Kekuatan Politik di Indonesia Periode Revolusi (1945-1949)

Identifikasi Kekuatan Politik di Indonesia
Periode Revolusi (1945-1949)

R.B.E. Agung Nugroho

Selama periode revolusi (1945-1949) ada tiga kekuatan politik di Indonesia. Identifikasi kekuatan-kekuatan politik dan penjelasan munculnya tiga kekuatan tersebut ialah sebagai berikut:

1. Kekuatan politik pertama ialah partai-partai. Hal ini sudah sangat wajar karena pada saat itu, Indonesia didirikan sebagai negara demokrasi, sehingga kekuatan politik utama dalam sistem pemerintahan demokrasi ialah partai-partai. Munculnya partai-partai ini tidak lepas dari peran serta Jepang yang memberikan angin segar bagi tumbuhnya organisasi-organisasi dan mempropagandakannya sebagai salah satu konsep pembentuk Indonesia.

2. Kekuatan politik yang kedua ialah Soekarno sendiri. Figur Soekarno muncul sebagai kekuatan politik karena reputasinyayang panjang sebagai tokoh perjuangan dan pergerakan kemerdekaan. Bahkan banyak orang sudah mengenalnya sebagai seorang pejuang sejati yang menanggung konsekuensi atas perjuangannya dengan dipenjara, dibuang/diasingkan ke berbagai tempat, dll. Oleh karena itu, sosok Soekarno mendapatkan pengakuan dari masyarakat bahwa dirinya dianggap sebagai pemimpin. Bahkan, pada zaman Jepang, Soekarno sudah dianggap sebagai pemimpin atau representasi dari pihak Indonesia. Latar belakang Soekarno ialah Ketua PNI –meski saat itu sudah tidak lagi menjadi Ketua Partai. Maka tidak mengherankan, pasca Proklamasi Kemerdekaan, para tokoh bangsa tidak ribut dan bertengkar untuk memilih Presiden. Secara otomatis, Soekarnolah yang dianggap sebagai pemimpin bangsa, dan akhirnya diresmikan menjadi Presiden. Reputasinya sudah dikenal, baik di antara kawan dan lawan-lawannya. Selain itu, Soekarno pun dianggap sebagai pribadi yang berkharisma atau tokoh kharismatis. Dalam hal ini, sebutan “Presiden” masih asing dalam sejarah peradaban bangsa Indonesia saat itu. Oleh karena itu, banyak yang menganggap bahwa pemimpin atau Presiden itu adalah raja. Tidak mengherankan jika Soekarno sebagai Presiden dianggap dan diperlakukan sebagai seorang raja. Bahkan sampai tahun 1970-an, pada masa Orde Baru, Soeharto pun sebagai Presiden kerapkali masih dianggap sebagai raja.

3. Kekuatan politik ketiga ialah tentara dengan tokoh pimpinannya, Soedirman. Tentara menjadi kekuatan politik ketika di satu pihak, bangsa Indonesia berhadapan dengan Belanda yang akan masuk dari Australia bersama Sekutu (Inggris). Sementara di pihak lain, kekuatan politik di Indonesia yang terbentuk dari partai-partai terus mengalami pertengkaran. Indikasi pertengkaran antarpartai ini terlihat dari pergantian susunan kabinet dalam waktu yang relatif singkat. Setiap kali kabinet yang sudah terbentuk bubar, lalu disusun kabinet baru sebagai akibat pertengkaran yang tidak kunjung henti. Dalam situasi inilah, kita melihat tentara tumbuh sebagai kekuatan politik yang besar. Apalagi tentara merasa jengkel, bahkan marah karena praktik-praktik kekuatan politik sipil. Puncak kemarahan tentara ialah ketika Yogyakarta diserahkan Soekarno dan diduduki oleh Belanda pada saat Agresi Militer II, tanggal 19 Desember 1948. Situasi inilah yang membawa tentara sebagai kekuatan politik real, bukan legal. Tentara sebagai kekuatan politik legal baru ketika lahirnya DPR Gotong Royong (DPRGR) yang merupakan hasil perombakan DPR hasil PEMILU tahun 1955. Soekarnolah yang melegalkan tentara menjadi kekuatan politik legal dan tentara dapat duduk di parlemen sekitar tahun 1960.

0 komentar:

Posting Komentar