Relasi Tentara (ABRI) dengan Soeharto Masa Orde Baru

Relasi Tentara dengan Soeharto
pada Masa Orde Baru
hingga Soeharto Lengser

R.B.E. Agung Nugroho

Gambarkan hubungan Tentara (ABRI waktu itu) dengan Soeharto selama masa Orde Baru. Mengapa akhirnya ABRI tidak mempertahankan atau membela Soeharto sehingga Sang Presiden terpaksa lengser pada 21 Mei 1998?

Orde Baru harus dipahami sebagai sebuah rezim yang didirikan oleh ABRI, secara khusus Angkatan Darat (AD). Pada Agustus 1966, ketika digelar Seminar Angkatan Darat yang kedua, telah diputuskan bahwa seluruh kekuasaan rakyat berpusat pada tentara, khususnya Angkatan Darat. Inilah legalisasi kekuasaan Orde Baru dari tentara. Pada awalnya, Soeharto –dengan latar belakang Jendral Angkatan Darat– sudah mulai unjuk gigi.

Sebagai perwira tinggi Angkatan Darat dan berjasa dalam penumpasan Gerakan 30 September (G30S) yang dimotori oleh PKI, Soeharto pada awalnya sangat diterima di kalangan militer. Sebagai Presiden, ia menarik eksponen dari ABRI untuk masuk dalam kancah perpolitikan –yang sejak zaman Soekarno, tentara sudah menjadi kekuasaan politik legal. Hubungan dan jejaring dengan tentara ini berlangsung harmonis hingga dekade pertama masa pemerintahannya. Soeharto merupakan tokoh pertama yang berhasil mempersatukan dan menguasai ABRI secara menyeluruh. Buktinya nampak jelas dengan pendirian Markas Besar (Mabes) ABRI di Cilangkap pada tahun 1969. 

Sebagai Presiden, Soeharto menjadi pemimpin tentara. Dalam UUD 1945 Pasal 10 dikatakan, “Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara”. Namun dalam praktiknya, Presiden Soeharto menjadi supreme commander atau commander in chief, yang sebenarnya tidak ada sama sekali dalam konstitusi, sebagaimana disebutkan di atas. Tidak ada istilah “Panglima Tertinggi” yang secara konstitusional dapat dipertanggungjawabkan. Istilah ini merupakan sebutan yang dipakai sejak zaman Presiden Soekarno dan digunakan secara salah kaprah. Namun sebutan ini seolah dilanggengkan, bahkan Soeharto menjadikan dirinya sebagai Jendral Besar dengan lima bintang –yang setara dengan Jendral Besar Soedirman dan Jendral Besar Nasution. 

Pelanggengan sebutan “Panglima Tertinggi” yang dilekatkan pada Presiden ini bertujuan agar Presiden dapat lebih leluasa masuk dalam urusan internal militer. Padahal jika ditelisik lebih mendalam, praktik seperti ini sebenarnya melanggar konstitusi. Sebagai orang yang berhasil menguasai militer, Soeharto akhirnya menjadikan militer sebagai kendaraan politik yang sangat kuat.
Soeharto pada awalnya baik sebagai Presiden. Hubungannya dengan ABRI pun sangat harmonis. Namun, seiring dengan menguatkan dan bertambah besarnya kekuasaan Soeharto, banyak penyelewengan mulai terjadi dan pemerintahan dijalankan secara otoriter dengan memanfaatkan tentara sebagai kendaraan politik. Sebagai contoh, pada awal tahun 1970, adik Soeharto, yakni Probosutedjo yang sebelumnya menjadi Guru Taman Siswa di Pematangsiantar, ditarik ke Jakarta dan masuk ke dalam dunia bisnis dengan difasilitasi kakaknya yang menjabat sebagai Presiden. Karena peradaban bangsa Indonesia saat itu masih belum kritis, Soeharto bisa dengan gampang mempraktikkan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sebagai Presiden, ia tidak dapat membedakan pelayanan publik sebagai Presiden dan pelayanan privat kepada anggota keluarganya. 

Political decay Zaman Orde Baru ditengarai mulai terjadi eskalasi sejak kasus Malari (Malapetaka Limabelas Januari 1974). Sebelum Malari, pers di Indonesia merupakan pers yang paling bebas di Asia Tenggara. Pasca kasus Malari ini, beberapa perwira senior Angkatan 1945 pelan-pelan berusaha disingkirkan oleh Soeharto. Contohnya adalah Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) kala itu, Jendral Soemitro dan Kepala Badan Komando Intelijen Negara (Bakin), Mayor Jendral Sutopo Juwono, keduanya dicopot dari jabatannya. Soeharto lalu juga membubarkan jabatan Asisten Pribadi Presiden (Aspripres). Secara pelan-pelan, Soeharto akan memberangus para perwira senior ABRI yang dianggap menentang kebijakannya atau mengusik kroni-kroninya.

Di sisi lain, kemunculan anak-anak Soeharto dengan bisnis yang ditopang oleh fasilitas Bapaknya membuat praktik penyelewengan kekuasaan semakin menganga lebar. Perkembangan kroni-kroninya juga memperburuk citra sebagai good governance. Sejak saat itu, mulailah periode penyingkiran potensi-potensi dari eksponen militer yang ada dan dianggap mengancam demi membela keselamatan anak-anak dan kroninya. Yang paling menyedihkan ialah tentara, karena hanya diperalat Soeharto untuk melanggengkan kekuasaannya. Tentara benar-benar menjadi kendaraan politiknya. Jika ada yang mengingatkan terkait keluarga Cendana, dapat dipastikan bahwa karier politiknya tentu akan berakhir. Begitulah perlakuan yang diterima kalangan militer yang memasuki dunia politik. Kesadaran budaya kritis dalam masyarakat belum tinggi sehingga masih sehingga secara konstitusional posisi Soeharto semakin kuat dari tahun ke tahun. Benarlah adagium “Power tends to corrupt”. Hal lain yang menguatkan adalah adanya kepentingan di sekeliling Soeharto yang tidak memungkinkan dia mundur, melainkan bertahan, dan justru semakin powerfull.

Perubahan sikap dan hubungan Soeharto dengan tentara itu akhirnya berpengaruh pada pendangan tentara kepada Soeharto. Oleh karena itu, ketika Soeharto didesak dan dilengserkan, sudah berkembang sikap apatis –bahkan antipati– terhadap Presiden yang berkuasa 32 tahun ini. Tidak mengherankan jika pasca Soeharto lengser, muncullah sikap militer yang apatis. Bahkan kesabaran masyarakat pun mulai pendek sehingga bermunculan aneka konflik horizontal dan kerusuhan. Masyarakat juga mulai pendek kesabarannya sehingga muncullah banyak konflik horisontal dan kerusuhan. Jadi, ketika kekuasaan Soeharto digoyang hingga jatuh, banyak tentara yang tidak menggubris dan membelanya. Selain apatis, kadang juga muncul motivasi untuk mencari semangat baru.

0 komentar:

Posting Komentar