Quo Vadis Papua?

Menyoal Konflik Papua:
Ancaman, Risiko, dan Dampak
bagi Keamanan Nasional

R.B.E. Agung Nugroho

1. Pendahuluan

Berbicara tentang Papua tentu tidak dapat lepas dari gambaran tentang daerah yang masih terus dilanda konflik. Sejak Papua kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tahun 1969, akselerasi konflik di daerah itu terus mengalami pasang surut. Berbagai upaya ditempuh pemerintah Indonesia untuk mengatasi konflik di wilayah yang terletak di ujung Timur negara ini. Namun, semuanya seolah tidak membuahkan hasil sedikitpun.

Isu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), pembangunan yang senantiasa tersendat, interpretasi sejarah yang berbeda antara pemerintah Indonesia dengan gerakan separatis yang ada di Papua, dan sebagainya, menjadi hiasan di pelbagai media mainstream. Berbagai upaya pemerintah untuk meresolusi konflik ini pun ditempuh, baik pendekatan keamanan (security approach), kebijakan nasional dalam ranah politis (national policy), maupun perlakuan khusus dengan Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus) bagi Papua. Semua usaha tersebut seolah belum mampu menanggulangi konflik yang terjadi di Papua. Padahal konflik yang berbau separatis ini sangat mengancam kesatuan, keutuhan, dan kedaulatan NKRI.

Dalam makalah sederhana ini, penulis akan menjelaskan bagaimana konflik Papua dapat menjadi ancaman, mengandung faktor risiko dan dampaknya bagi keamanan nasional. Untuk itu, makalah ini akan dibabak menjadi beberapa bagian. Pada bagian awal akan disajikan secara singkat bagaimana proses sejarah integrasi Papua ke pangkuan NKRI, sekaligus menjawab apakah konflik yang terjadi di Papua ini masuk kategori konflik bersenjata (armed conflict) atau bukan konflik bersenjata (non armed conflict). Selanjutnya, pembahasan akan beranjak pada persoalan dasar yang terjadi dalam konflik Papua. Pembahasan ini juga akan mengangkat bahwa sebenarnya konflik Papua menjadi ancaman serius karena persoalan dasar yang dihadapi begitu kompleks dan pelik. Kemudian, penulis akan memaparkan faktor risiko dan dampak yang mengikutinya dalam konflik Papua tersebut. Dalam hal ini, penjelasannya akan menggunakan enam unsur keamanan nasional sebagai pisau analisis untuk melihat faktor risiko dan dampak dalam konflik Papua. Lalu pada bagian penutup, penulis akan menyampaikan beberapa kesimpulan dari pembahasan tentang konflik Papua dalam makalah ini. Selain itu, penulis juga akan menyampaikan beberapa rekomendasi sebagai langkah resolusi atas konflik yang masih terus berkecamuk di Tanah Papua.

2. Sejarah Papua: Non Armed Conflict atau Armed Conflict?

Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, negara baru ini mengklaim wilayahnya seperti kekuasaan kolonial Belanda di Hindia Belanda. Namun, Belanda masih mempertahankan Papua Barat —yang dikenal oleh pemerintah Indonesia dengan nama Irian Barat— sebagai daerah koloninya. Salah satu alasan Belanda adalah Papua memiliki kondisi sosio-kultural dan karakteristik yang berbeda dengan sebagian besar bekas wilayah jajahannya. Bahkan hingga tahun 1960, wilayah ini masih menjadi sengketa antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Belanda.

Meskipun demikian, sejak tahun 1954 hingga 1961, Indonesia selalu mengklaim yurisdiksi atas teritori Papua Barat di hadapan Sidang Umum PBB. Tidak kalah akal, pemerintah Belanda berusaha mempercepat persiapan untuk memerdekakan Papua Barat. Oleh karena itu, pada tahun 1960, Belanda membentuk satuan polisi yang beranggotakan orang Papua asli.[1] Setahun berselang, dibentuklah Dewan Perwakilan “Nieuw Guinea Raad” sebagai bagian dari percepatan persiapan kemerdekaan Papua Barat.[2]

Akhirnya, Presiden Soekarno mendeklarasikan Tri Komando Rakyat (Trikora) untuk pembebasan Irian Barat di Yogyakarta pada 19 Desember 1961. Pada bulan Mei 1962, pasukan Komando Mandala di bawah pimpinan Mayor Jenderal Soeharto sudah mendarat di Papua dan melaksanakan operasi militer perebutan Papua Barat dari kolonialisme Belanda. Kondisi ini membuat Amerika Serikat dan Uni Soviet mendesak Belanda untuk membuat kesepakatan dengan Indonesia, melalui Persetujuan New York, pada 15 Agustus 1962.[3]

Setelah itu, United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) masuk sebagai pasukan di bawah bendera PBB pada bulan Oktober 1962. Pada 1 Mei 1963, UNTEA mulai memberikan kepercayaan pada Indonesia untuk menangani Papua Barat secara administratif. Akhirnya, PBB memutuskan untuk mengadakan Referendum, yang memberikan kesempatan pada rakyat Papua untuk memilih dan menentukan nasib sendiri secara bebas. Pilihannya adalah merdeka atau bergabung dengan Indonesia. Pada tahun 1969, dilaksanakanlah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Karena keterbatasan akses dan medan yang sangat sulit, diputuskan bahwa Pepera diikuti oleh perwakilan rakyat Papua yang berjumlah 1.026 orang. Alhasil, Pepera ini mengafirmasi bahwa rakyat Papua memilih bergabung dengan Indonesia. Sejak saat itu, nama “Papua Barat” diubah menjadi “Irian Barat” dan secara resmi menjadi Provinsi yang ke-26 dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian pada tahun 1973, namanya berubah lagi menjadi Irian Jaya, yang sekarang sudah menjadi dua provinsi, yakni Papua dan Papua Barat.

