Reformasi dan Kelas-kelas Sosial Urban di Jerman

(Ringkasan dari The Reformation and the Urban Sosial Classes in Germany, Harold J. Grimm, dalam  Luther, Eramus and the Reformation: A Catholic-Protestant Reappraisal, John C. Olin, James D. Smart and Robert E. McNally (Editor), New York: Fordam University Press, 1969, Hlm. 75-86)

R.B.E. Agung Nugroho

Bernd Moeler menyatakan bahwa pada abad XVI, 85 kota di Jerman disebut frei-und reichstett, 65 diantaranya ada di bawah kekuasaan kaisar. Namun, lebih dari 50 kota telah mengenal Reformasi; dan lebih dari separohnya menerima Protestantisme. Penyebaran Reformasi ini sangat erat terkait dengan peran para pedagang yang beraktivitas di pusat-pusat perdagangan Eropa, khususnya di kota kekaisaran yang bebas. Perubahan yang cukup signifikan ini dipengaruhi oleh meluasnya ketidakpuasan masyarakat pada waktu itu.*) Maka, para penguasa kekaisaran lalu mengusahakan kesejahteraan umum bagi warganya. Kesadaran akan tanggung jawab para penguasa ini terjadi juga di Jerman. Tiga unsur yang membuat Reformasi cepat diterima adalah:

1. Idealisme Abad Tengah, pengalaman sebagai masyarakat urban yang bebas dan telah menghasilkan modus vivendi.
2. Secara praksis, mistisisme akhir Abad Tengah terlalu menekankan spiritualitas dan etika secara berlebihan.
3. Humanisme yang memacu masyarakat untuk makin terpelajar dan berargumentasi melawan segala bentuk penguasaan atas diri dan hidupnya.

Masyarakat Abad Tengah di Jerman tidak dapat diklasifikasikan ke dalam terminologi kelas sosial modern. Luther dan pengikutnya menyebut pelbagai kelompok urban sebagai estates yang berkewajiban menciptakan kesejahteraan umum (Gemeinwohl). Yang diperjuangkan adalah kewarganegaraan yang merdeka, bebas dari kuasa feodal, bahkan Uskup. Untuk itu, rakyat dan penguasa harus bersumpah (conjuratio reiterata) untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum.

Meskipun sulit untuk mencari relasi tentang Reformasi dan adanya kelas sosial, tapi ada relasi tidak langsung dengan berkembangnya kaum bourgeois di kota-kota (Ernst Troeltch). Dalam kota imperialis, kepemimpinan berada di tangan bangsawan, biasanya orang kaya atau pedagang yang membaktikan diri pada kepentingan rakyat. Pemimpin tersebut harus membentuk dewan (biasanya secara nepotisme). Namun, perubahan status sosial dari warga biasa menjadi bangsawan sudah menjadi hal biasa setelah tahun 1500 (misal, Nuremberg dan Augsburg). 

Awal Reformasi, otoritas kota sangat bervariasi. Di Nuremberg, Frankfurt a.M., Rostock, Stralsund dan Wismar dipegang penuh oleh Dewan. Di Augsburg, Ulm, Strasburg, Regensburg, Rothenburg o.T. dan Schwäbisch Hall dipegang oleh bangsawan bersama perwakilan serikat pekerja. Di Speyer dan Schlettstadt, serikat pekerja menguasai Dewan. Semua otoritas tersebut berkewajiban menciptakan kesejahteraan umum. Beberapa pemegang otoritas telah menerima Lutheran sejak awal dengan alasan ekonomi dan sosial (Misal, di Nuremberg: Caspar Nützel, otoritas II; Jerome Ebner, anggota Dewan; dan Lazarus Spengler, Dewan Ratsschreiber). 

Kelompok mayoritas pekerja di kota-kota imperial yang bebas membentuk serikat pekerja. Di beberapa kota besar, tokoh mereka berhasil menjadi bangsawan (ehrbar), merasa aspirasi mereka dipakai untuk memerintah kita dan meningkatkan kesejahteraan umum. Tekanan pada kesamaan dan persaudaraan serta pengalaman mereka berorganisasi sangat membantu mereka dalam melawan kaum bangsawan murni yang cenderung ingin berkuasa secara eksklusif.

