. Belanda menjadikan Malang sebagai ibukota kabupaten yang merupakan bagian dari Karesidenan Pasuruan pada tahun 1812. Baru pada tahun 1914, pemerintah Belanda menjadikannya sebagai kotamadya. Pada tahun 1918, Malang memiliki sebuah Dewan Kota yang dibentuk berdasarkan hasil pemilihan. Dewan Kota ini terdiri dari 9 orang Eropa, 4 anggota golongan Bumi Putera, dan 2 anggota dari golongan Timur Asing. Golongan Timur Asing ini terdiri dari orang Tionghoa dan orang Asia non-Tionghoa.

Pada 8 Maret 1942, Jepang telah menduduki Kota Malang. Pemerintah militer Jepang membentuk organisasi Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dan Kakyo Shookai untuk mewadahi masyarakat Indonesia dalam mewujudkan propaganda Jepang. Putera diperuntukkan bagi masyarakat pribumi, sedangkan Kakyo Shookai khusus untuk masyarakat keturunan Tionghoa.
Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pada akhir tahun 1945, terjadilah kekosongan kepemimpinan dalam pemerintahan. Selama kurun waktu ini terjadi revolusi besar di dalam masyarakat. Taktik “Bumi Hangus” yang digencarkan oleh Tentara Nasional Indonesia telah disusupi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Taktik ini sebenarnya bertujuan untuk menghancurkan bangunan-bangunan penting supaya tidak digunakan oleh Belanda yang melakukan agresi. Penjarahan, pembakaran, pemerkosaan, penganiayaan, dan pembunuhan terjadi di Malang. Penduduk Tionghoa tidak lepas dari sasaran. Hal ini disebabkan oleh munculnya stereotipe dari masyarakat pribumi yang menganggap penduduk Tionghoa adalah antek Belanda. Stereotipe tersebut bermula dan terakumulasi sejak penjajahan Belanda yang melibatkan segelintir orang Tionghoa yang membantu permodalan Belanda dengan usaha dan bisnis yang dijalankan.
Rakyat pribumi pun melakukan perlawanan terhadap orang-orang Belanda yang masih tinggal di Indonesia. Situasi yang tidak menentu ini dimanfaatkan oleh Djamino dan Djoliteng, gembong perampok, pembunuh, penjarah, dan pemerkosa dari kalangan pribumi. Situasi ini semakin memperkeruh suasana. Mereka juga menjarah batu nisan dan membongkar kuburan untuk mendapatkan perhiasan yang terdapat di dalam kuburan orang Belanda. Tjamboek Berdoeri menjadi kepala Rukun Tetangga di kompleks yang penduduknya kebanyakan orang Belanda. Awalnya, ia mencoba melindungi orang Belanda. Akan tetapi, ia pun juga tidak kuasa melindungi karena tidak memiliki senjata.
Perkembangan Kota Malang terkini, tepatnya setelah buku “Indonesia dalem Api dan Bara” cetakan kedua diterbitkan juga dijelaskan di bagian akhir buku. Tata kota peninggalan bangunan bersejarah di Malang semakin tergerus akibat meningkatnya pembangunan pemukiman dan tempat-tempat perbelanjaan. Hal ini dimulai dari kebijakan pada masa Orde Baru. Pada masa tersebut, nama di jalan-jalan utama kota diubah demi kepentingan rezim. Pada masa penjajahan Belanda sampai pemerintahan Soekarno, nama jalan diberikan sesuai ciri khas daerah tersebut. Namun, nama-nama tersebut diganti dengan nama pahlawan revolusi atau pahlawan yang dianggap berjasa pada zaman Orde Baru secara sembarangan dan tidak memperhatikan ciri khas setempat.


Buku Pembanding

1. Gouda, Frances. 1995. Dutch Culture Overseas: Colonial Practice in the Netherland Indies 1900-1942. Singapore: Equinox Publishing.