Seiring berjalannya waktu, perjalanan Papua sebagai bagian dari NKRI tetap memuat suatu persoalan yang semakin lama semakin bertambah rumit. Tensi konflik di Tanah Papua terus mengalami gejolak karena sebagian masyarakat Papua menginginkan kemerdekaan atas daerahnya. Gerakan separatis ini menjadi bentuk gangguan stabilitas nasional dan menjadi ancaman keutuhan, kesatuan, dan kedaulatan NKRI.

Hingga kini, situasi Papua masih berstatus konflik. Namun, jika dilihat dari kacamata “Dusco Tadic Case” (ICTY) yang merupakan yurisrudensi internasional tentang konflik bersenjata, konflik Papua bukan tergolong sebagai Konflik Bersenjata Non Internasional (NIAC).[4] Menurut ketentuan yang berlaku dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa tahun 1949, konflik Papua berbeda dengan konflik Aceh maupun Maluku. Konflik yang terjadi di Aceh dan Maluku dapat digolongkan dalam Konflik Bersenjata. Sementera konflik Papua termasuk dalam kategori bukan konflik bersenjata.

Berdasarkan “Dusco Tadic Case”, konflik di Papua tidak memenuhi syarat mengenai intensitas konflik serta kelompok bersenjata yang terorganisasi secara rapi dan terstruktur. Faktanya adalah konflik Papua dianggap sebagai bentuk gangguan keamanan saja yang ditangani oleh Polisi. Keterlibatan TNI hanyalah sebagai bentuk bantuan terhadap Polisi. Selain itu, gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) terbagi menjadi beberapa kelompok yang tidak memiliki ikatan organisatoris antara kelompok satu dengan yang lainnya. Mereka beroperasi secara terpisah dan berjalan sendiri-sendiri. Yang terjadi hanyalah pembagian wilayah operasi saja, tanpa meningkatkan intensitas konflik sebagaimana yang terjadi dalam “Dusco Tadic Case” sebagai yurisprudensi konflik bersenjata.

Jika dikemukakan alasan bahwa ada dukungan luar negeri, bahkan secara eksplisit ada dukungan dari beberapa anggota Kongres Amerika Serikat, sebagai yurisprudensi “Dusco Tadic Case” sama sekali tidak ada elemen politik dalam Putusan Tadic. Oleh karena itu, alasan tersebut tidak terlalu relevan dengan intensitas konflik yang terjadi di Papua. Sementara itu, fakta bahwa ada beberapa pelanggaran HAM oleh aparat Polisi maupun TNI, tidak dapat dikatakan terjadi secara massif dan wilayahnya pun tidak terkonsentrasi. Hal ini juga tidak sejalan dengan kacamata “Dusco Tadic Case”. Oleh karena itu, konflik Papua hanya dilihat sebagai suatu bentuk ancaman keamanan nasional —meski sesungguhnya terjadi konflik bersenjata (armed conflict) karena konflik tersebut melibatkan penggunaan senjata antara aktor negara dan aktor non negara (state actor vs non state actor). Dengan demikian, jika dilihat dari kacamata penggunaan senjata, konflik Papua memang dapat dikategorikan sebagai armed conflict; tetapi jika dilihat berdasarkan “Dusco Tadic Case”, konflik Papua masuk dalam ranah non international armed conflict.

3. Persoalan Dasar Konflik Papua sebagai Ancaman

Beberapa peneliti senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Muridan S. Widjojo dan Adriana Elisabeth, telah melakukan kajian konflik Papua dengan riset selama empat tahun (2004—2008) bersama tim yang sudah dibentuk. Hasil riset ini diterbitkan oleh LIPI dalam sebuah buku berjudul Papua Roadmap (2008). Dalam kajian tersebut, tim riset LIPI berhasil merumuskan empat persoalan pokok yang menjadi akar konflik berkepanjangan di Papua.[5] 

Pertama, isu kekerasan negara terhadap masyarakat sipil di Papua. Isu ini sering dikaitkan dengan kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyat Papua.[6] Meskipun isu ini masih menuai pro dan kontra, media massa telah melambungkan kasus-kasus kekerasan yang terjadi di Papua sehingga masalah Papua pun menjadi perhatian komunitas dunia internasional.