Kaum pekerja inilah yang sangat receptive pada doktrin Luther, Zwingli dan Bucer. Reformasi menjadi jalan untuk peningkatan ekonomi dan status sosial pekerja menjadi kelas menengah dalam demokratisasi administratif dan hukum legal. Namun, jika dikatakan kelas pekerja menjadi pemrakarsa demokratisasi dalam pemerintahan Reformasi, tidaklah benar; karena ketika berkuasa, mereka juga cenderung konservatif seperti kelas bangsawan. Yang sungguh mengusung keprihatinan demokratisasi justru kelas pekerja rendahan di pinggiran kota yang terhitung sebagai warga kelas dua.**) Sikap receptive mereka atas Reformasi juga tidak terbatas alasan ekonomi, tetapi juga peningkatan status sosialnya. Kesamaan tekanan kelompok-kelompok sosial pada akhir Abad Tengah adalah kesadaran akan tanggung jawab terciptanya kesejahteraan umum (salus publica supreme lex). Slogan warisan Zaman Antik ini dimanifestasikan dalam keterikatan penguasa dengan sumpah (Eidgenossen) dalam institusi dan hukum (communis utilitas) demi kesejahteraan umum. Maka, individu, keluarga, kelompok dinomorduakan di bawah kepentingan umum.

Pada Abad Tengah, di kota tidak ada pembedaan antara hal sekular dan spiritual, komunitas politik dan religius, karena semua adalah satu komunitas, corpus Christianum yang dikelola oleh Dewan demi kesejahteraan umum. Artinya, tidak ada dikotomi antara gereja-negara. Saat itu, klerus dan siapa saja yang berotoritas eklesiastikal –bahkan warga kota lain- punya previlege yang membuat iri warga setempat. Mereka dibebaskan dari pajak, tetapi dapat menumpuk harta, berbisnis melawan para pedagang dan hanya dapat diadili oleh pengadilan gerejawi. Background inilah yang membuat masyarakat menjadi kritis seiring dengan bertambahnya orang terpelajar dan arus sekularisasi yang berkembang di akhir Abad Tengah.

Abad XV, jauh sebelum Reformasi, Dewan kota mulai mereformasi kehidupan biara. Hal ini menjadi cikal bakal independensi Dewan kota atas kekuasaan hierarki Gereja.***) Namun, beberapa komunitas warga menolak Dewan yang kurang memerhatikan keselamatan spiritual umat sebagai cirikhas Abad Tengah yang religius. Protes di Nuremberg ini tidak berpengaruh besar. Nuremberg tetap eksis sebagai kota imperalis yang bebas. Mereka juga mendukung Kaisar Charles V yang menjadi Lutheran tahun 1525. Konteks historisnya adalah mulai abad XIII, kekuasaan Tahta Suci di Jerman mulai lemah. Jerman lalu mengikrarkan diri punya hak dan kebebasan sebagai corpus Christianum yang ada di bawah Kaisar. Maka, rasa atas kota, kekaisaran dan kristianitas menjadi satu entitas tunggal-utuh. Selain kuatnya rasa tersebut, ketidakpuasan dalam masa Reformasi berakar pada tumbuhnya wilayah teritori yang membagi-bagi Jerman dengan otonomi di tiap kota. Nuremberg misalnya, meluaskan teritori, memperkuat Dewan kota, membangun sistem birokrasi dengan gaji pegawai dan menyatukan sikap sekuler dan religius dalam satu corpus Christianum. Penyebaran Reformasi juga didorong oleh gerakan kelas urban yang konsen pada hal-hal religius Abad Tengah.****) Hal-hal tersebut menjadi diskursus awan terpelajar. Dalam hal ini, penyebaran Reformasi sebenarnya dimotori oleh kaum awam daripada klerus.

Humanisme kristiani juga menjadi sebab Reformasi, khususnya di kalangan elite intelektual di Jerman Selatan. Humanisme kristiani sangat tertarik pada Kitab Suci, tulisan Bapa-bapa Gereja, problem etika baik klasik dan kristiani yang telah dipakai dalam institusi sekular dan biara. Untuk mendukung gerakan ini, di Nuremberg didirikan perpustakaan Dewan yang menyediakan pelbagai buku, baik sekuler maupun religius. Salah satu buku yang berpengaruh saat itu dan membuat Teologi Reformasi diterima luas adalah Admonition and Intruction for A Virtuous Life karya Lazarus Spengler (1520).

