Mengapa proses menjaga perdamaian gagal?
Perdamaian sangat diperlukan dalam menghadapi pelbagai konflik yang terjadi, baik dalam internal suatu negara maupun antarnegara. Sebagai lembaga terbesar penganjur perdamaian dunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memonitor konflik-konflik yang terjadi terkait permasalahan antarnegara. Proses monitoring pertikaian ini diharapkan mencapai titik temu melalui negosiasi untuk menciptakan situasi damai yang permanen. Dalam situasi ini, ketiadaan nilai dan kesalahan dalam mengatasi konflik untuk mencapai perdamaian menjadi tanggungan PBB. Namun, selalu ada perubahan dalam pengambilan solusi dan penyelesaian konflik yang sangat sulit diadopsi. Oleh karena itu, proses menjaga perdamaian dapat gagal karena beberapa hal, yakni:
Pertama, proses menjaga perdamaian itu gagal karena pelatihan yang buruk dan kurangnya disiplin, serta perlengkapan yang kurang memadai dari misi perdamaian yang diterjunkan. Sementara itu, untuk mengadakan pelatihan dan melengkapi fasilitas misi perdamaian dibutuhkan dana yang sangat besar. Pelaksanaan misi perdamaian pun memakan biaya yang tidak kalah banyaknya, dan memuat kompleksitas permasalahan untuk mengatasinya.
Kedua, ketidakmampuan PBB dan komunitas internasional untuk mencapai kesepakatan dalam situasi konflik yang kompleks juga berpengaruh terhadap gagalnya proses menjaga perdamaian. Ini disebabkan karena ada tendensi mulai hilangnya kepercayaan dan kerelaan dari banyak negara untuk mengambil risiko yang besar dalam misi perdamaian dunia.
Ketiga, problem misi perdamaian yang dimotori oleh PBB kadang mengalami hambatan berupa kesulitan membangun relasi dengan orang-orang di wilayah misi perdamaian. Faktor lain yang menyebabkan kegagalan itu adalah ketidakjelasan pembagian tugas, pengetahuan yang minim dari para penjaga perdamaian, dan miskomunikasi antara pemimpin pasukan perdamaian dengan anak buahnya yang mempunyai latar belakang negara yang berbeda.
Keempat, misi dari berbagai pihak, baik organisasi di luar PBB maupun keikutsertaan negara lain atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) level internasional lain, yang memiliki kepentingan dan cara berbeda-beda dalam mengusahakan perdamaian. Ironisnya, lembaga-lembaga ini mengalami kesulitan dalam bekerjasama karena kurang pembekalan dan pengetahuan, seperti misi penyelamantan masyarakat maupun membantu para militer yang bertugas.
Kelima, intervensi yang berlebihan dari pihak “asing”, yakni pihak yang berada di luar konflik atau pihak yang tidak bertikai. Intervensi pihak asing yang berlebihan ini justru sering menimbulkan lebih banyak gejolak dan perlawanan, misalnya dengan pengiriman pasukan perdamaian di negara yang sedang bertikai, yang dilengkapi dengan persenjataan lengkap. Situasi tersebut menimbulkan prasangka yang berlebihan dan cenderung paranoid. Pihak-pihak yang bertikai sering berasumsi buruk terhadap pihak luar yang berusaha masuk dalam situasi konflik yang terjadi. Meskipun pihak luar ini secara tulus ingin memberikan bantuan kemanusiaan, niat mereka sering disalahpahami sebagai salah satu bentuk dukungan pada salah satu pihak yang sedang bermusuhan.
Keenam, pemberitaan media massa yang cenderung mencari sensasi atau hal-hal kontroversial yang lebih disenangi pembaca sebagai pememenuhan tuntutan bisnis. Tak jarang media massa memberitakan suatu fakta dengan pemilihan diksi yang cenderung hiperbolik. Akibatnya, muncul bias atau interpretasi yang justru kontraproduktif terhadap penyelesaian konflik dari pihak-pihak yang sedang bertikai.
