Dialog Budaya Nusantara dan Budaya Lain

"Ketika Nusantara dengan kemajemukan serat-serat kekayaan budayanya punya waktu untuk dialog-dialog damai dengan budaya lain secara hidup dan tanpa dominasi kekuasaan, ia bertumbuh sehat. Namun, ketika pemaksaan dan kolonialisme menjeratnya, terjadilah wajah indo dalam budayanya."

R.B.E. Agung Nugroho

Idiom « perintah historis » merupakan strategi budaya untuk mempertahankan kelangsungan hidup masyarakat Nusantara dari berbagai pengaruh perjumpaan dengan kekuatan peradaban: ideologis, sosial, politik, dan ekonomi. Jika dialog antar serat budaya itu terjadi secara damai dan tanpa dominasi kekuasaan, ia akan tumbuh sehat. Contohnya adalah Sriwijaya yang tumbuh sebagai kerajaan maritim dan pusat agama Budha Mahayana. Keluwesan dan kelenturan para pedagang dan penguasa dari Sumatra Selatan dalam relasi dengan para pendatang dari India dan Cina, serta kecerdikan mereka mengontrol kekuasaan Melayu telah menghasilkan kejayaan Sriwijaya. Borobudur dan Prambanan sebagai monumen Budha Mahayana dari dinasti Syailendra juga menjadi contoh kelenturan dan keluwesan untuk merangkul dan berdialog dengan budaya India. Proses ini bukanlah Indianisasi melainkan Indonesianisasi (lebih tepat Nusantaranisasi). Local genius tersebut mampu menterjemahkan apa yang menjadi « perintah historis » menjadi bentuk bangunan yang menakjubkan. 

Contoh lain lagi adalah surat Kakawin yang merupakan proses Jawanisasi sastra India. Sampai kedatangan Islam dan pendirian kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, transformasi budaya berjalan secara damai. Hasil sintesa antara kebudayaan Islam, Hindhu dan Jawa menghasilkan kerajaan Demak. Kisah-kisah Walisongo juga merupakan hasil sintesa antara budaya Jawa-Islam. 

Di banyak daerah di Nusantara juga terjadi banyak sintesa kebudayaan, salah satunya adalah Aceh-Islam yang mencapai puncaknya pada pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Hasil sintesa tersebut berupa undang-undang adat Meukuta Alam (Mahkota Alam) yang sarat dengan warna syariat Islam. Jadi secara singkat, dialog budaya adalah sebuah proses panjang dan lama dan bersyarat dialogal sehingga menjadi sintesis yang mengakar. Keselarasan dan keluwesan ini sifatnya adaptable.

Namun, ketika Belanda dan (sebelumnya) Portugis datang (pada abad XVII) untuk menguasai seluruh perdagangan, rempah-rempah, dan menjajah Nusantara, masyarakat lokal berhadapan dengan kekuatan yang belum pernah dikenal. Mereka tidak hadir dan berhubungan seperti orang Cina, Persia, India –meskipun secara tidak langsung mereka juga menyebarkan agama. Belanda dan Portugis hadir dengan kekerasan meriam, tentara, bedil dan organisasi perdagangan modern. Mereka memaksakan kehendak dan secara keras dan langsung berkonfrontasi dengan masyarakat. Dalam konfrontasi itu, kerajaan-kerajaan Nusantara kalah berhadapan dengan mereka, meskipun sebenarnya kerajaan-kerajaan kita juga punya meriam dan senjata. Pasalnya, ada perbedaan perspektif yang mengarahkan sikap yang berbeda pula (Perbedaan mendasar Barat dan Timur menurut Weber adalah rasionalitas, kegairahan untuk berekspansi dan berspekulasi). Orang Barat menganggap senjata sebagai sarana untuk selalu bereksperimen dan berspekulasi karena penekanan pada rasionalitas, sedangkan masyarakat kita mengkeramatkannya dengan menyebutnya “kyai”, dan menggunakannya secara tidak rasional.

Dialog budaya Nusantara dengan budaya Barat sejak semula memang berlangsung secara kikuk. Bahkan bisa dikatakan future shock, kejutan masa depan (Alvin Toffler). Nusantara tidak siap dengan budaya Barat yang sedang mempersiapkan suatu budaya modern yang kelak akan menentukan idiom modernitas dunia. Pada saat Nusantara sedang melakukan sintesa budaya Jawa-Islam, datanglah budaya Barat yang agresif dalam idiom sangat asing dan menaklukkan kita.

Dialog seperti ini merupakan dialog yang dipaksakan lewat rekayasa politik dan kebudayaan sehingga budaya yang dihayati adalah budaya indo (hibrid) di mana nilai-nilai Barat (rasionalitas, modernitas, anonimitas, impersonalitas) terpaksa dihayati seiring dan sejalan dengan budaya panggung gebyar (negara panggung à la Clifford Geertz).

0 komentar:

Posting Komentar