Arti Penting Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM)bagi Kemanusiaan Universal
R.B.E. Agung Nugroho
Pada tanggal 10 Desember 1948, PBB mendeklarasikan DUHAM yang berisi daftar hak-hak individu. Menurut Karl Josef Parstch, dalam Fundamental Principle of Human Rights, ada tiga prinsip fundamental untuk perlindungan hak-hak asasi manusia (HAM) yang boleh jadi, menjadi intisari dari DUHAM. Ketiga prinsip tersebut adalah: menentukan nasib sendiri (self-determination), berhakekat sama sebagai manusia (equality) dan bebas dari diskriminasi (non-discrimination). Tulisan ini akan membahas satu demi satu ketiga prinsip tersebut –yang juga termuat dalam DUHAM- dan arti pentingnya bagi kemanusiaan universal.
Setting Perang Dunia I (PD I) dapat dikatakan sebagai latar belakang muncul prinsip dasar ini. Diawali oleh Wilson, Presiden Amerika Serikat waktu itu, yang mengumumkan 14 poin usulan yang bertendensi untuk memperjuangkan prinsip kedamaian dunia (8 Januari 1918). Salah satu idenya adalah suatu bangsa berhak menentukan kedaulatan dan membentuk pemerintahan sendiri serta menentang pemerintah atau kelompok pemerintah yang mengklaim wilayah teritorial yang bukan menjadi wilayah yurisdiksinya dan memaksa kesetiaan politik warganya. Implikasi dari usulan Wilson ini adalah munculnya banyak negara merdeka di Eropa Timur dan Tengah serta negara-negara yang awalnya menjadi koloni Jerman menjadi berada di bawah sistem mandat Liga Bangsa-Bangsa.
Usaha Wilson ini mendapat perhatian serius untuk melindungi etnis minoritas. Meskipun belum berdengung secara global dan tidak mengikat, tetapi pandangannya sudah mulai menjadi pertimbangan di bidang politik dan strategi ekonomi di beberapa negara. Wilson mengkaitkan self-determination ini sebagai prinsip kemerdekaan politis dan integritas territorial bagi Negara-negara yang belum dapat merasakannya. Setelah periode PD II, pandangan self-determination ini mulai dipahami sebagai prinsip politis untuk diterapkan bagi semua bangsa di dunia tanpa terkecuali. Wilson mendeklarasikan hak universal, tetapi secara praktis baru terkonsentrasi di wilayah Eropa.
Dalam perkembangannya, muncul Piagam Atlantik (14 Agustus 1941) yang berisi antara lain, mengadopsi 2 aspek dari pandangan self-determination, yaitu:
• Tidak menerima perubahan territorial negara tanpa persetujuan rakyat yang bersangkutan
• Menghormati hak semua negara yang menentukan bentuk pemerintahan sendiri dan menghargai kedaulatannya
Self-determination dipahami sebagai prinsip kesamaan hak –yang berarti kesamaan kedaulatan masing-masing Negara.
Perkembangan lebih lanjut terasa saat PBB aktif dalam masa dekolonialisasi. Di sini, muncul kesadaran adanya bangsa sebagai entitas politis yang tertindas oleh kedok teritori-kolonial. Maka, muncul reaksi keras terhadap praktek kolonialisasi yang melawan prinsip self-determination. Menurut konsep tersebut, bangsa terjajah dapat menuntut hak penentuan kedaulatannya sendiri untuk menjadi bangsa merdeka dengan integritas territorial yang jelas. Lalu, muncul fakta bahwa banyak negara menyatakan kemerdekaannya. Prinsip ini digumpalkan dalam Declaration on the Granting of Independence to Colonial Countries and People (14 Desember 1960). Konsep ini secara eksplisit memuat self-determination sebagai HAM, yang melawan penaklukan dan dominasi asing serta eksploitasi.
Pemahaman tentang konsep ini berkembang lagi mengenai self-determination dalam negara berstatus tidak menjalankan pemerintahan sendiri. Dalam 10 tahun setelah Deklarasi 14 Desember 1960, muncul Declaration on Principles of International Law Concerning Friendly Relations and Co-operation Among States in Accordance with the Charter of the United Nation yang menyatakan prinsip-prinsip hubungan internasional antar negara. Di dalamnya juga termasuk pernyataan bahwa wilayah yang tidak memerintah sendiri, punya status terpisah dan berbeda dari wilayah negara yang menjalankan pemerintahannya, punya otonomi khusus. Bahkan juga dibentuk komisi khusus sebagai tim investigasi PBB untuk mengobservasi wilayah tersebut dan mendukung gerakan kemerdekaan.