Kedua, praktik diskriminasi terhadap penduduk asli Papua. Masyakarat Papua selalu merasa dianak-tirikan oleh pemerintah Indonesia. Mereka menganggap bahwa perhatian dan kepedulian pemerintah terhadap pembangunan Papua masih sangat kurang. Salah satu contoh ialah minimnya sarana dan prasarana pendidikan. Menurut data dari Dinas Pendidikan Kabupaten Asmat tahun 2012,[7] hanya ada lima sekolah SMA/SMK yang diampu oleh 85 guru dengan 1.022 murid berusia 21—24 tahun. Di tingkat SMP, hanya 13 sekolah yang beroperasi dengan 144 guru dan 2.051 murid berusia 11—21 tahun. Sementara itu, di tingkat SD, ada 120 sekolah dengan 16.086 murid berusia 6—15 tahun. Keterbatasan seperti ini juga terjadi dalam bidang yang lain dan dinilai sebagai bentuk diskriminasi terstruktur yang dilakukan oleh negara dan sangat melukai perasaan rakyat Papua.

Ketiga, penafsiran sejarah Papua yang membutuhkan dialog untuk bisa saling mendengarkan. Sebelum tahun 2009, kata “dialog” masih dianggap sebagai sesuatu yang tabu. Pemerintah Indonesia merasa bahwa peristiwa 1 Mei 1963 merupakan peringatan Hari Integrasi Papua ke dalam NKRI. Sementara itu, sebagian besar rakyat Papua menafsirkannya sebagai mulainya aneksasi NKRI terhadap Papua. Perbedaan tafsir sejarah yang sangat kental bernuansa politis ini harus dipertemukan sehingga terjadi pemahaman sejarah yang sama. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia dan rakyat Papua harus berdialog.

Keempat, konsep “Pembangunan Papua” pun menjadi sumber masalah. Kompleksitas persoalan pembangunan disebabkan karena pemahaman konsep “Pembangunan Papua” yang keliru dari pemerintah. Pemerintah dengan cepat mampu mengguyurkan triliunan rupiah untuk meratakan dan mengaspal jalan, membangun gedung-gedung, dan lain-lain. Padahal, semua infrastruktur yang disediakan oleh pemerintah justru banyak dimanfaatkan bukan oleh penduduk asli. Penduduk asli Papua tetap miskin dan tidak memiliki akses secara leluasa terhadap hasil-hasil pembangunan tersebut karena lemahnya kontrol pemerataannya.

4. Faktor Risiko dan Dampak Konflik Papua

Sejarah mencatatkan, kembalinya Papua ke wilayah NKRI melalui sebuah proses yang panjang dan tidak mudah. Terdapat beberapa pihak yang terlibat dalam proses politik tersebut, antara lain Pemerintah Belanda, Pemerintah Indonesia, PBB, dan masyarakat Papua. Kepentingan untuk tetap secara politik mempertahankan wilayah Papua, menyebabkan Pemerintah Belanda melakukan serangkaian pembentukan pemerintahan lokal prematur di Papua. Kepentingan untuk mempertahankan klaim wilayah kesatuan berdasarkan kesamaan nasib dan sejarah sebagai bangsa yang pernah dijajah, menyebabkan Pemerintah Indonesia melakukan serangkaian kegiatan diplomasi dan propaganda agar Papua tetap dan secara sah menjadi bagian dari NKRI. PBB sebagai penengah sekaligus pengemban amanat untuk menjaga stabilitas dan keamanan serta hubungan baik antarnegara anggotanya, kemudian melibatkan masyarakat Papua untuk menentukan keinginannya melalui mekanisme Pepera, yang pada gilirannya secara sah mengantarkan wilayah Papua kembali ke pangkuan NKRI. Kontestasi kepentingan dalam konteks Papua pada masa lalu ini, sering kali menjadikan kita tersesat di tengah pusara propaganda sehingga konflik di Papua tidak kunjung selesai.

Guna mencari jalan keluar bagi persoalan dan konflik Papua, perlu dipisahkan antara konflik politik dan persoalan keamanan di Papua. Dari perspektif persoalan politik, masih ada sebagian kelompok masyarakat Papua yang menginginkan pemisahan diri secara politik dari NKRI; kemudian melakukan gerakan-gerakan dalam semangat memerdekakan Papua secara politis dengan membentuk suatu negara sendiri yang berdaulat penuh. Kelompok masyarakat tersebut lazim dikenal dengan sebutan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Tuntutan dari kelompok OPM adalah pemisahan diri dari wilayah NKRI secara politik karena mereka mengklaim bahwa pelaksanaan Pepera dilakukan secara manipulatif sehingga menghasilkan keputusan yang tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh masyarakat.

Secara sederhana, usaha pemisahan diri dari NKRI yang dilakukan oleh OPM ini menjadi sebuah ancaman keutuhan, kesatuan, dan kedaulatan NKRI. Inilah risiko negara yang mempertahankan kedaulatannya. Inilah risiko negara yang berjuang untuk menjamin keutuhan dan kesatuan keamanan nasionalnya. Dampaknya adalah negara akan mengeluarkan energi, sumber daya, dan kekuatannya untuk menanggulangi salah satu jenis separatisme tersebut. Namun dalam konstelasi hubungan internasional, negara tentu enggan menyebutnya sebagai insurgensi yang secara faktual mengancam kedaulatannya. Konflik di Papua pun ditampilkan sebagai sebuah gangguan keamanan nasional, bukan isu separatisme. Oleh karena itu, yang diterjunkan adalah Polisi. Sementara itu, TNI hanya bersifat membantu kinerja Polisi karena ranah penanggulangan ancaman keamanan seperti ini masuk dalam ranah Polisi. Di sisi lain, dampak konflik Papua juga terasa bagi masyarakat yang tinggal di Papua dan bagi daerah Papua sendiri. Pembangunan di Papua tentu akan tersendat dan masyarakatnya pun hidup dalam keadaan yang tidak kondusif untuk berkembang, karena ada ancaman keamanan di wilayahnya. Apalagi wilayah tersebut sedang berada di dalam zona konflik yang terus berkecamuk hingga kini.

