Analisis Kasus Tambang Manggarai Menurut Fisher & Ury

Analisis Kasus Tambang Manggarai NTT
dari Perspektif Principled Negotiation
Menurut Fisher dan Ury

R.B.E. Agung Nugroho

Penjelasan kasus tambang di Manggarai, NTT (Tumbak dan Satar Teu) menggunakan konsep Principled Negotiation dari Fisher dan Ury adalah sebagai berikut:

Dalam bukunya “Getting to Yes: Negotiating an Agreement without Giving in” (1991), Roger Fisher dan William Ury menjelaskan tentang konsep Principled Negotiation. Konsep yang mirip dengan model “win-win solution” ini menawarkan empat poin utama, yaitu:

a. Memisahkan Orang dari Permasalahan
Dalam kasus tambang mangan di Kampung Tumbak, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur, NTT, kita harus secara selektif mengajak pihak-pihak yang terlibat untuk berpikir “out of the box”. Artinya, 52 KK warga Kampung Tumbak yang kontra (menolak) tambang dengan PT. Aditya Bumi Pertambangan (ABP) dan 29 KK warga Kampung Tumbak yang pro (mendukung) tambang, dapat duduk bersama dengan pikiran jernih dan dingin. Mereka diajak untuk tidak berfokus pada persoalan yang sedang mereka hadapi. Permasalahan tentang Tanah Gendang-Lingko (tanah ulayat atau tanah adat) yang digunakan untuk kepentingan tambang –berdasarkan perjanjian antara Tua Teno (Tetua Adat) Abdul Karim bersama 29 KK dengan PT. ABP pada 10 Mei 2014– disingkirkan terlebih dahulu. Dalam hal ini, para stakeholder –seperti Pemerintah Daerah mulai dari Kecamatan Lamba Leda hingga Kabupaten Manggarai Timur bersama para Kepala Dinas, Kepolisian, Babinsa, TNI, LSM, media massa, tokoh agama (Gereja Katolik terutama), dll– juga harus bisa menempatkan diri untuk mendukung proses pemisahan orang dari permasalahannya.

Fisher dan Ury menunjukkan bahwa setiap pihak yang terlibat adalah orang pertama atau sumber langsung –yang selalu memiliki isu-isu substantif dan relasional dalam negosiasi dan mediasi. Cara menangani masalah relasional ini termasuk dengan mempertimbangkan persepsi masing-masing pihak. Misalnya,  dengan membalikkan peran. Warga kontra berusaha mendisposisikan diri sebagai warga pro atau PT. ABP. Demikian juga sebaliknya, warga pro dan PT. ABP mencoba mendisposisikan diri menjadi warga kontra. 

Selain itu, mereka juga diajak untuk membuat proposal negosiasi yang konsisten dengan kepentingan pihak lain; membuat emosi eksplisit dan sah; serta melalui mendengarkan aktif. Setiap pihak diberi kesempatan untuk mengungkapkan uneg-uneg (isi hatinya), sekaligus belajar untuk mendengarkan secara aktif dari pihak lain. Hal ini tidak dimaksudkan untuk meluapkan perasaan yang dipengaruhi emosi, melainkan berusaha memahami pendapat dan pemikiran pihak lain. Mereka didorong untuk dapat membedakan antara pribadi seseorang dan pendapatnya. Ketidaksejutuan pada pendapat seseorang tidak serta merta menjadi justifikasi akan kebecian pada pribadinya. Oleh karena itu, poin ini ingin mengajak warga kontra dan warga pro, serta PT. ABP untuk tidak berfokus pada masalah Tanah Gendang-Lingko, tetapi secara kreatif mencari alternatif jalan keluar daripada berkubang pada persoalan yang dihadapi.

Salah satu topik yang dapat diangkat adalah penggalian tentang filosofi gendang-lingko, yaitu persepsi yang sakral atas ruang dan penghargaan setiap pribadi yang menempati ruang sakral tersebut dalam adat Manggarai. Konsep tentang musyarawah adat untuk mufakat pun terkandung di dalam filosofi “rumah gendang”. Pendalaman atas filosofi ini dapat dilandasi dengan warisan budaya leluhur, yang memuat keyakinan bahwa warga Tumbak memiliki hubungan kekeluargaan yang erat dari garis keturunan ayah. Mereka satu keturunan garis ayah, yang mewarisi keutamaan sakralitas gendang-lingko yang berimplikasi pada penghargaan atas setiap individu dan pendapatnya. Penggalian local wisdom ini dapat menjadi salah satu cara untuk memisahkan orang dari permasahalan yang dihadapinya.