Dalam pemahaman lain, self-determination juga terkait dengan penentuan nasib sendiri sebagai individu. Ini yang secara khusus dapat dikatakan hak asasi individu. Dalam penjabaran prinsip ini pun bercampur dengan prinsip-prinsip yang lainnya. Misalnya, memilih pekerjaan, agama, hak politik, dsb. Secara khusus, PBB juga menghimbau semua negara untuk menjamin hak-hak khusus individu yang berdasarkan prinsip self-determination. Penjabaran hak-hak khusus dalam DUHAM inilah yang menjadi inspirasi negara-negara di dunia untuk memperbaiki undang-undangnya sehingga lebih memberikan jaminan hak-hak khusus tersebut.
Meskipun deklarasi tentang prinsip self-dermination (penentuan kedaulatan dan pemerintahan sendiri) boleh jadi tidak sampai pada tataran hukum formal, tetapi sumbangannya bagi kemanusiaan universal adalah keberadaan deklarasi itu adalah konseptualisasi realitas yang dihadapi manusia. Konseptualisasi hak-hak dasar itulah yang menjadikan permasalahan dalam realitas kehidupan manusia dapat dilihat, dikritik, dianalisis dan dicari solusinya –meskipun masih dalam tataran himbauan. Namun, nilai-nilai luhur kemanusiaan itu dapat diungkapkan dan -boleh jadi- menjadi pertimbangan bagi perbaikan tata hukum negara ataupun refleksi lebih dalam tentang makna terdalam kemanusiaan itu sendiri. Dalam arti ini, kemanusiaan universal direfleksikan dan dilemparkan ke wacana publik, menjadi diskursus dan mendapat perhatian dari manusia itu sendiri. Perhatian yang diberikan itulah yang diharapkan dapat berkembang menjadi kesadaran moral akan adanya nilai-nilai kemanusiaan dari hasil diskursus dan refleksi itu.
3. Equality
Partsch mengatakan bahwa prinsip kedua ini menjadi dasar jaminan bagi hak-hak yang lebih spesifik, misalnya: perlindungan hukum, pekerjaan, gaji, aktivitas ekonomi, pendidikan, hak-hak sipil, dsb. Hal ini dimungkinkan karena menurut DUHAM art.1, “semua manusia dilahirkan sama martabat dan hak-haknya”. Pernyataan ini juga menjamin hak untuk mengembangkan kepribadian dan segala potensi individu.
Prinsip yang dijabarkan dalam banyak bentuk hak yang ada dalam DUHAM juga ditegaskan untuk semua negara di dunia. Namun, DUHAM ini tidak cukup kuat sebagai sesuatu yang mengikat, maka perlu peran serta otoritas negara atau kelompok negara untuk menuangkan prinsip dasar ini dalam hukum yang lebih spesifik. Perlindungan terhadap hak-hak dalam DUHAM dijamin hanya jika negara yang sudah berkomitmen pada deklarasi ini melanggar. Namun, sanksinya pun tidak jelas.
Konsep hak-hak yang didasari prinsip equality ini sangat dekat dengan prinsip non-discrimination. Partsch memperlihatkan salah satu prinsip ini termuat dalam DUHAM mengenai kesamaan pria dan wanita; serta perlindungan yang sama di hadapan hukum. Kekuatan DUHAM hanya memberikan rujukan bagi negara-negara untuk memperhatikan prinsip ini. Di sini juga tidak diharapkan adanya aturan dinamis yang bersifat sebagai hukum international. Namun, yang diharapkan adalah terbangunnya pengetahuan umum tentang hak dan kebebasan esensial manusia. Pengetahuan itulah yang menjadi dasar dan juga batasan yang ingin diusahakan. Artinya, terjadi proses sosialisasi tentang prinsip-prinsip equality dalam kehidupan manusia. Sehingga, bukan hanya keaktifan negara yang dibutuhkan, tetapi kelompok-kelompok sosial independen yang dengan inisiatif sendiri, memperjuangkan hak-hak kesamaan dalam dialektika dengan hukum yang berlaku. Jadi, arti penting prinsip ini bagi kemanusiaan universal adalah memberikan sumbangan pengetahuan bagi manusia itu sendiri. Pengetahuan itu menjadi awal terbentuknya kesadaran atau refleksi lebih lanjut, bahkan sampai pada kesadaran kesamaan dan kesadaran menuntut kesamaan. Secara real, perjuangan kelompok-kelompok sosial pejuang hak asasi manusia yang ada menunjukkan berkembangnya sisi kemanusiaan yang universal. Manusia ingin menjadikan kemanusiaan dirinya utuh dengan mengekspresikan potensi dirinya dalam solidaritas dengan yang lain. Untuk itulah, kesadaran tahap demi tahap dan ekspresi kesadaran itu menjadi proses humanisasi yang terus bergulir dalam sejarah kemanusiaan untuk menjadi semakin penuh.