Dari perspektif persoalan keamanan di Papua, penulis melakukan pendekatan menggunakan elemen keamanan nasional, yaitu socio-political stability, ecological balance, territorial integrity, external peace and harmony, cultural cohesiveness, dan economic sustainability. Pertama, socio-political stability dapat diartikan sebagai stabilitas kehidupan sosial politik, yaitu kehidupan kelompok masyarakat yang damai dan harmonis dalam sebuah wilayah, dengan terciptanya hubungan yang saling mendukung antara masyarakat dan pemerintah. Dalam konteks Papua, kehidupan antarmasyarakat di Papua terjalin dengan harmonis dan damai. Perselisihan antarsuku di Papua biasanya diselesaikan dengan jalan musyawarah berdasarkan ketentuan adat, yang secara kultural telah disepakati bersama. Persoalan masih terjadi, ketika berbicara tentang hubungan yang saling mendukung antara masyarakat dengan pemerintah. Seringkali pernyataan kekecewaan muncul dari masyarakat Papua terhadap pelaksanaan program pemerintah. Hal ini salah satunya disebabkan oleh faktor politik, yaitu perjalanan sistem politik di Indonesia pada masa rezim Orde Baru yang diktator berganti menjadi perjalanan sistem politik di Indonesia zaman Orde Reformasi yang membawa angin segar demokratisasi.

Pada zaman rezim Orde Baru, di seluruh wilayah Indonesia —termasuk Papua—diterapkan sistem politik diktator yang membungkam aspirasi lewat tangan besi penguasa sehingga menimbulkan banyak persoalan yang ditengarai sebagai salah satu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).[8] Apalagi kondisi Papua yang menjadi daerah konflik antara pemerintah dengan OPM. Persoalan tersebut seolah menjadi bom waktu yang ledakannya terasa pada masa sekarang; di zaman Orde Reformasi. Masa pemberlakuan sistem politik diktatoral yang berjalan sangat panjang di Indonesia pada masa lalu tersebut, menyisakan persoalan rumit bagi pemerintah Indonesia hari ini dan menjadikan transformasi kebijakan pemerintah telah terlebih dahulu memiliki image negatif di kalangan masyarakat. Di sisi lain, perspektif bawaan pemerintah masa lalu yang masih dimiliki oleh pemerintah saat ini, hampir selalu memposisikan ungkapan ketidakpuasan atas program pemerintah sebagai tindakan melawan pemerintah. Dua perspektif tersebut menjadi persoalan mendasar dan menjadikan stabilitas kehidupan sosial politik di Papua terus bergejolak sehingga menjadi ancaman pertama bagi keamanan nasional. Inilah deskripsi risiko dan dampak dari perspektif socio-political stability dalam melihat konflik Papua.

Kedua, ecological balance yang dapat diartikan sebagai keseimbangan ekologis, yaitu kondisi di mana lingkungan mampu mendukung strategi pembangunan yang berkelanjutan untuk kepentingan nasional dan masyarakat setempat. Dalam konteks Papua, terjadi ketidak-sinkronan antara kondisi lingkungan dan strategi pembangunan. Di satu sisi, Papua merupakan wilayah dengan Sumber Daya Alam (SDA) yang sangat kaya, tetapi hanya ditopang oleh Sumber Daya Manusia (SDM) yang sangat kurang memadai. Di sisi lain, pembangunan yang terjadi di Papua tidak dapat dinilai sebagai pembangunan yang berkelanjutan. Misalnya, berkaca pada kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh mega proyek  PT. Freeport Indonesia di Timika, yang secara terang-terangan merusak lingkungan di sekitarnya. Dua kondisi yang tidak sinkron tersebut menjadikan ecological balance sebagai persoalan kedua yang merupakan ancaman bagi keamanan nasional di Papua. Tidak mengherankan jika di Papua muncul high poor-rich gradient atau kesenjangan sosial yang sangat tajam. Perspektif ecological balance ini mampu memotret risiko dan dampak yang ditimbulkan dalam penanganan pembangunan wilayah Papua yang masih dilanda konflik hingga sekarang.

Ketiga, territorial integrity yang dapat diartikan sebagai integritas wilayah, yaitu kondisi di mana pemerintah memiliki kontrol efektif atas seluruh wilayahnya. Di Papua, diberlakukan status Otonomi Khusus (Otsus) berdasarkan UU Otonomi Khusus (UU Otsus) No.21 tahun 2001. Salah satu ketentuan yang terdapat dalam UU Otsus misalnya adalah keberadaan dan diakuinya hukum adat sebagai salah satu kearifan serta ciri khas dari wilayah Papua. Pengakuan mekanisme hukum adat tersebut, secara langsung menjadikan territorial integrity sebagai persoalan ketiga di Papua karena dalam perspektif tertentu dapat mengurangi kontrol efektif negara akan sebuah wilayah yurisdiksinya. Pengurangan kontrol efektif negara atas satu wilayahnya tersebut merupakan persoalan ketiga yang menjadi ancaman keamanan nasional di Papua. Inilah potret risiko dan dampak yang timbul jika dilihat dari perspektif territorial integrity yang sebenarnya terkait erat dengan socio-cultural stability.