Generasi pertama Reformis Protestan juga mengajarkan teologi tentang implikasi sosial dalam kelas urban khususnya yang tidak puas pada Gereja atas sikon religius dalam masyarakat. Misalnya: doktrin Luther tentang imamat umum orang beriman yang menolak status imamat dengan menekankan kesamaan status manusia di hadapan Tuhan (Genossenschaft). Ajaran ini merombak konsep Abad Tengah tentang corpus Christianum karena yang ditekankan adalah karya pribadi demi kesejahteraan umum atas dasar tanggung jawab personal pada Allah, sehingga melupakan unsur komuniter, baik komunitas sekuler maupun religius (ordo, kongregasi, biara).

Ulrich Zwingli mengajarkan dua fungsi kota, yaitu: teokrasi di Zurich dan menciptakan Zion baru di bumi. Gereja yang kelihatan dan tak kelihatan itu satu. Gereja yang kelihatan harus hidup berdasarkan Injil sebagai hukum kota di bumi, pemimpinnya seperti nabi dalam Perjanjian Lama dan Dewan kota sebagai pengontrol atas pengajaran Injil.

Martin Bucer dengan De Regno Christi-nya yang berpengaruh besar di Jerman, juga dalam faham Calvinisme dan Anglikanisme, mengajarkan bahwa kekuasaan kota dan kekuasaan Gereja itu satu yang sama-sama menuntun manusia kepada Tuhan dengan prinsip dasar cinta. Roh Kudus berkarya melalui orang-orang yang terpilih dalam Gereja di bumi, sedangkan Dewan kota -secara etis- harus menyediakan kebutuhan jasmani dan rohani bagi warganya, dengan cara: menyediakan imam dan guru, pendidikan bagi anak dan membasmi heretik. Problem iman dan teologi berada dalam kuasa imam.

Para pemimpin Reformasi dan Dewan kota tidak sadar akan implikasi politis dari ajaran teologi Reformator Protestan, sehingga mereka mudah terpengaruh. Secara cepat, pandangan Zwingli dan Bucer telah diterima di banyak kota di Jerman Selatan. Kelas-kelas urban Jerman –khususnya di kota-kota imperial yang bebas- awal abad XVI, sungguh-sungguh masyarakat religius; dan menerima Reformasi dengan baik. Namun, mereka tidak puas pada Gereja yang tidak mampu memberikan kepuasan religius, lalu mulai kritis pada Gereja. Kekritisan ini disebabkan oleh tradisi dan pengalaman sebagai masyarakat urban, berkembangnya pendidikan, pengajaran, banyaknya buku yang beredar, dsb. Di kalangan elite intelektual, kekritisan ini terjadi di Jerman Selatan akibat mistisisme dan humanisme kristiani.

Reformasi di Jerman ini merupakan gerakan rakyat dan menyentuh segala sendi kehidupan masyarakat. Banyak Dewan kota yang konservatif lambat laun memberi peluang pada warganya untuk kritis dan mengundang pengkotbah-pengkotbah evangelis yang mampu mengubah bentuk dan doktrin yang sudah ada. Penerimaan Reformasi oleh kelas urban sama dengan idealisme dan praksis masa Abad Tengah, tetapi bedanya, Reformasi menghasilkan sesuatu yang revolusioner. Dewan kota berusaha untuk menciptakan kesejahteraan umum dan keselamatan religius warganya dengan pelbagai cara karena warga sudah menjadi semakin kritis. Jadi, di sebagian besar kota imperial di Jerman, kelas urban merupakan aktor utama yang menggerakkan Reformasi dalam kelompok-kelompok serikat pekerja.

Keterangan:
*) Misalnya: munculnya kapitalisme seiring dengan meluasnya kemiskinan, kemunduran sistem Abad Tengah, sekularisasi dalam Gereja, bertambahnya orang terpelajar, dsb
**) Misalnya: 50% populasi di Augsburg dan 20% populasi di Hamburg.
***) Misalnya: pada masa Reformasi, Uskup Bamberg minta Dewan kota Nuremberg untuk mengadili dua tokoh Protestan yang menguasai dua paroki di wilayahnya, tetapi tidak digubris.
****) Misalnya: diskursus tentang problem teologi, etika dalam ekonomi, politik dan perubahan sosial.

0 komentar:

Posting Komentar