b. Berfokus pada Kebutuhan (Interest), Bukan Posisi (Position)
Poin kedua adalah fokus pada kebutuhan, bukan posisi. Menurut Fisher dan Ury, posisi dapat dianggap sebagai salah satu poin dimensi dalam ruang solusi yang tak terbatas mungkin. Posisi adalah representasi simbolis dari kepentingan yang mendasari motivasi setiap pihak. Oleh karena itu, jika posisi ini terlalu ditonjolkan, setiap pihak pasti akan saling berbenturan dan menggunakan terminologi “menang-kalah”. Misalnya, warga pro dan PT. ABP bisa saja menunjukkan bukti-bukti perjanjian mereka yang dibuat pada 10 Mei 2014, yang dihadiri perwakilan stakeholder. Posisi yang mengacu pada legalitas perjanjian itu pun dapat dibuktikan dengan persejutuan Tua Teno Tumbak yang sah. Sementara itu, warga kontra juga bisa bersikeras dengan legalitas perjanjian yang dibuat dengan PT. ABP pada 31 Juli 2012, dan menafikan perjanjian kedua pada 10 Mei 2014 karena mereka sama sekali tidak dilibatkan. Mereka pun dapat menunjukkan bukti-bukti kriminalisasi yang dilakukan oleh PT. ABP pada beberapa tokoh warga pro (Rikardus Hama dan Adrianus Rusli) yang dituduh mengancam karyawan PT. ABP. Warga pro juga bisa mengutip pernyataan Bupati dan Wakil Bupati Manggarai Timur pada 17 Maret 2010, yang menyatakan bahwa tanah ulayat warga Tumbak tidak masuk wilayah pertambangan.

Jika masing-masing pihak bersikeras dengan posisi mereka seperti itu, negosiasi tidak akan mungkin terjadi. Oleh karena itu, hendaknya masing-masing diarahkan untuk mengungkapkan kebutuhannya. Menurut Fisher dan Ury, kepentingan yang mendasari atau motivasi yang mendorong individu dalam negosiasi seringkali sangat mirip. Dengan berfokus pada kepentingan, para pihak dapat melihat bahwa mereka tidak saling bertentangan. Setiap diskusi tentang kebutuhan pun harus menawarkan rincian konkret dan spesifik, agar membuat kebutuhan yang dimaksudkan menjadi lebih nyata dan kredibel. 

Dalam hal tersebut, warga pro berkebutuhan untuk memurnikan dan menjaga kesakralan tanah Gendang-Lingko. Sementara itu, warga pro dan PT. ABP berkebutuhan untuk tetap bisa menjalankan usaha pertambangan mangan di daerah itu, dan mereka membutuhkan pembukaan lahan untuk pembuatan jalan guna pengangkutan mangan dari Satar Teu menuju Waso. Pembukaan lahan untuk jalan inilah yang melewati tanah Gendang-Lingko (perjanjian dengan warga pro pada 10 Mei 2014), yang sebelumnya hanya melewati pinggiran tanah Gendang-Lingko (perjanjian dengan seluruh warga pada 31 Juli 2012). Jika pembicaraan berdasarkan kebutuhan ini ditonjolkan, diharapkan akan tumbuh rasa saling pengertian, pemahaman, dan penghargaan atas pihak lain demi mencari solusi bersama. Menurut Fisher dan Ury, dalam negosiasi, ada beberapa hal yang bisa digunakan bersama, dapat diperbandingkan (compatible), sekaligus memuat konflik kepentingan. Mengidentifikasi kebutuhan bersama dan kepentingan yang kompatibel sebagai "kesamaan" atau "poin-poin kesepakatan" akan sangat membantu dalam membangun landasan untuk diskusi negosiasi selanjutnya. Prinsip seperti ini seringkali dengan mudah dapat diekstrapolasi dari "poin-poin kesepakatan" untuk menyelesaikan isu-isu lainnya. Dengan demikian, fokus pada kepentingan cenderung mengarahkan diskusi ke masa kini dan masa depan, serta jauh dari bayang-bayang persoalan di masa lalu. Jika kita telah belajar tentang masa lalu, itulah hal-hal yang "tidak bisa kita ubah". Masa lalu dapat membantu kita untuk mengidentifikasi masalah yang membutuhkan solusi. Jangan sampai posisi ditonjolkan sebagai ekspresi persoalan masa lalu, karena berkutat pada masa lalu hanya cenderung memperkeruh konflik dan tidak menghasilkan solusi untuk masa depan.

c. Menemukan Pemecahan Masalah Demi Tujuan Bersama (Mutual Gain)
Sebelum berusaha untuk mencapai kesepakatan tentang solusi untuk masa depan, Fisher dan Ury menunjukkan bahwa beberapa pilihan solusi dapat dikembangkan sebelum evaluasi terhadap pilihan yang akan diambil. Cara khas untuk melakukan hal ini disebut brainstorming. Dalam brainstorming, para pihak –dengan atau tanpa partisipasi mediator– menghasilkan banyak kemungkinan solusi sebelum memutuskan mana solusi yang terbaik untuk memenuhi kepentingan bersama para pihak. Dalam mengembang opsi-opsi ini, setiap pihak didorong untuk mencari keuntungan bersama.

