Kecerdasan Emosional Pasukan Perdamaian

Perbandingan Kecerdasan Emosional (EQ)
antara Pasukan Perdamaian 
Italia dengan Amerika Serikat
R.B.E. Agung Nugroho

Kecerdasan Emosional (EQ) merupakan suatu kemampuan untuk mengelola perasaan agar dapat mengekspresikan perasaan secara tepat dan efektif, memungkinkan orang bekerja sama dengan baik demi meraih tujuan bersama (Goleman, 1995).

Pasukan peacekeeper asal Italia (Latin) memiliki EQ lebih tinggi dibanding EQ pasukan asal AS, yang komposisi pasukannya multikultural. Menurut Goleman, kecerdasan emosional dimiliki tiap individu sejak lahir, yang berpotensi untuk berkembang menjadi kompetensi emosional (emotional competencies), dengan proses belajar dan pelatihan. Kompetensi emosional ini terdiri dari self awareness, self management, awareness of others, relationship management, dan empathy. Namun, pasukan Italia dipersepsi tidak lebih tinggi berempati pada masyarakat lokal dibanding prajurit AS keturunan Anglo Saxon, bahkan juga dengan etnis Barat/Kaukasia yang terkenal diskriminatif. Artinya, kecerdasan emosional (EQ) tidak menjamin kecerdasan budaya (CQ). Sangat mungkin jika pasukan Italia tidak lebih berempati dari pasukan AS ketika harus bertugas di lingkup budaya lain.

Penjelasannya ialah berdasarkan kecerdasan budaya (CQ) dan kecerdasan sosial (SQ). Kecerdasan Budaya (CQ) merupakan kepribadian yang dapat dikembangkan (state-like personality), bukan kepribadian yang tidak dapat berubah (trait-like personality). Level CQ pasukan AS lebih tinggi karena sudah terbiasa dengan kondisi multikultural sebagai pasukan perdamaian. Mereka sudah hidup dalam komposisi yang beragam secara budaya, dibandingkan pasukan Italia yang cenderung homogen (Latin). Tidak mengherankan jika mereka lebih memiliki kecerdasan budaya karena pengalaman dan proses latihan sebagai pasukan perdamaian.

Dalam pendekatan CQ, pasukan AS punya kelenturan untuk berinteraksi dengan budaya lain yang berbeda dibandingkan pasukan Italia. Adaptasi budaya dan kinerja pasukan AS dipengaruhi oleh latar belakang dan pengalaman lintas budaya yang mencerminkan level kecerdasan budaya mereka. Inilah kemampuan individu untuk berfungsi secara efektif dalam lingkungan budaya yang beranekaragam (Ang dkk. 2006).

Pengalaman pasukan AS berinteraksi dan bekerja di budaya lain dalam konteks di dalam pasukan mereka sendiri, secara signifikan dapat meningkatkan kemampuan dan perluasan pemahaman budaya (expanded cultural cognition). Maka, tidak mengherankan jika pasukan AS memiliki kemampuan lebih tinggi dibandingkan pasukan Italia yang berlatar belakang masyarakat dengan budaya homogen. Pasukan AS lebih mampu memahami dan mengetahui kondisi lintar budaya (cognitive SQ), lalu mereka dapat memprediksi apa yang akan terjadi dalam proses interaksi, baik yang akan dilakukan orang lain maupun bagaimana dirinya bersikap (metacognitive SQ), secara efektif dapat mengarahkan perhatian dan kemampuan untuk mempelajari dan bersikap dalam situasi lintas budaya (motivational SQ), dan berani serta mampu menempatkan diri dalam tindakan terhadap budaya lain, baik secara verbal maupun non-verbal (behavioural SQ). Empat aspek SQ ini dimiliki pasukan AS secara lebih baik daripada pasukan dari negara yang berlatar belakang budaya homogen. Dengan demikian, penghayatan internal lintas budaya yang mendalam dari pasukan AS akan dipersepsi secara positif oleh rekan kerja asing sebagai individu yang bersedia menyesuaikan diri untuk menjadi iklim kerja kelompok yang positif.

0 komentar:

Posting Komentar