Dalam Meditasi I dan Meditasi II
R.B.E. Agung Nugroho
Dalam Meditasi I, Descartes mengemukakan argumentasi skeptisnya sebagai basis untuk membongkar keyakinan lamanya, menggantinya dengan sesuatu yang pasti. Pertama adalah membongkar keyakinan naïf, bahwa segala sesuatu yang dipelajari selama ini adalah tipuan. Maka, semuanya diragukannya. (Whatever I have up till now accepted as most true I have acquired either from the senses or through the senses. But, from time to time I have found that the senses deceive,…). Kedua, dia berargumentasi tentang mimpi. Ini dikatakan sebagai “A brillian piece of reasoning” dimana dia membayangkan dirinya sedang melakukan aktivitas, tetapi dia menyadari kenyataannya bahwa dia sedang terbaring di bed. Dia sering punya persepsi berlebih -seperti dalam kenyataan sebenarnya- ketika bermimpi. Dia berkesimpulan bahwa tidak ada kejelasan untuk membedakan pengalaman mimpi dan pengalaman saat terjaga. Maka, sangat mungkin bahwa saat ini ia bermimpi dan semua pengalaman yang dialaminya itu salah. (…there are never any sure signs by means of which being awake can be distinguished from being asleep). Ketiga adalah argumentasi Tuhan yang menipu. Dalam pengetahuannya, ada Tuhan yang mahakuasa, menciptakan manusia. Dengan kuasaNya, Tuhan dapat membuatnya tertipu, bahkan tentang kebenaran matematis. Namun, dia juga mengatakan bahwa Tuhan mahabaik; dan dengan kemahabaikanNya, Tuhan tidak akan membiarkannya tertipu. (God would not have allowed me to be deceived). Ada juga yang mengatakan bahwa Tuhan tidak ada. (some who would prefer to deny the existence of so powerful a God….God is a fiction). Lalu, dia menyimpulkan bahwa bukan Tuhan yang menipu, tetapi setanlah yang selalu menipu. (I will suppose therefore that not God, …but rather some malicious demon of the utmost power and cunning has employed all his enegies in order to deceive me). Jadi, dia punya alasan dasar untuk meragukan segala sesuatu dari pengetahuan lamanya.
Dalam Meditasi II, Descartes berargumentasi tentang Cogito. Dengan meragukan, dia ingin mencari kepastian. (Anything which admits of the slightest doubt I will set aside just as if I had found it to be wholly false; and I will proceed in this way until I recognize something certain). Maka, dia meragukan segalanya. Dia menyadari dirinya ada dalam ketertipuan. Ada “malicious demon” yang menipunya. Maka, dia berada dalam status sebagai “yang tertipu”. Kesadaran inilah yang membawanya pada kesimpulan bahwa “aku” adalah “sesuatu”. (if he is deceiving me;…he will never bring it about that I am nothing so long as I think that I am something…I must finally conclude that this proposition, I am, I exist,). Lalu, dia menemukan bahwa pikiran terpisah dari aku. “Ada”nya aku sejauh aku berpikir. (-thought; this alone is inseparable from me. I am, I exist, that is certain. But for how long? For as long as I am thinking). Dia juga mengeksplorasi kemampuan berpikir (doubts, understands, affirms, denies, is willing, is unwilling, imagines, sensory perceptions). Obyek dari kemampuan berpikir itu tidak real, tetapi kemampuan berpikir itulah yang real. Aku dapat tertipu oleh obyek pikiranku, tetapi aku tidak dapat tertipu bahwa aku yang sedang berpikir itu ada. Jadi eksistensiku hanyalah “a thinking thing”. Descartes juga mengilustrasikan perbedaan pikiran dan tubuh (dengan ilustrasi lilin/wax). Banyak unsur dari lilin yang kita indera berubah ketika lilin itu meleleh. Namun, lilin itu tetap dipahami sebagai lilin hanya oleh pikiran kita melalui kemampuan menilai yang ada dalam pikiran itu sendiri (faculty of judgement). Dan, ilustrasi lilin ini dapat diaplikasikan pada benda lainnya, termasuk tubuh. Dia menunjukkan bahwa pikiran kita lebih mudah dan jelas untuk memahami daripada penginderaan tubuh. (I know plainly that I can achieve an easier and more evident perception of my own mind than anything else). Jelaslah bahwa kesadaran akan aku yang berpikir itulah kepastian yang paling dasar, realitas yang sesungguhnya, yang mampu memberikan pemahaman yang benar.
0 komentar:
Posting Komentar