Dalam kasus tambang di Tumbak, proses ini belum berjalan dengan baik. Peran stakeholder masih dapat dikatakan mandul. Bahkan pada poin pertama dan kedua pun, peran pemerintah daerah yang menjalankan fungsi pengawasan usaha pertambangan dan penyelesaian konflik, masih jauh dari ideal –atau bahkan disinyalir justru cenderung berpihak pada PT. ABP. Yang jelas, aparat keamanan ikut mengamankan jalannya proses usaha tambang PT. ABP –yang seolah vis a vis dengan warga pro. Beberapa stakeholder lain, seperti tokoh agama (dalam hal ini Gereja Katolik melalui JPIC-OFM Indonesia dan Uskup Ruteng, Mgr Hubertus Leteng, serta beberapa imam lain), Komnas HAM, dan berbagai media, telah menyoroti kasus ini dan mendorong agar pemerintah menjalankan fungsinya sesuai UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Namun, usaha mediasi selalu gagal dan masih impoten.

Seharusnya, poin ini diadakan brainstroming untuk menggali dan menemukan sebanyak mungkin alternatif demi tujuan bersama bagi kepentingan semua pihak yang berseteru. Proses brainstroming ini dapat dijalankan dengan mengelaborasi sebanyak mungkin informasi tentang kebutuhan setiap pihak dan eksistensi pihak lain. Intinya, masing-masing pihak membuka diri untuk dikenal dan dipahami. Sementara itu, pihak lain berusaha juga membuka diri untuk menggali informasi dari pihak lain sebanyak mungkin dan berusaha memahaminya. Tanpa informasi tentang pihak lain dan apa yang dapat diketahui dari pihak lain, proses penyelesaian persoalan tidak akan pernah terarah kepada solusi. Penggalian informasi inilah yang dapat mengarahkan semua pihak kepada alternatif pemecahan masalah.

Misalnya, warga kontra bisa memetakan dan menggali informasi mengenai warga pro dan PT. ABP. Demikian juga sebaliknya. Selain itu, proses duduk bersama dan menceritakan tentang eksistensi masing-masing pihak, kerapkali dapat membuka informasi baru dari pihak lain dan dapat digunakan sebagai cara obyektivasi atas prasangka-prasangka yang selama ini dilekatkan pada pihak lain. Klaim bahwa warga kontra menolak tambang sebenarnya tidak substansial –karena hanya reasonable reason. Akan tetapi, bahwa warga kontra menolak penggunaan tanah Gendang-Lingko untuk keperluan tambang merupakan the real reason. Begitu pun dengan PT. ABP dan warga pro yang menilai bahwa warga kontra membenci tambang dan mulai melakukan perlawanan. Asumsi mereka ini dapat diklarifikasi dan diobyektivasi ketika brainstorming dilaksanakan. Jadi, poin ini menekankan pada usaha bersama untuk saling menggali informasi dan mencari sebanyak mungkin alternatif solusi demi kepentingan bersama.

d. Menentukan Pemecahan Masalah Bersama dengan Kriteria Obyektif (Objective Criteria) Berdasarkan Asas Keadilan Bersama
Poin ini menekankan pada pendekatan yang menjunjung tinggi asas keadilan bagi semua. Artinya, semua pihak harus dilibatkan secara aktif dengan posisi yang jelas dan tegas. Dalam proses ini, penggunaan kriteria objektif (standar independen dari kehendak semua pihak) merupakan cirikhas "principled negotiation". Fisher dan Ury menjelaskan bahwa pemilihan solusi dilakukan sesuai dengan konsep, standar atau prinsip-prinsip di mana para pihak percaya dan tidak berada di bawah kendali atau paksaan pihak tertentu. Fisher dan Ury merekomendasikan bahwa pilihan harus didasarkan pada kriteria objektif, seperti preseden, tradisi, suatu program yang dirancang bersama, atau rekomendasi dari luar yang disepakati bersama.

Dalam kasus Tumbak, kriteria obyektif yang dapat dijadikan pegangan bersama adalah tanah Gendang-Lingko merupakan ruang sakral warisan leluhur orang Manggarai yang tidak dapat direcoki; dan kompensasi standar atas penggunaan lahan yang dapat dinegosiasikan. Oleh karena itu, PT. ABP janganlah menggunakan tanah Gendang-Lingko untuk pertambangan, yakni dengan membuka lahan lain sebagai jalan pengangkutan mangan dari Satar Teu menuju Waso. Lalu, kompensasi yang diterima warga Tumbak tidak harus sebanyak 25 juta Rupiah per KK, tetapi bisa dikurangi sesuai dengan kesepakatan. Jadi, pilihan tanah yang akan digunakan untuk pertambangan dan besaran kompensasi yang diterima warga merupakan dua kriteria obyektif yang dapat didiskusikan. Lagi-lagi, peran stakeholder sangat dibutuhkan untuk memayungi proses pencarian solusi damai bersama ini. Apalagi, pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk melaksanakan peran pengawasan dan penyelesaian konflik sesuai amanat Undang-Undang.

0 komentar:

Posting Komentar