Keempat, external peace and harmony yang dapat diartikan sebagai kedamaian dan harmonisasi eksternal, yaitu kondisi di mana negara dan masyarakat yang memiliki hubungan harmonis, bebas dari kontrol dan intervensi, serta agresi dari lingkungan luar. Indonesia —sebagai contoh— merupakan anggota PBB dan oleh karenanya, terikat dengan seluruh ketentuan dan kesepakatan yang ada dalam organisasi PBB. Salah satu kesepakatan yang dimiliki Indonesia dengan PBB adalah penghormatan terhadap HAM. Keanggotaan Indonesia di PBB dalam konteks Papua memunculkan dilema tersendiri bagi pemerintah. Di satu sisi, Indonesia memiliki kedaulatan atas wilayahnya sendiri dan dengan demikian, memiliki keleluasaan untuk menerapkan suatu kebijakan yang dianggap perlu untuk kepentingan nasional, seperti penggunaan militer pada zaman Orde Baru untuk menjaga keutuhan, kesatuan, dan kedaulatan teritorialnya. Di sisi lain, penghormatan terhadap HAM sebagai salah satu klausul yang disepakati dan diratifikasi oleh Indonesia sebagai anggota PBB, menjadikan Indonesia tidak dapat menutup mata dan telinga ketika terjadi pembahasan tentang dugaan pelanggaran HAM masa lalu yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam forum PBB, yang pada dasarnya merupakan bentuk intervensi lingkungan internasional terhadap pemerintahan Indonesia dalam menjalankan roda gubernasinya.[9] Dilema ini diperparah dengan ‘hutang politik’ Indonesia atas mekanisme Pepera yang diselenggarakan oleh UNTEA di bawah bendera PBB yang kemudian mengembalikan Papua ke pangkuan Ibu Pertiwi. Kondisi dilematis dan ‘hutang politik’ ini merupakan persoalan keempat yang menjadi ancaman keamanan nasional di Papua.[10] Inilah potret faktor risiko dan dampak dalam menjaga keutuhan, kesatuan, dan kedaulatan NKRI dalam kacamata external peace and harmony, yang terkait dengan pihak luar.

Kelima, cultural cohersiveness yang dapat diartikan sebagai kehidupan yang berbudaya yang kohersif, yaitu kondisi di mana masyarakat setempat dapat secara terbuka melaksanakan kehidupannya berdasarkan nilai-nilai dan kepercayaannya serta merasakan keterikatan yang kuat dengan komunitas nasional. Sebagai contoh secara garis besar, Papua merupakan wilayah dengan etnis Melanesia terbesar yang berbeda secara kebudayaan dan agama dengan mayoritas masyarakat Indonesia. masyarakat Papua adalah masyarakat dengan ciri fisik identik dengan ras Melanesia, yang memiliki rambut keriting dengan kulit gelap, serta mayoritas beragama kristiani.[11] Masyarakat Indonesia secara mayoritas adalah masyarakat dengan ciri fisik rambut lurus dan kulit sawo matang, serta mayoritas beragama Islam. Perbedaan etnis dan agama tersebut menjadikan penanaman ideologi kebangsaan Indonesia dan kesatuan nasional merupakan hal yang sulit dilakukan di Papua. Sulitnya menanamkan rasa saling terikat antara masyarakat Papua dengan masyarakat Indonesia pada umumnya ini, menjadikan cultural cohersiveness persoalan kelima yang menjadi ancaman keamanan nasional di Papua. Faktor risiko dan dampak yang dapat muncul adalah konflik etnik dan agama (ethnic/cultural/religious clash). Hal ini sebenarnya mengemuka dalam bentuk perasaan berbeda yang cenderung mengeklusi diri sehingga menjadikan jarak dan hambatan untuk proses integrasi menjadi satu kesatuan dalam pangkuan NKRI. Inilah yang sering digaungkan oleh OPM dan dijadikan propaganda untuk memisahkan diri secara politis dengan pemerintah Indonesia.

Keenam, economic sustainability yang dapat diartikan sebagai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, yaitu kondisi di mana pertumbuhan ekonomi wilayah tercipta selaras dengan peningkatan kualitas hidup dan lingkungan setempat. Dalam konteks Papua dengan tingkat pendidikan yang rendah jika dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia, kondisi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan sulit terlaksana. Jarak dan medan yang masih sulit terjangkau dari pemerintah pusat membuat Papua seolah menjadi semakin tertinggal jauh dengan percepatan pembangunan wilayah lain di Indonesia. Percepatan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di Papua selama ini dicapai berkat kolaborasi kerja masyarakat asli Papua dengan masyarakat pendatang dari seluruh Indonesia. Walaupun ketentuan dalam UU Otsus menempatkan orang asli Papua untuk menduduki pucuk pimpinan satu organisasi, terutama dalam sektor Pemerintah Daerah (Pemda), kebanyakan posisi strategis dalam pemerintahan dan perusahaan masih diduduki oleh masyarakat pendatang. Hal ini rentan sekali menimbulkan kesenjangan sosial (high poor-rich gradient). Faktor risiko tersebut masih berdampak pada potensi munculnya konflik etnis dan agama (ethnic/cultural/religious conflict), atau setidaknya memicu peningkatan ketegangan sosial (social tensions).

