Menyongsong Babak Baru Indonesia

Menyongsong Babak Baru Indonesia


R.B.E. Agung Nugroho

Pesta demokrasi yang mewujud dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) tahun 2014 telah menghasilkan pasangan penerus suksesi kekuasaan di Indonesia. Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara resmi sudah mengumumkan pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih pada Selasa malam, 22 Juli 2014. Mereka berhasil mengungguli pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang menjadi pesaingnya, yaitu Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa.

Melihat rekam jejak pasangan Jokowi-JK, Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bhakti menilai bahwa Presiden dan Wakil Presiden terpilih ini seolah membuka babak baru dalam tonggak kepemimpinan di Indonesia. Dalam tulisan yang dimuat Harian Kompas tanggal 24 Juli 2014, Ikrar mengemukakan dua alasan mengapa Jokowi-JK menjadi tonggak  sejarah baru Indonesia. Pertama, Jokowi merupakan Presiden pertama Indonesia yang meniti jenjang karier politik dari bawah. Ia memulai kiprah politiknya dengan menjadi Wali Kota Solo, lalu memimpin Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dan akhirnya didaulat memegang tampuk kepemimpinan negara. Kedua, JK ialah Wakil Presiden pertama Indonesia yang terpilih untuk kedua kalinya dalam jabatan yang sama setelah jeda pemerintahan Susiloo Bambang Yudoyono versi kedua.

Tulisan Ikrar yang berjudul “Tonggak Sejarah Baru Indonesia” itu juga mengapresiasi bahwa kemenangan Pilpres tahun 2014 ditentukan oleh individu calon, dan bukan disetir oleh partai politik. Selama masa kampanye pemenangan Jokowi-JK muncul banyak komunitas sukarelawan yang lebih dinamis dan partisipatoris untuk mengawal Pilpres secara damai, adil, jujur, bersih, dan inklusif. Alih-alih memakai kendaraan partai politik dengan koalisi yang sarat kepentingan, rakyat lebih memilih gerakan swadaya dengan memopulerkan jargon “Jokowi-JK adalah Kita”. Inilah tanda kemenangan rakyat dalam pesta demokrasi di negeri ini.

Keyakinan Indonesia sedang memasuki babak baru juga terlihat jelas melalui ajakan Jokowi dalam pidato kemenangan di Pelabuhan Sunda Kelapa. Ajakan Jokowi ini menjadi bahan ulasan dalam Tajuk Rencana Harian Kompas tanggal 24 Juli 2014 yang berjudul “Mari Gerak Bersama”. Tajuk Rencana itu menegaskan ajakan untuk pemulihan kekompakan dan kebersamaan sebagai satu bangsa yang sempat terpolarisasi akibat proses penyelenggaraan Pilpres. Selain mengakhiri kondisi polarisasi, ajakan Jokowi mengamini bahwa kekompakan ialah tuntutan mutlak bagi pembangunan Indonesia. Tujuannya ialah melaksanakan pembangunan bangsa dengan berlandaskan pada kemandirian ekonomi, kedaulatan politik, dan kepribadian dalam budaya. 

Akan tetapi, tujuan ideal pembangunan bangsa itu masih terganjal oleh kenyataan yang justru berkebalikan. Masih banyak praktik monopoli pasar dilakukan oleh segelintir pelaku ekonomi. Para pejabat negara masih gemar melakukan praktik rasuah (korupsi) dan tidak kredibel. Selain itu, warisan tradisi gotong royong pun mulai terkikis dari kehidupan masyarakat.

