Cross Cultural Fertilization

"Hanya dalam ruang dialog antar budaya yang setara dan saling memperkaya (cross cultural fertilization) serta dalam waktu sejarah yang dinamai sendiri dengan identitas Indonesia maka proses menjadi Indonesia yang bhinneka dan eka menemukan wujud-wujud peradaban sejarahnya yang sehat."

R.B.E. Agung Nugroho

Pemahaman Indonesia dalam konteks “menjadi Indonesia” (mengindonesia) adalah usaha membentuk suatu bangsa Indonesia yang terdiri dari kesatuan teritorial, satu bahasa, satu budaya Indonesia. Mengindonesia dapat juga diartikan sebagai sebuah usaha mencari nilai-nilai budaya yang “asli” Indonesia, menumbuhkembangkannya dalam pertemuannya dengan nilai-nilai budaya lain.

Usaha menumbuhkan ke-Indonesia-an yang bhineka dan eka dalam pertemuannya dengan nilai-nilai budaya lain akan berlangsung secara sehat jika terbuka ruang untuk berdialog secara setara. Hal ini hanya mungkin terjadi jika tanpa adanya dominasi kekuasaan politik, ideologi, ekonomi, sosial atau kolonialisme. Dialog yang kikuk antara Indonesia dengan Barat (Belanda dan Portugis) adalah bukti dialog yang berlangsung dalam suasana dominasi satu atas yang lain. Akibatnya, perjumpaan bercorak kolonial itu hanya melahirkan budaya “indo” yang muncul karena dipaksakan. 

Di sisi lain, dialog budaya Nusantara dengan budaya India atau Islam atau Hindhu  dapat berlangsung secara luwes dan adaptable dalam suasana keterbukaan dan kebebasan serta saling memperkaya (cross fertilization) sehingga melahirkan sebuah kebudayaan yang secara asli dihayati sebagai proses “menjadi Indonesia” (mengindonesia) dan bagian dari identitas ke-Indonesia-an.

Demikian pula dialog yang terjadi di dalam wilayah Indonesia sendiri antara kebudayaan satu daerah dengan daerah lain. Kalau dialog itu berlangsung dalam suasana dominasi politik dan dipaksakan demi kepentingan politik penguasa, hasilnya adalah dialog yang kikuk. Tendensi konflik politik yang sering kali muncul dewasa ini di berbagai daerah di tanah air merupakan salah satu akibat dari politik transmigrasi yang dulu salah satunya dimaksudkan sebagai bagian dari dialog kebudayaan antar daerah. Namun, karena dipaksakan dan daerah tujuan tidak dipersiapkan dengan baik untuk membuka dialog antar serat-serat budaya daerah, maka hasilnya adalah pertentangan antara penduduk asli dan pendatang (contoh: konflik “pendatang” Madura dengan “penduduk asli” Dayak beberapa tahun lalu, dll).

Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa usaha untuk mewujudkan identitas Indonesia yang bhineka dan eka dengan menumbuhkannya dalam kerangka dialog dengan budaya-budaya (entah antar wilayah di Indonesia sendiri entah dengan budaya asing) harus berlangsung dalam suasana kebebasan, tanpa dominasi, setara dan saling memperkaya. Proses tersebut hendaknya dilewati dengan cara menghormati dan menghargai genuinitas personal maupun sosial-komunal dan memberikan pengakuan atas “yang lain” (the other) sebagai bagian hakiki dari “diriku” (self).

0 komentar:

Posting Komentar