Konsep prinsip ini –awalnya- hanya memuat 4 kriteria, yaitu: ras (termasuk warna kulit), seks, bahasa dan agama. Namun, sejak DUHAM 1948, criteria ini meluas menjadi: opini bebas, bangsa, negara, asal-usul sosial, hak milik, status kelahiran, dsb. Kriteria ini muncul berdasarkan pengalaman manusia yang menghadapi permasalahan seputar hal-hal itu dan berdasarkan nilai-nilai yang muncul pada masanya. Secara singkat, mulai tahun 1948, sebagian besar daftar hak-hak itu sudah menjadi bagian integral dalam konstitusi negara-negara di dunia dan diadopsi secara regional menjadi prinsip-prinsip yang diperjuangkan bersama dalam kelompok-kelompok negara. Ini sebagai bukti bahwa DUHAM mempunyai andil yang besar pada terjaminnya hak-hak asasi manusia secara hukum dalam otoritas negara-negara di dunia.
Dalam memperjuangkan prinsip non-diskriminasi seks, PBB menekankan apa yang terkandung dalam DUHAM pada seluruh negara di dunia. Secara khusus, PBB memperjuangkan hak-hak wanita yang dibatasi secara legal-formal, misalnya: hak politis, hukum sipil (perkawinan), pendidikan, ekonomi dan social. Agen yang cukup berfokus pada perjuangan ini adalah ILO dan UNESCO dengan membuat konvensi, keputusan dan merekomendasikannya pada negara-negara di dunia. Hasilnya dapat terasa setelah –kurang-lebih- 18 tahun setelah DUHAM, yaitu adanya jaminan umum dalam Covenant on Human Rights (Part III art.3) yang menyatakan kesamaan hak pria dan wanita dalam bidang pilitik dan sipil, ekonomi. sosial dan budaya. Dokumen ini adalah penjabaran konkret dari DUHAM, yang menyatakan kewajiban negara untuk menjamin kesamaan hak-hak pria dan wanita yang termuat dalam DUHAM. Dan, pada bulan Desember 1979, PBB mengadopsi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women yang sebelumnya hanya berupa deklarasi (1967). Dengan adanya follow up dari deklarasi menjadi konvensi bersama ini, kesepakatan bersama ini menjadi punya kekuatan otoritas yang mengikat dan mempunyai sanksi atas pelanggarannya. Hasil yang terbaik adalah dalam bidang politik. Bidang pendidikan dan perburuhan maju karena didukung oleh agen-agen yang kompeten, yaitu ILO dan UNESCO.
Munculnya deklarasi tentang non-diskriminasi rasial justru tidak dapat dilepaskan dari faktor historis yang kental dengan praktek diskriminasi rasial. Misalnya: konflik kulit putih dan hitam, banyak korban mati hanya karena menjadi bagian dari ras tertentu, problem kekuasan kolonial dan orang terjajah. Karena latar belakang itulah diskriminasi ras dianggap sebagai masalah yang sangat serius. Maka, langkah konkretnya adalah dibentuknya peradilan HAM internasional. Lembaga ini mempromosikan prinsip non-diskriminasi rasial pada semua negara untuk memasukan dalam rumusan hukum yang mengikat. Sehingga, yang sudah menerimanya dapat dinyatakan melakukan tindak kejahatan melawan tujuan dan prinsip ini. Secara teoretis, diskriminasi ras paling sulit untuk diatasi karena tidak ada hak khusus yang dapat dijadikan pegangan selain prinsip non-diskriminasi itu sendiri. Maka, hal ini hanya dapat diatasi dengan mengimplementasikan semua bentuk hak khusus yang ada. Permasalahan tentang diskriminasi rasial juga sudah menjadi konvensi dan bersifat menghukum. Bahkan, tindakan penyebaran ide rasial saja –secara individu maupun organisasi- sudah dapat dikenai hukuman, karena aktivitas itu sudah tidak menjamin HAM dan memperuncing pertentangan antar ras.