Buku ini menceritakan berbagai sisi kehidupan orang Belanda di Hindia Belanda dari tahun 1900—1942, dengan sudut pandang yang cukup berbeda. Misalnya, dalam beberapa kasus orang Eropa yang datang menganggap diri mereka bukan sebagai penguasa, tetapi sebagai pengungsi dari Great Depression yang terjadi di Eropa. Kemampuan penulis menceritakan detil itu karena ia memiliki kedekatan dengan Hindia Belanda. Orangtuanya pernah tinggal di Hindia Belanda dan mereka masih sering menggunakan beberapa kosa kata Hindia dan bahkan memakan makanan khasnya.
Uraian tentang orang Belanda di Hindia Belanda sebagai penjajah dan orang Indonesia yang dijajah tentu ada karena itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah. Misalnya, cerita tentang pandangan untuk memerhatikan kesejahteraan Belanda dengan konteks lokasi Belanda di tengah negara-negara kuat, diterjemahkan menjadi pandangan bahwa orang Hindia Belanda adalah beban bagi Pemerintah Belanda dan bahwa mereka tidak perlu diberikan bagian dari kesejehteraan ekonomi Belanda.
Gouda menceritakan tentang alasan munculnya pandangan rasialis dari orang Belanda. Dalam keadaan alamiah, orang Belanda dianggap memiliki nilai moral yang tinggi. Akan tetapi dalam konteks Hindia Belanda yang memiliki iklim dan alam yang berbeda, orang Belanda terpaksa menjadikan orang pribumi sebagai musuh dan meninggalkan normadan nilainya yang luhur. Meski demikian, kolonialisme secara moral tetaplah hal yang buruk. Oleh karena itu, orang Belanda merasa terus terancam dalam hidupnya, dan mereka menjadikan rasisme sebagai tameng.
Kekejaman yang dilakukan oleh pemerintahan kolonial pada orang Indonesia, di satu sisi sampai pada kesadaran bahwa perlu dilakukan suatu perbuatan baik kepada orang Indonesia dalam bentuk politik etis. Sebagaimana disampaikan oleh Ratu Wilhelmina dalam pidatonya pada tahun 1901 bahwa pemerintahan kolonial membawa sebuah misi moral. Daerah koloni tidak hanya dijadikan sebagai warisan dan alat mendapatkan kekayaan saja, tetapi juga perlu diberi kebaikan dengan membangun fasilitas kesehatan, pendidikan, transportasi, dan infrastruktur bagi penduduk pribumi.

Hal menarik lainnya ialah saat Gouda menceritakan tentang alasan kembalinya Belanda ke Indonesia. Pada saat itu, ada 100.000 orang Belanda yang berangkat ke Indonesia untuk merebutnya kembali. Selain soal nasionalisme untuk mengembalikan kejayaan Belanda yang hancur karena perang, salah satu alasannya adalah orang Indonesia dianggap sebagai masyarakat yang polos dan tidak mengerti tentang sistem dunia yang kompleks dan kejam sehingga membutuhkan bantuan orang Belanda selama dua sampai tiga generasi lagi.

2. Noordjanah, Andjarwati. 2004. Komunitas Tionghoa di Surabaya (1910-1946). Semarang: Messias.

Noordjanah menceritakan tentang kehidupan masyarakat Tionghoa yang berada di Surabaya pada tahun 1910-1946. Diskriminasi dan stereotipe yang dialami oleh etnis Tionghoa sampai saat ini sebenarnya adalah ekses dari sejarah panjang perjalanan Tionghoa di Indonesia. Sejak zaman penjajahan Belanda, mereka telah mengalami diskriminasi berganda, dari masyarakat dan dari pemerintah kolonial.

Sejak tahun 1854, Belanda memberlakukan Regeringsreglement yang membagi kelompok di Hindia Belanda menjadi tiga golongan: Eropa, Timur Asing, dan Pribumi. Orang Tionghoa dimasukkan ke dalam golongan Timur Asing bersama orang India, Arab, dan Melayu. Ekses dari peraturan ini ialah orang Tionghoa harus menggunakan ciri khas yang mencerminkan dirinya sebagai orang Tionghoa, yaitu kuncir.

Pembagian masyarakat ke dalam 3 kelas memiliki implikasi adanya perbedaan tempat tinggal penduduk berdasarkan pembagian kelas tersebut. Pada tahun 1866, Belanda mengeluarkan Staatsblad van Nederlandsch Indië No 57. Peraturan ini mengatur tentang tempat-tempat yang dapat digunakan untuk tempat tinggal oleh orang Tionghoa dan Timur Asing lainnya. Tujuan diterbitkannya peraturan ini adalah soal keamanan, yaitu agar masyarakat lebih mudah diawasi oleh pemerintah kolonial. Orang yang melanggar akan dikenakan denda sebesar 25—100 gulden, lalu diberikan batas waktu tinggal sebelum pergi ke tempat seharusnya kelompoknya berada. Terkait soal ini, ada juga peraturan passen stelsel, yaitu aturan bahwa orang Tionghoa jika ingin mengadakan perjalanan keluar daerahnya harus mendaftarkan diri dengan menggunakan kartu. Jika tidak membawa kartu, ia akan didenda sebesar 10 gulden. Selain itu, ada peradilan politierol di mana seorang kepala polisi berhak bertindak sebagai hakim. Ia dapat memberikan keputusan untuk menghukum tanpa mendengarkan keterangan saksi terlebih dulu. Jadi, ada unsur pemerasan dan ketidakadilan yang seringkali terjadi.

