Alternatif Penyelesaian Separatisme dan Pemberontakan Bersenjata

Upaya Penyelesaian secara Komprehensif 
dalam Mengatasi Gerakan Separatis 
dan Pemberontakan Bersenjata

R.B.E. Agung Nugroho

Pengantar
Gerakan separatis dan pemberontakan bersenjata merupakan ancaman terhadap sistem pertahanan negara, yang bersifat nirmiliter dan berskala nasional. Penyelesaiannya ancaman ini menjadi tanggung jawab negara. Peran negara sebagai aktor penyelesaian ini merujuk pada otoritas politik yang sah dan secara operasional memobilisasi kekuatan militer, termasuk di dalamnya civil society.

Menurut UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) pasal 7 ayat (2) poin b nomor 1 dan nomor 2, acaman itu masuk dalam kategori nirmiliter. Separatisme biasanya bersifat politis, yaitu suatu gerakan untuk mendapatkan kedaulatan dan memisahkan suatu wilayah atau kelompok manusia. Gerakan ini dapat ditempuh secara politis dan damai maupun secara kasar dan brutal (Doktrin Pertahanan Negara, 2008: 30). Bagi kaum teroris, separatisme dianggap satu-satunya cara mencapai tujuan kemerdekaan. Sementara itu, pemberontakan bersenjata adalah penolakan terhadap otoritas pemerintah yang sah dan berusaha meruntuhkannya. Bentuknya dapat berupa pembangkangan sipil (civil disobedience) hingga kekerasan massif dan terorganisir.

Penyelesaian Komprehensif
Dua model ancaman itu sudah semestinya diatasi secara komprehensif. Artinya, penyelesaiannya bercirikan lengkap, luas, dan menyeluruh. Lengkap berarti menggunakan semua perangkat yang ada, yakni dengan mengefektifkan fungsi-fungsi pembangunan nasional. Luas berarti melibatkan semua elemen bangsa dan negara karena semua warga negara bertanggung jawab atas keutuhan NKRI. Menyeluruh berarti integral, yaitu menggabungkan seluruh potensi yang ada dan menggunakan pendekatan yang holistik di semua bidang. Dengan kata lain, penyelesaian komprehensif berarti penyelesaian yang bersifat “semesta”. Tujuan dari penyelesaian secara holistik adalah agar permasalahan dua ancaman itu dapat dipangkas dan dicerabut hingga ke akar-akarnya, tanpa meninggalkan ancaman lain dalam bentuk laten.

Karena dua ancaman tersebut masuk kategori ancaman nirmiliter, maka penyelesaiannya pun menggunakan Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Sifat nirmiliter ini jelas melibatkan semua warga negara dengan mengoptimalkan fungsi-fungsi pembangunan nasional, misalnya dengan pendekatan keadilan dan kesejahteraan (prosperity approach) –selain pendekatan pertahanan dan keamanan (security approach). Oleh karena itu, pengenalan terhadap budaya menjadi kunci untuk menemukan pintu masuk pendekatan yang akan dipilih. Di sinilah perlunya keterlibatan dan peran aktif dari tokoh-tokoh masyarakat, tokoh agama, adat, dan komponen lainnya dalam masyarakat.

Gerakan penyelesaian yang komprehensif tersebut dijamin berdasarkan keputusan politik resmi pemerintah, sekaligus dilindungi oleh Undang-Undang. Separatisme dan pemberontakan yang sebenarnya faktor-faktornya berakar pada unsur-unsur nirmiliter maka haruslah dihadapi dengan pendekatan nirmiliter, seperti diplomasi, OMSP, dll. Pendekatan ini juga masuk di semua lini kehidupan masyarakat, misalnya politik, ekonomi, sosial-budaya, dll. Inilah yang dinamakan sebagai penyelesaian secara komprehensif-integral.

Sebagai contoh adalah kasus Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pemerintah menggunakan model penyelesaian komprehensif. OMSP dicanangkan dengan menjadikan Aceh pada saat itu sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Pendekatan diplomatis dalam bentuk dialog juga ditempuh, yang akhirnya menghasilkan Perjanjian Helsinki, 15 Agustus 2005. Hasil Perjanjian Helsinki inilah yang mampu mengatasi konflik yang terjadi di sana. Pemberian predikat Daerah Istimewa dengan nama Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) merupakan pendekatan politis. Mereka memiliki hak untuk membuat partai sendiri yang bisa ikut dalam konstelasi Pemilu Nasional, dan memiliki Dewan Perwakilan Aceh (DPA). Mereka juga diberi kesempatan menerapkan Perda Syariah Islam secara kaffa. Pendekatan kepada para mantan kombatan juga dilakukan dengan memberinya penghargaan dan status yang layak dalam masyarakat, bahkan masuk dalam Pemerintahan Daerah (Pemda). Pendekatan ekonomi dan budaya tercermin dari pembangunan di Aceh pasca tsunami dan pengembangan budaya berdasarkan asas Islami dalam koridor Pancasila sebagai dasar negara. Penyelesaian seperti ini menunjukkan sifat “semesta” dari penyelesaian yang ditempuh pemerintah, yaitu komprehensif-integral.

Penutup
Penyelesaian dalam memberangus gerakan separatis dan pemberontakan bersenjata memang tepat sekali jika menggunakan penyelesaian secara komprehensif. Jika dilihat dari kacamata Sistem Pertahanan Negara (Sishanneg), penyelesaian ini bersifat “semesta”. Artinya, tidak hanya sekadar komprehensif, melainkan komprehensif-integral –yaitu lengkap, luas, sekaligus menyeluruh.

0 komentar:

Posting Komentar