Ketika berbicara tentang kualitas hidup, akan muncul banyak pertanyaan. Dalam perspektif budaya, kualitas hidup yang seperti apa yang dimaksudkan. Apakah masyarakat dengan makanan pokok beras yang dianggap memiliki kualitas hidup yang lebih baik; sementara makanan pokok orang asli Papua adalah sagu? Apakah tinggal di rumah batu yang dianggap memiliki kualitas hidup yang lebih baik; sementara rumah adat Papua merupakan rumah dengan konsep panggung atau sebagian lainnya terbuat dari atap jerami yang biasa disebut honai? Perbedaan terminologi orang asli Papua dan orang Papua yang dimunculkan dalam UU Otsus juga menjadi tantangan baru. Jika kualitas yang dimaksudkan adalah kualitas hidup bagi orang asli Papua, banyak kalangan berpendapat hal tersebut belum terjadi. Namun, kualitas hidup ditandai dengan peningkatan kepemilikan modal kapital yang terjadi pada orang Papua —yaitu orang yang bukan keturunan asli Papua atau masyarakat pendatang yang tinggal di Papua— terlihat sangat mencolok. Yang timbul akhirnya adalah kecemburuan sosial antara masyarakat pendatang yang tinggal di Papua dan orang asli Papua. Kondisi faktual ini menandakan bahwa economic sustainability belum terjadi di Papua, sekaligus menjadikan pembahasan mengenai pertumbuhan ekonomi dalam persoalan keenam yang dapat muncul sebagai ancaman keamanan nasional di Papua.

5. Penutup: Kesimpulan dan Rekomendasi

Berdasarkan penjelasan dalam makalah singkat ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa pertama, konflik dapat terjadi dalam setiap elemen keamanan nasional. Dalam konteks konflik di Papua, melalui pendekatan enam elemen keamanan nasional —yakni socio-political stability, ecological balance, territorial integrity, external peace and harmony, cultural cohesiveness, dan economic sustainability— dapat disimpulkan bahwa konflik Papua berpotensi dan bahkan sudah memunculkan secara nyata beberapa faktor risiko yang dapat diidentifikasi. Faktor-faktor risiko tersebut adalah ketidak-stabilan politik (political instability), konflik tradisional berbasis perebutan penguasaan sumber daya (traditional conflicts over resources), munculnya kesenjangan sosial dalam masyarakat (high poor-rich gradient), potensi konflik budaya, etnis, dan agama (ethnic/cultural/religious clash), serta memicu meningkatkan ketegangan sosial dalam masyarakat (social tensions). Setiap faktor risiko tersebut juga memiliki dampak atau konsekuensi yang mengikutinya, sebagaimana konflik yang cenderung membawa akibat buruk dalam bentuk kerusakan dalam skala besar maupun kecil, korban jiwa dan luka-luka, serta memperlambat proses pembangunan dan mengancam keutuhan, kesatuan, dan kedaulatan NKRI.

Kedua, berdasarkan kilas balik sejarah, konflik Papua dapat masuk dalam kategori, baik konflik bersenjata maupun bukan konflik bersenjata. Konflik Papua dapat dikategorikan dalam konflik bersenjata dengan alasan bahwa konflik tersebut menggunakan senjata dan terjadi antara aktor pemerintah dan aktor non pemerintah, yang sebenarnya masuk dalam ranah insurgensi. Penggunaan senjata antara dua kelompok atau lebih ini sudah menunjukkan bahwa konflik tersebut merupakan konflik bersenjata. Namun, berdasarkan “Dusco Tadic Case”, konflik ini tergolong bukan sebagai konflik bersenjata —mengacu pada Pasal 3 Konvensi Jenewa tahun 1949. Artinya adalah konflik Papua tidak sesuai dengan kriteria konflik bersenjata berdasarkan yurisprudensi dari Putusan Tadic, dan hanya dianggap sebagai gangguan keamanan nasional yang berupa tindak kriminal dan masuk dalam ranah kewenangan Polisi sesuai dengan kebijakan pemerintah Indonesia.

Ketiga, konflik Papua ini memiliki akar dalam pelurusan sejarah dan bertujuan untuk memisahkan diri dari NKRI. Hasil kilas balik sejarah integrasi Papua atau kembalinya Papua ke pangkuan NKRI menunjukkan bahwa konflik Papua bersumber pada interpretasi sejarah yang berbeda. Pemerintah Indonesia menganggap bahwa hasil Pepera merupakan keberhasilan mempertahankan kedaulatan NKRI; sementara orang asli Papua melihat bahwa Pepera merupakan cara manipulasi pemerintah Indonesia untuk menganeksasi Papua. Oleh karena itu, jelas sekali bahwa konflik Papua mengancam keutuhan, kesatuan, dan kedaulatan NKRI. Inilah ancaman yang sangat besar sebagai negara, apalagi pembangunan di Papua pun tidak menunjukkan keberhasilan seperti yang terjadi di banyak wilayah lain di Indonesia. Selama ini, pendekatan keamanan berbasis militer (security approach) menjadi utama; dan kurang memaksimalkan pendekatan berbasis kesejahteraan (prosperity approach).[12] Dengan demikian, penyelesaian konflik Papua sangat tergantung dari pilihan tindakan dan kebijakan (policy) yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Program pemerintah pun sudah semestinya disesuaikan dengan kebutuhan penguatan keamanan nasional. Salah urus atas persoalan Papua hanya akan menjadikan masalah Papua semakin meluas dan dimungkinkan terbuka di dunia internasional sebagai armed conflict, di mana pihak ketiga dari kalangan internasional bisa ikut campur tangan dan mengurusi persoalan dalam negeri Indonesia.