Secara konkret, PBB juga mengambil langkah-langkah untuk implementasi konvensi ini. Negara yang ikut konvensi ini harus meninjau ulang Undang-undangnya supaya secara legal tidak melawan prinsip non-diskriminasi rasial. Secara konstitusional, negara juga harus mengambil tindakan tegas terhadap adanya praktek diskriminasi rasial yang ada di wilayah yurisdiksinya. Dalam sisi administratif, pengajaran pendidikan, budaya dan informasi juga ditempuh untuk melawan prasangka rasial. Langkah ini bukanlah sekedar propaganda atau pernyataan verbal, tetapi juga memasuki media rekonsiliasi, tindakan pendamaian. PBB juga tidak hanya mengharapkan negara untuk menjalankan langkah preventif ini, tetapi lebih efektif jika dilakukan atas inisiatif kelompok-kelompok sosial independen yang ada. Untuk itulah, didirikan Committee for the Elimination of Racial Discrimination (CERD), International Convention on the Supremation and Punishment of the Crime of Apartheid (1973) dimana negara-negara anggotanya punya ikatan hukum yang secara tegas mengikat mereka untuk melawan segala bentuk diskriminasi rasial, segregasi ras dan apartheid. Dalam hal ini, hasilnya kelihatan dari adanya konvensi internasional yang punya otoritas untuk selalu memaksa negara anggota supaya secara serius memperhatikan masalah ras dalam wilayah teritorinya.
5. Penutup
Dalam paparan prinsip non-diskriminasi inilah terdapat arti penting DUHAM bagi kemanusiaan universal yang cukup dalam. Pertama, muncul konseptualisasi nilai-nilai kemanusiaan universal dalam bahasa tulis melalui DUHAM. Itu berarti sudah terjadi proses induktif –sejalan dengan terbentuknya DUHAM yang berangkat dari realitas- dan memungkinkan manusia untuk mendialogkannya, mengkaji lebih dalam, merefleksikannya.
Kedua, pelemparan konsep-konsep dalam bahasa tulis inilah yang akhirnya dapat membuka wacana dan wahana diskursus yang bersifat dialogal antara konsep abstrak dan realitas. Di sini, semakin jauh manusia merefleksikan, kesadaran dalam dirinya akan semakin berkembang. Pemahaman personal ataupun kolektif mengenai nilai-nilai universal kemanusiaan juga berinteraksi dengan konsep-konsep abtrak dan realitas ekspresi nilai-nilai kemanusiaan tersebut. Maka, pemahaman dan kesadaran tentang kemanusiaan itu akan semakin dalam.
Ketiga, ketika sampai pada kesadaran bahwa nilai kemanusiaan itu mendasar, manusia akan secara bebas menjaga kelangsungan ekspresinya dalam hal praksis. Untuk itulah disusun hukum. Konsep-konsep itu dilegal-formalkan, diterjemahkan dalam bahasa hukum yang lebih menjamin eksplisitasi nilai-nilai kemanusiaan universal itu. Dengan terjaminnya ekspresi nilai-nilai universal kemanusiaan tersebut, nilai-nilai tesebut semakin mendapat tempat dalam kehidupan manusia. Proses ini juga menunjukkan adanya penghargaan yang tinggi atas nilai-nilai itu. Artinya, nilai-nilai itu semakin dihargai oleh manusia itu sendiri.
Keempat, DUHAM yang ditransformasi ke dalam bahasa hukum itu juga semakin membatasi, berusaha menghilangkan segala bentuk pelanggaran dan pengkhianatan terhadap nilai-nilai universal kemanusiaan. Maka, dalam kacamata moral, manusia itu sendirilah yang mengalami proses humanisasi, semakin memanusia. Jadi, kemanusiaan universal –sebagai nilai intrinsik dalam struktur kemanusiaan manusia- pun mengalami evolusi melalui proses humanisasi.
Demikianlah pembahasan dari artikel “Fundamental Principles of Human Rights: Self-Determination, Equality and Non-Discrimination” karya Karl-Josef Partsch. Semoga pemaparan singkat ini dapat membuka wacana diskusi dalam pengkajian lebih dalam isu HAM dewasa ini.
0 komentar:
Posting Komentar