Ketujuh, kesepakatan “semu” dari pihak-pihak yang bertikai. Sikap oportunis dan paradigma penyelesaian konflik dengan win-lose solution kerap kali menciptakan kesepakatan semu. Misalnya, dalam konflik yang terjadi, pihak-pihak yang sedang bertikai membutuhkan masa rehat untuk menghimpun kekuatan yang lebih besar. Kebutuhan ini dipolitisir sehingga mereka mengambil taktik “kesepakatan damai”, padahal hanya mencari kesempatan untuk menggalang kekuatan yang lebih besar.
Kedelapan, pro status quo dengan memanfaatkan konflik untuk mendapatkan dan memenuhi kebutuhan atau kepentingan pribadi dan atau kelompok. Artinya, mereka mempertahankan agar konflik tetap berlangsung karena dengan begitu, mereka dapat meraup keuntungan yang berlimpah. Sikap oportunis ini menjadi salah satu penyebab proses menjaga perdamaian akan selalu dihalang-halangi.
Kesembilan, ikatan primordial yang terlalu berlebihan. Solidaritas yang terbangun dalam suatu kelompok, seperti agama, etnis, suku bangsa, ideologi, dan lain-lain, sering menghambat proses menjaga perdamaian. Solidaritas yang muncul dalam kelompok ini menjadi tidak sehat ketika sentimen negatif terhadap kelompok lain diagung-agungkan. Proses ini membuat setiap kelompok mengeksklusi diri dan secara tidak sadar membangun sekat-sekat pemisah yang semakin jauh dengan kelompok lain.
Kesepuluh, ketidakadilan struktural dan diskriminasi yang dilakukan oleh para pemegang kekuasaan. Sistem pemerintahan diktator yang otoriter pasti akan cenderung menegasi –bahkan mengeliminasi– elemen-elemen yang dianggap bertentangan dengan kebijakan penguasa. Dalam konteks ini, proses menjaga perdamaian akan terseok-seok karena yang terakomodasi hanyalah kepentingan sebagian kecil elit.
Kesebelas, pengetahuan dan pemahaman lintas budaya yang lemah. Pendekatan budaya yang keliru terhadap penyelesaian suatu konflik justru dapat memicu timbulnya konflik yang lebih besar. Pertama, yang sedang bertikai merasa tidak dipahami dan tidak dihargai dengan semestinya. Kedua, potensi resolusi damai yang boleh jadi ada dalam budaya tertentu tidak tereksplorasi dengan baik. Ketiga, tingkat kepercayaan kepada pihak-pihak yang berusaha untuk menyelesaikan konflik semakin merosot karena pihak yang sedang bertikai merasa mengalami pemaksaan unsur asing masuk dalam budaya asali mereka.
Keduabelas, adanya provokator yang selalu mencari kesempatan untuk membesar-besarkan permasalahan yang sedang dihadapi dan memancing pihak-pihak yang sedang berkonflik agar semakin membeci serta menanamkan citra buruk terhadap lawan. Friksi yang sudah ada dimanfaatkan untuk memperuncing permasalahan yang sedang dihadapi.
Referensi:
Christie, D. J., Wagner, R. V., & Winter, D. A. (Eds.), 2001. Peace, Conflict, and Violence: Peace Psychology for the 21st Century. Cahpter 17 Conflict Resolution: Theoretical and Practical Issues. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall
Jett, Dennis C., 1999. Why Peacekeeping Fails. New York: St. Martin’s
Jett, Dennis C., 1999. Why Peacekeeping Fails. New York: St. Martin’s. Resensi oleh A. A. Nofi. Tersedia di: https://www.strategypage.com/bookreviews/15.asp, [Diakses 13 September 2014]
Rubinstein, Robert A., Keller, Diana M., & Scherger, Michael E., 2008. Culture an Interoperability in Integrated Missions. International Peacekeeping, Vol.15, No.4, Agustus 2008, hlm.540-555. Taylor & Francis
0 komentar:
Posting Komentar