Reformasi 1998 dan Prinsip Antikekerasan Mahatma Gandhi

 Reformasi 1998 
dari Perspektif Prinsip Antikekerasan 
Mahatma Gandhi


R.B.E. Agung Nugroho

Proses Reformasi tahun 1998 di Indonesia jika dilihat dengan menggunakan prinsip dasar gerakan antikekerasan dari Mahatma Gandhi (satya, ahimsa, dan tapasya).

Reformasi 1998 pertama-tama harus dilihat secara holistik. Gerakan ini memang memuat unsur strategi gerakan antikekerasan seperti dalam kacamata Gandhi. Namun, supaya tidak berat sebelah, reformasi harus dilihat dalam dua babak.

Pertama, tidak dapat dipungkiri bahwa reformasi 1998 pada awalnya merupakan gerakan yang tidak lepas dari kekerasan. Pelaksanaan demonstrasi awal selalu terjadi kericuhan. Tindakan represif aparat tidak jarang dibalas dengan perlawanan dengan kekerasan, misalnya dengan saling melempar batu, dll. Apalagi gerakan reformasi awal sempat disusupi provokator sehingga menciptakan kerusuhan, penjarahan, perusakan, perkosaan, kekerasan yang bersifat massif. Oleh karena itu, dengan berat hati harus dikatakan bahwa gerakan reformasi ini pada awalnya masih mengandung unsur kekerasan. Namun, gerakan awal ini seolah-olah ‘mandeg’ atau ‘mentok’ dan kesulitan untuk mencapai sasaran, yakni penggulingan rezim otoritarianisme Orde Baru. 

Kedua, setelah mengubah strategi demonstrasi dengan tindakan-tindakan damai dan mengundang simpati, akhirnya boikot dan pendudukan gedung DPR/MPR dapat berhasil. Aksi demonstrasi antikekerasan ini tercermin dalam pembagian bunga kepada masyarakat, demonstrasi dengan long march dan menggelar happening art, dll. Dalam babak kedua inilah prinsip-prinsip Gandhi dapat terlihat. Prinsip tersebut sangat bertolak belakang terhadap terminologi power yang identik dengan kekerasan.

a. Satya atau kebenaran. Pertama-tama, gerakan reformasi dilakukan demi menyuarakan kebenaran, yakni mengakhiri rezim otoritarianisme Orde Baru. Secara komunal, proses pencarian kebenaran dalam prinsip satya ini dilakukan melalui jalan perlawanan sipil (civil disobedience), yakni perlawanan anti-kekerasan. Mahasiswa yang didukung oleh elemen masyarakat melakukan aksi propaganda, mengkampanyekan penggulingan rezim Orde Baru dengan demonstrasi dan memberikan ultimatum jika tuntutan tidak dipenuhi. Aksi pendudukan gedung DPR/MPR ditempuh sebagai bentuk perlawanan sipil yang tidak menggunakan kekerasan. Cara-cara yang ditempuh selalu mengindahkan kebenaran, meskipun yang dilawan adalah rezim kelaliman. Kekuatan anti-kekerasan “living in truth” –yakni hidup sesuai dengan kata hati dan makna pribadi secara kolektif– untuk melawan kekuasaan rezim Orde Baru. 

b. Ahimsa atau anti-kekerasan. Strategi yang dipakai dalam gerakan reformasi akhirnya menggunakan prinsip anti-kekerasan, dan memang terbukti berhasil. Ahimsa bermakna sebagai pengakuan tertinggi terhadap “kehidupan” dan selalu menolak untuk melukai orang lain, meskipun yang bersangkutan menerima perlakuan kekerasan. Kekerasan tersebut tidak hanya kekerasan fisik, melainkan yang masih dalam pikiran, baik secara psikologis maupun intimidatif dalam rupa teror dan ancaman. Gerakan reformasi 1998 pada akhirnya menerapkan prinsip ini setelah pada awalnya tidak berhasil menembus barikade aparat karena sikap perlawanan dengan kekerasan. Demonstrasi damai, pendudukan gedung DPR/MPR, gerakan membagi bunga, gerakan membagi pita, dll, merupakan bentuk tindakan ahimsa atau anti-kekerasan.

c. Tapasya atau pengorbanan diri. Pengorbanan diri butuh dilatih melalui kontrol diri untuk menghadapi situasi apapun. Selain itu, pengorbanan diri juga membutuhkan keberanian untuk berani sakit. Tidak mengherankan jika pengorbanan ini ini mewujud secara komunal dalam gerakan anti-kekerasan dan kerelaan untuk saling berbagi. Contoh yang paling konkret adalah adanya nasi bungkus dan air dalam plastik setiap hari bagi para demonstran yang disediakan oleh kaum perempuan. Ini suatu bentuk dukungan dan pengorbanan diri demi tujuan bersama. Selain itu, tindakan demostrasi pada fase akhir juga tidak dilakukan dengan membalas perlakuan represif aparat dengan tindakan-tindakan perlawanan berbau kekerasan. Respon yang dijaga adalah tetap tenang dan bergerak sesuai dengan prinsip anti-kekerasan, sehingga merepresentasikan prinsip pengorbanan diri untuk menahan emosi dan kemarahan, butuh keberanian menanggung konsekuensi, dan terus-menerus melakukan kontrol diri agar tidak terpancing melakukan pembalasan dengan aksi kekerasan.

Tiga prinsip yang dipakai oleh Gandhi ini bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan bersama (Sarvodaya). Tujuannya adalah menghentikan praktik ketidakadilan dan kekerasan rezim Orde Baru dengan prinsip-prinsip anti-kekerasan. Ketika kekuasaan rezim ini berakhir, diharapkan tujuan utama sarvodaya itu dapat tercapai dengan perbaikan sistem pemerintahan yang lebih bersih dan demokratis. Penyelenggaraan good governance inilah yang menjadi pintu tercapainya kesejahteraan bersama dengan prinsip keadilan yang demokratis. Meski harus diakui bahwa hingga kini, tujuan utama tersebut masih dalam proses perjuangan –karena yang dilawan adalah gurita sistemik yang dilengkapi dengan kekuasaan.

0 komentar:

Posting Komentar