Dari tiga kesimpulan di atas, penulis menawarkan beberapa rekomendasi untuk meresolusi konflik Papua. Pertama, pemerintah harus terus menyeimbangkan antara pendekatan berbasis keamanan dan kesejahteraan (security and prosperity approach) secara berkesinambungan. Kolaborasi dua pendekatan ini juga diiringi dengan sosialisasi kebijakan pemerintah yang konsisten dan terstruktur, bahkan massif. Selain itu, setiap kebijakan harus dipantau dalam penerapan dan pelaksanaannya. Hingga saat ini, kecenderungan yang terjadi adalah menggelontorkan uang sebanyak mungkin di Papua tanpa ada pemantauan atau pengawasan yang ketat. Sosialisasi kebijakan ini juga dapat menjadi pola rekonsiliasi luka-luka lama yang dirasakan orang asli Papua di zaman rezim Orde Baru. Perubahan kebijakan dan konstelasi politik yang sudah membaik di era Orde Reformasi seolah belum ditangkap jelas hingga Papua. Oleh karena itu, dibutuhkan usaha ekstra untuk merealisasikan sosialisasi kebijakan yang lebih berpihak pada rakyat asli Papua ini.

Kedua, pemerintah harus secara proaktif melibatkan peran media —baik lokal, nasional, maupun internasional— untuk menampilkan image perhatian serius dan intensif terhadap persoalan Papua. Usaha-usaha pemerintah harus bisa tampil di jajaran media mainstream supaya dukungan terhadap pemerintah pun semakin kuat, baik dari dalam maupun luar negeri, dari rakyat Papua sendiri maupun dari rakyat Indonesia pada umumnya. Selain itu, fungsi media ini juga dapat membentuk opini publik terkait isu Papua. Alangkah lebih mudah jika isu-isu konflik di Papua ditransformasi secara perlahan menjadi isu-isu pembangunan dan pemerataan kesejahteraan bagi rakyat Papua. Peran media ini juga diharapkan mampu mendorong proses dialog Papua-Jakarta, yang tidak bisa dilakukan dalam waktu yang singkat karena keberadaan faksi-faksi OPM yang lebih dari satu kelompok.

Ketiga, konflik Papua bisa diresolusi dengan dialog yang minimal harus melewati empat tahap dialog[13] karena kondisi OPM yang berjumlah lebih dari satu kelompok, bahkan ada dukungan dari orang asli Papua diaspora atau yang berada tersebar di banyak negara di luar Indonesia. Tahap pertama adalah dialog antara sesama orang asli Papua. Mereka harus menyatukan suara terlebih dahulu sebelum melangkah untuk berdialog dengan pemerintah Indonesia. Pasalnya, jika mereka tidak menyatukan suara terlebih dahulu, mereka tidak akan pernah bisa menyatakan diri sebagai wakil dari rakyat Papua atau mewakili kelompok lain. Mereka hanya bisa berbicara atas nama kelompoknya saja. Oleh karena itu diperlukan dialog antara sesama orang asli Papua. Setiap kelompok orang asli Papua mengirimkan utusan untuk membuat kesepakatan dan membulatkan suara.

Tahap kedua adalah dialog antara orang asli Papua yang tinggal di Papua dengan orang asli Papua diaspora, yang tersebar di banyak negara di luar Indonesia.[14] Harapannya, kesepakatan dalam dialog tahap kedua ini dapat dijadikan klaim bahwa suara mereka mewakili suara orang asli Papua, baik yang berada di Papua maupun yang tersebar di luar Papua, baik di dalam maupun di luar negeri. Namun, suara mereka masih kurang valid jika diklaim sebagai suara yang mewakili seluruh rakyat Papua. Dalam tahap kedua ini, mereka harus menentukan siapa yang akan mewakili dalam dialog di tahap berikutnya.

Oleh karena itu dibutuhkan dialog tahap ketiga, yaitu dialog antara orang asli Papua dengan masyarakat non Papua yang telah tinggal dan menetap sebagai warga masyarakat di Tanah Papua. Dialog tahap ketiga ini penting karena orang asli Papua juga harus menghormati masyarakat pendatang yang telah tinggal dan menetap di Tanah Papua —sebagaimana masyarakat pendatang tersebut menghormati tradisi dan adat istiadat di mana mereka tinggal, serta proses dialog tahap pertama dan kedua. Prinsip ini juga menggarisbawahi HAM bagi setiap individu untuk memperoleh hak hidup, hak bersuara, hak mencari penghidupan yang layak, dan sebagainya. Dalam tahap ketiga ini, mereka harus menyatukan suara yang akan dibawa ke tahap dialog selanjutnya.