Selain soal diskriminasi, ada hal menarik lain yang dibahas dalam buku ini, yaitu unsur nasionalisme dan patriotisme yang dimiliki oleh orang Tionghoa dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, meskipun mereka seringkali dianggap tidak memiliki rasa nasionalisme. Sejak masa kemerdekaan, orang Tionghoa tergerak untuk membentuk kembali organisasi-organisasi yang sempat dilarang di zaman Jepang. Mereka yang sempat diasingkan memainkan peranan dalam proses ini untuk mempengaruhi orientasi politik warga Tionghoa lainnya. Buktinya ialah pembentukan pasukan Pao An Tui yang disponsori Belanda, membuat para tokoh Tionghoa tidak setuju, bahkan melakukan pemboikotan konferensi itu. Menjadi menarik untuk melihat hal ini karena di masa revolusi, orang Tionghoa sering dianggap sebagai mata-mata pihak Belanda dan kemudian dijadikan sasaran kemarahan (pembunuhan, pemerkosaan, dan penjarahan) oleh orang yang mengaku pembela negara.

AnalisisBagian analisis ini berfokus pada beberapa hal menarik dari buku “Indonesia dalem Api dan Bara” yang berhubungan dengan dua buku pembanding, yaitu tentang kehidupan dan pandangan orang Belanda terhadap Hindia Belanda dan juga tentang kehidupan orang Tionghoa di Nusantara.

Pertama, orang Hindia Belanda ternyata memiliki justifikasi sendiri atas pendudukannya di Hindia Belanda. Bagi sebagian mereka, pendudukan di Hindia Belanda hanyalah usaha mereka untuk lari dari Great Depression yang sempat terjadi di Eropa. Terkait dengan kejahatan yang mereka lakukan semasa menduduki Indonesia, itu semua terjadi karena keterpaksaan akibat dunia tropis yang penuh ketidakpastian. Akibatnya, mereka harus melakukan semua hal itu untuk bertahan hidup.

Kedua, kehidupan KTT ternyata relatif cukup baik selama masa kependudukan Belanda. Ia sempat belajar formal di sekolah berbahasa Belanda. Hasilnya, ia mahir berbahasa Belanda dan tidak merasa rendah diri saat berhadapan dengan orang Belanda, karena ia terbiasa berhadapan dengan orang Belanda di sekolah. Terbukti juga, ia sempat bergabung dengan Stadswachter, yaitu Polisi Kota yang diprakarsai Belanda untuk mempertahankan diri dari Jepang. Artinya, ia memiliki kedekatan emosional dengan pemerintah kolonial Belanda sampai bersedia membantu mereka.

Ketiga, terjadi diskriminasi terhadap orang Tionghoa dengan tujuan untuk membatasi kehidupan sosial mereka. Mereka dipaksa tinggal di tempat tertentu yang terpisah dari orang pribumi. Alhasil, orang pribumi memiliki rasa curiga yang besar terhadap orang Tionghoa karena jarang bersosialisasi dengan mereka. Hubungan yang tidak baik ini berimplikasi terhadap adanya anggapan bahwa orang Tionghoa adalah antek Belanda. Oleh karena itu, mereka harus ikut dimusnahkan selama masa revolusi. Beberapa kerabat KTT mengalami kejahatan dalam peristiwa ini sehingga KTT menggambarkan masa ini dalam bukunya dengan gambaran yang sedih dan suram.

Keempat, orang Tioghoa ternyata memiliki rasa nasionalisme dan patriotisme yang tidak kalah besarnya dibandingkan dengan orang pribumi. Mereka menolak politisasi orang Belanda dalam membentuk organisasi Tionghoa pasca kemerdekaan. Dalam diri KTT pun ada rasa nasionalisme yang sangat kuat. Ia pernah membela perjuangan orang Aceh dalam tulisannya semasa menjadi wartawan sehingga ia ditahan oleh pemerintah kolonial. Selain itu, ia aktif berhubungan dengan pahlawan nasional, seperti berkorepondensi dengan Ir. Soekarno.

Kesimpulan
Indonesia dalem Api dan Bara” adalah sebuah buku yang dapat memberikan kedalaman pemahaman kita tentang kejadian sekitar masa revolusi (1941-1947). Buku-buku sebelumnya hanya mampu memberikan cerita terbatas yang menyebutkan kejadian besar yang diketahui banyak orang. Akan tetapi, buku ini berhasil memberikan kedalaman deskripsi dari sudut pandang orang yang langsung terlibat dengan sejarah dan diceritakan dengan bahasa sehari-hari kala itu. Ia juga dapat memberikan pemahaman kepada kita tentang bagaimana seorang Tionghoa menjalani kehidupan penuh warna di kala revolusi. Karena bukan orang pribumi, tentu saja orang Tionghoa memiliki sudut pandang yang berbeda soal revolusi. Buku ini mampu menjelaskan hal itu. Terakhir, dapat disimpulkan bahwa buku ini sangat dianjurkan bagi orang yang ingin mempelajari potret kehidupan sosial dalam konteks masa revolusi secara mendalam.

5 komentar:

  1. sangat membantu, menarik banget bang, seru bgt bacanya. ohya untuk bukunya bisa ditemukan dimana ya ? tertarik baca

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    2. Bisa didapatkan melalui penerbit buku Komunitas Bambu, Kak Vivi. Harga terjangkau untuk jenis buku memoar.

      Hapus