Sementara itu, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gajah Mada, A. Tony Prasetiantono merumuskan tujuh isu strategis yang dihadapi oleh pemerintahan baru. Tujuh isu tersebut ialah subsidi energi yang berlebihan, keterbatasan infrastruktur yang dapat memperlancar roda ekonomi, daya saing sumber daya manusia Indonesia yang masih sangat rendah, kurangnya lahan pertanian sebagai bentuk peningkatan ketahanan pangan nasional serta macetnya program transmigrasi, laju ledakan penduduk yang kurang berhasil dikendalikan, belum adanya konsolidasi bank di sektor finansial, dan masih banyaknya mafia pajak dan para pengemplang yang merugikan negara. Bidikan Tony terkait tujuh isu strategis ini juga disertai rujukan demi perbaikan Indonesia baru. Bahkan, opininya, dalam Harian Kompas tanggal 7 Agustus 2014 yang berjudul “Tugas Berat Pemerintah Baru”, menyiratkan optimisme dengan menunjukkan satu indikasi positif yang muncul ketika Jokowi-JK diumumkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih hasil Pilpres 2014. Pasar saham menyambut pengumuman itu dengan antusias. Terbukti, nilai Rupiah terhadap Dollar menguat dan Indeks Harga Saham Gabungan pun mengalami eskalasi.

Seorang Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Anwar Nasution secara apik menawarkan solusi untuk memecahkan masalah endemik yang menimpa bangsa Indonesia itu. Senada dengan Tony, Anwar pun melihat rekam jejak pasangan Jokowi-JK secara optimis. Pemerintahan baru di bawah komando Jokowi-JK dapat menjadi babak baru bagi Indonesia karena pasangan ini telah mengalami jatuh-bangun sebagai pengusaha dalam menjalankan roda usahanya tanpa campur tangan pemerintah. Oleh karena itu, pasangan ini sudah terbiasa bersentuhan dengan buruknya pengaruh korupsi, minimnya infrastruktur, mahalnya biaya logistik, dan ketidakpastian iklim usaha. 

Dalam level strategis, Anwar menawarkan kebijakan untuk meniadakan faktor penghambat peningkatan ekspor industri manufaktur yang diharapkan mampu mengundang partisipasi modal asing dan memasukkan Indonesia dalam jejaring rantai perekonomian global. Strategi kebijakan itu dirumuskan dalam delapan langkah taktis yang berorientasi pada kemajuan perekonomian dan kesejahteraan Indonesia yang sedang menyongsong babak baru pascapesta demokrasi. Langkah taktis tersebut adalah memilih menteri yang mampu melakukan penetrasi pasar dunia secara bersih, menyusun kabinet yang berintegritas dan berpendidikan yang mampu menekan biaya produksi dalam negeri, reformasi kelembagaan secara tegas dan terprogram, menyederhanakan izin untuk mendongkrak iklim dunia usaha, menambah infrastruktur dan sistem logistik nasional yang solid, menjamin kepastian usaha dengan mengontrol nilai Rupiah, meningkatkan mutu pendidikan dan kesehatan, serta mendorong mobilisasi tabungan nasional secara berkelanjutan. Jika delapan langkah taktis ini dapat dilaksanakan secara terencana, terprogram, berkelanjutan, dan terevaluasi, Anwar menyiratkan keyakinan bahwa babak baru Indonesia sedang bergulir pelan penuh kepastian.

Pelbagai wacana untuk menyongsong babak baru Indonesia 2014—2019 masih membutuhkan langkah konkret dan refleksi secara lebih mendalam. Meskipun Jokowi-JK tidak akan mampu memikul tanggung jawab sendiri tanpa dukungan rakyat, sosok pribadi seorang pemimpin haruslah teruji dan siap untuk mengambil risiko terburuk. Dalam konteks ini, Dosen Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, F. Budi Hardiman merefleksikan konsep pemimpin ideal dalam sebuah artikel yang dimuat di Harian Kompas tanggal 24 Juli 2014 dengan judul “Kenegarawanan”. Ia menunjukkan lima ciri seorang negarawan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, yaitu mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan golongan, memiliki keutamaan moral seperti seorang yang bijak dan bajik, melampaui logika hukum dan mendamaikannya dengan realitas yang dihadapi, sekaligus tunduk dan taat di bawah supremasi hukum, bahkan berperan sebagai “penjaga hukum” supaya dapat dilaksanakan dengan penuh komitmen dan demokratis. Harapannya, idealisme pemimpin seperti ini mengilhami pemerintahan baru Jokowi-JK sehingga afirmasi politis yang memangku aspek keseluruhan mampu merangkul semua elemen bangsa dan mengakarkan faham kekitaan daripada berorientasi pada kekamian.

0 komentar:

Posting Komentar