Tahap keempat adalah dialog antara masyarakat Papua dengan pemerintah Indonesia. Inilah dialog tahap akhir, yang belum melibatkan pihak ketiga sebagai mediator. Ketika dialog tahap terakhir ini buntu, akan lebih baik jika ditempuh jalur intervensi dengan melibatkan pihak ketiga sebagai mediator sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Hal senada juga dapat diterapkan dalam proses dialog dari tahap pertama, kedua, dan ketiga. Dengan proses dialog bertahap seperti ini, diharapkan ada angin segar resolusi konflik di Tanah Papua —sebagaimana yang selama ini digemakan oleh banyak aktivis perdamaian mengenai perjuangan menjadikan “Papua Tanah Damai”. (*)

___________________________
Keterangan:
1. Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1986. 30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964. Jakarta: PT Cipta Lamtoro Gung Persada, hlm.184.
2. Drooglever, 1989. Tindakan Pilihan Bebas, Yogyakarta: Kanisius, hlm.409.
3. Jennifer Robinson, The UN’s Chequered Record in West Papua: In the 1960s, West Papuans Were Sacrificed in the Name of the Cold War and the UN Did Nothing About It,” seperti dilansir Al Jazeera, 21 Maret 2012, dalam http://www.aljazeera.com/indepth/opinion/2012/03/2012321725391 45809.html.
4. Fadillah Agus, Konflik Bersenjata Non-Internasional (NIAC), dalam Slide Presentasi Matakuliah Humanitarian Law Program Studi PCR Cohort 3, semester 2. Kesimpulan ini berdasarkan hasil riset Dr. Fadillah Agus, S.H., M.H., yang mendasarkan diri pada Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949.
5. Muridan S. Widjojo, Adriana Elisabeth, dkk, 2008. Papua Roadmap: Negotiating The Past, Improving The Present, and Securing The Future. Jakarta: LIPI.
6. Isu pelanggaran HAM ini menjadi polemik dan wacana hingga dunia internasional. Salah satu bentuk polemik itu dapat dibaca dalam Edward Aspinall, 2005. A Reply to Peter King. Cambridge: The Cambridge University Press, hlm.139-141.
7. Aprianita Ganadi, Potret Problematika Pendidikan di Asmat” dalam Majalah HIDUP edisi 37, hlm.10-11, yang terbit pada tanggal  22 September 2013.
8. Katrina Roe, 2011. West Papua 2010: A Literature Survey. Sydney: Centre of Peace and Conflict Studies, The University of Sydney, hlm.4.
9. Pasca rezim Orde Baru pun ditengarai pelanggaran HAM berat masih berlangsung di Papua. Terjadi peningkatan jumlah anggota dan pemekaran wilayah militer. Pada periode 1998—2001, sebelum otonomi khusus, hanya terdapat 3 Komando Rayon Militer (Korem) di bawah Komando Daerah Militer (Kodam) XVII Cenderawasih dengan kekuatan 3 batalion. Setiap Korem terdiri dari 9 Komando Distrik Militer (Kodim). Pasca pemekaran dan penetapan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, jumlah tersebut meningkat menjadi 5 Korem dengan kekuatan 6 batalion, bahkan sedang dipersiapkan 17 Kodim baru. Anggota baru tersebut berasal dari luar Kodam XVII yang diperbantukan untuk pengamanan terhadap gerakan OPM. (Agus A. Alua, Presentation to Parliament Members in Canbera and Indonesia Solidarity Cooperated Meeting in Sydney, August 6 to 10, 2007, hlm.7)
10. Jason MacLeod, 2008. Nonviolent Struggle in West Papua: “We Have a Hope”. London: Lyenne Rienner, Boulder.
11.Budi Hernawan O.F.M., 2012. “They Are Just Papuans” Potraying The Papua Conflict on Foreign Soil. Sydney: CPACS of The University of Sydney, hlm.3-4.
12.Kesadaran ini muncul sejak zaman Presiden Abdulrahman Wahid (Gus Dur), dan terus berlanjut hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada tanggal 9 November 2011, Presiden SBY menyerukan agar seluruh elemen yang terkait dengan permasalahan Papua harus berdialog dengan rakyat Papua secara terbuka. (Markus Junianto Sihaloho dan Ezra Sihite, Papua Needs Improved Welfare, Not Extra Soldiers, Yudhoyono Declares”, dapat dibaca dalam http://www.thejakartaglobe. com/archive/papua-needs-improved-welfare-not-extra-soldiers-yudhoyono-declares/573498/).
13.Neles Tebay, 2009. Dialogue between Jakarta and Papua: A Perspective from Papua. Aachen: Pontifical Mission Society of Human Rights Office (MISSIO).
14.Dialog sesama orang asli Papua yang tinggal di Papua dan orang asli Papua diaspora ini dimungkinkan karena sudah ada inisiatif dialog yang digulirkan oleh beberapa orang tokoh. Lih. John Ondawane dan Peter King, 2006. West Papua: Exploring the Prospects of Peace with Justice –Report on a Workshop and Future Plans 2001. Sydney: Centre for Peace and Conflicts Studies, The University of Sydney, hlm.4-6.

0 komentar:

Posting Komentar