Deterrence as Coercive Strategy

Mengukur Keberhasilan 
dalam Membangun Kemampuan Penangkalan 
pada Sistem Pertahanan Negara
oleh
R.B.E. Agung Nugroho

Pengantar
Untuk mengukur keberhasilan dalam membangun kemampuan penangkalan dalam Sistem Pertahanan Negara, pertama-tama harus didefinisikan dulu mengenai konsep “penangkalan” (deterrence) itu sendiri. Secara harafiah, “penangkalan” berakar dari Kata Kerja “tangkal”, yang berarti “tolak” atau “cegah”. Kata “penangkalan” merupakan bentuk Kata Kerja, yang berarti “proses, cara, perbuatan menangkal, penolakan, pencegahan”.

Dalam Bahasa Inggris, penangkalan dikenal dengan kata “deterrence”. Kata ini berasal dari Kata Kerja dasar “to deter”, yang berarti “to discourage or turn aside or restrain by fear; to frighten from anything; to restrain or keep back from acting or preceeding by any consideration of danger or trouble”. Berangkat dari pemahaman konsep dasar ini, barulah dapat dirumuskan faktor-faktor atau tolok ukur keberhasilan dalam membangun kemampuan pencegahan dalam Sistem Pertahanan Negara.

Ukuran Keberhasilan
Lawrence Freedman dalam “Strategic Coercion: Concepts and Cases” (1998) mendefinisikan “deterrence” sebagai “coercive strategy” atau strategi yang bersifat memaksa. Strategi ini dijelaskan sebagai penerapan potensial dan aktual dari kekuatan untuk mempengaruhi tindakan dari agen sukarelawan (the potential or actual application of force to influence the action of a voluntary agent). Artinya, coercive strategy sebenarnya menggunakan kekuatan yang mengandung unsur menakuti, untuk mempengaruhi maksud dari suatu kekuatan asing, yang dapat digunakan untuk menyerang suatu negara.

Oleh karena itu, ukuran keberhasilan dari suatu penangkalan dapat dibagi dalam dua aspek (Stephen J. Cimbala dalam Military Persuasion, 1998). Pertama, kemampuan struktural (structural feature) yaitu kemampuan atau kekuatan militer sebagai komponen penangkal untuk melawan dan menghancurkan segala bentuk ancaman. Kemampuan struktural ini terkait dengan kebijakan pemerintah untuk memperlengkapi kekuatan militer dengan budgeting dan peningkatan keahlian (skill) serta pengetahuan (knowledge) yang baik di kalangan internal Tentara Nasional Indonesia (TNI). Peningkatan serta peremajaan (modernisasi) persenjataan dan alutsista berbasis teknologi terkini juga menentukan balance of forces di level kawasan regional dan internasional. Aspek pertama ini berfokus pada militer –meski juga melibatkan komponen cadangan atau non-militer– dalam peningkatan kemampuan dan kekuatan secara struktural. Kebijakan-kebijakan yang sinergis di tingkat otoritas sipil hendaknya sejalan dengan sesama otoritas sipil yang lain dan juga kebijakan militer (sinergic cooperation of melting pot between civilians and military).

Kedua, aspek yang terkait dengan tindakan (behavioral aspects). Contoh dari aspek kedua ini adalah tindakan-tindakan sebagai penangkal dalam menghadapi krisis internasional yang pernah terjadi sebelumnya, strategi diplomatik yang digunakan sebagai penangkal dalam suatu krisis tertentu, dan usaha memobilisasi kekuatan militer dalam menghadapi suatu ancaman krisis, baik yang bersifat militer dan nirmiliter. 

Dua aspek tersebut di atas menjadi tolok ukur keberhasilan dalam membangun kemampuan penangkalan dalam Sistem Pertahanan Negara dalam suatu negara. Ketika dua aspek tersebut terpenuhi, tingkat atau indeks deterrence suatu negara dapat dikategorikan tinggi atau berhasil. Sementara semakin lemah kedua aspek tersebut dalam usaha pemenuhannya, semakin rendah juga tingkat atau indeks deterrence suatu negara.

Penutup
Memahami ukuran keberhasilan yang termaktub dalam dua aspek tersebut, sebenarnya mengarahkan suatu negara pada posisi siap menangkal segala bentuk ancaman yang terjadi. Bahkan, negara tersebut mampu melakukan langkah dan tindakan preventif terhadap ancaman yang dihadapi. Lebih dari itu, negara tersebut akan mampu mengambil kebijakan pre-emption, yakni keputusan untuk menyerang terlebih dahulu karena melihat bahwa negara lain sudah memutuskan untuk menyerang negara tersebut. Kemampuan pre-emption ini lebih jauh dari sekadar antisipasi yang hanya merespons ancaman dan serangan dari negara lain. Baik kemampuan preventif maupun pre-emption ini menunjukkan bahwa indeks deterrence suatu negara tinggi, artinya kemampuan penangkalan dalam Sistem Pertahanan Negara berhasil.

0 komentar:

Posting Komentar