Tsunami dan Ketahanan Sosial
dari Perspektif Lima Dimensi Budaya
Menurut Hofstede
R.B.E. Agung Nugroho
Ketahanan sosial (social resilience) adalah kemampuan untuk mengembangkan, terlibat dalam, dan memelihara hubungan yang positif, serta untuk mempertahankan dan memperbaiki diri dari tekanan hidup dan isolasi sosial. Ketahanan sosial menekankan pada kemampuan, baik individu maupun kelompok, untuk bekerja sama demi mencapai tujuan bersama. Maka ketahanan sosial membentuk karakteristik dan nilai dalam masyarakat secara kolektif, yakni dengan cara berelasi yang saling percaya, berbela rasa, murah hati, terbuka, rendah hati. Selain itu juga nampak dalam kapasitas dan sumber daya interpersonal, seperti saling berbagi, mendengarkan, menerima orang lain dengan empati, menghormati, berkomunikasi dengan kepedulian, saling memaafkan, dll. Lalu juga muncul dalam kapasitas dan sumber daya kolektif pun berkembang dengan membentuk identitas kelompok, toleransi, taat aturan, dll.
Dalam kasus tsunami, ketahanan sosial Jepang lebih tinggi daripada Indonesia. Jepang lebih tahan menghadapi krisis dan terlihat seperti masyarakat dengan nilai-nilai kolektif dibanding Indonesia. Hal ini mungkin terjadi karena selain Jepang sudah lebih terlatih menghadapi tsunami, faktor intelektual tinggi negara maju juga menentukan tingginya tingkat resilience mereka. Mereka pun terbiasa hidup teratur sehingga dalam menerima bantuan, mereka lebih teratur dan tidak berebutan seperti Indonesia.
Meski demikian, tidak benar bahwa masyarakat Indonesia sudah menjadi individualis. Dalam lima dimensi budaya Hofstede (1987), nilai individualism Jepang (46) lebih tinggi dibanding Indonesia (14). Jepang lebih mengutamakan kewajiban individu, semetara Indonesia mengesampingkan kewajiban individu dan mengutamakan yang kolektif. Namun, dalam dimensi power distance, Indonesia (78) lebih tinggi dibanding Jepang (54). Jepang berusaha meminimalisir perbedaan, mengadakan perubahan dengan evolusi, dan ketergantungan terhadap yang lebih superior rendah. Sementara Indonesia lebih mampu menerima perbedaan, revolusi ditempuh untuk membuat perubahan, dan punya ketergantungan yang tinggi. Oleh karena itu, di Indonesia sangat dimungkinkan jika konflik (berebut bantuan) terjadi saat tsunami dan keadaan menjadi tidak teratur, karena ketergantungan besar dan memilih perubahan dengan revolusi.
Dalam dimensi long term orientation, Jepang (42) lebih tinggi karena mereka menekankan konsistensi dan komitmen, serta memandang harga diri sangat penting. Sementara Indonesia (38) menekankan pada hasil sesaat dan harga diri menjadi kesadaran tetapi cenderung dilihat sebagai kelemahan. Maka ketika terjadi tsunami, orang Indonesia cenderung berorientasi pada hasil sesaat dengan mengharapkan bantuan (tanggap darurat) sehingga proses pemulihan pasca tsunami relatif lebih lama.
Dalam dimensi masculinism, Jepang (95) lebih tinggi dibanding Indonesia (46). Dalam keadaan tsunami, Jepang dengan resilience tinggi tetap berpegang pada rasio, maka bisa dibudayakan antri dan saling membantu untuk segera masuk masa pemulihan. Mereka hidup untuk bekerja dengan rasionalitas tinggi. Sementara Indonesia justru memegang intuisi untuk mengambil keputusan. Dalam kondisi krisis, Indonesia cenderung sulit antri karena kurang mampu berpikir rasional. Apalagi dengan tingkat resilience rendah, irrasionalitasnya pun muncul dalam bentuk berebut bantuan dan tidak teratur.
Lebih jelas lagi dalam dimensi uncertainty avoidance, Jepang (92) jauh di atas Indonesia (48). Jepang memegang hukum dan aturan, butuh konsensus, menganggap konflik sebagai ancaman, dan bekerja keras sehingga tidak terlalu mengandalkan bantuan. Berkebalikan dengan Indonesia. Hukum dan aturan lemah, konflik dianggap wajar, kerja keras bukan keutamaan sehingga mudah tergantung pada bantuan, apalagi di saat krisis. Dalam kondisi tsunami, Jepang yang memegang aturan akan lebih tertib dan tidak terlalu berharap pada bantuan karena punya motivasi kerja tinggi. Indonesia justru lemah dalam aturan, sehingga saat krisis, keadaan pun kacau/tidak teratur, berebut dan terlalu berharap pada bantuan, serta tidak terlalu peduli akan konsekuensi kondisi krisis tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar