Reformasi Pertahanan Negara (Hanneg)

 Reformasi Pertahanan Negara (Hanneg):
 Bertahap, Berkelanjutan, serta
 Berdasarkan Pancasila dan UUD 45

  R.B.E. Agung Nugroho

Pengantar
Reformasi di bidang Pertahanan Negara (Hanneg) dilaksanakan secara bertahap, berkelanjutan, utuh, dan menyeluruh berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Keberhasilannya ditentukan oleh peran Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, ilmuwan, dan masyarakat.Reformasi di bidang Pertahanan sejalan dengan komitmen reformasi nasional yang dilaksanakan secara konsepsional berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Reformasi ini menjadi salah satu bentuk komitmen perbaikan diri sebagai bangsa dan negara yang dilaksanakan secara bertahap dan berkelanjutan, mencakup penataan struktur, kultur dan tata nilai sebagai satu kesatuan perubahan yang utuh dan menyeluruh.

Penataan struktur mencakup penataan organisasi pertahanan negara yang menyentuh segi-segi substansial, meliputi perubahan struktur organisasi, tataran kewenangan, fungsi, dan tugas Departemen Pertahanan (Dephan) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Penataan organisasi bertujuan agar lebih efektif dan sesuai dengan perkembangan konteks strategis, serta masyarakat yang demokratis. Perubahan pada aspek budaya dan tatanilai mengarah pada sikap dan perilaku penyelenggaraan Pertahanan Negara (Hanneg) dalam memposisikan diri sesuai peran dan tugasnya sebagai insan pertahanan negara yang profesional. Oleh karena itu, semua pihak –baik Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, ilmuwan, dan masyarakat– harus bahu-membahu mengembangkan reformasi Hanneg demi keberhasilan cita-cita reformasi.

Langkah Mewujudkan Cita-Cita Reformasi
Pertama, harus dipahami terlebih dahulu pentingnya reformasi Hanneg. Reformasi Hanneg adalah kebutuhan strategis bangsa Indonesia untuk mewujudkan pertahanan negara yang efektif dalam mengawal NKRI dengan segala kepentingannya (Buku Putih Pertahanan Indonesia, 2008:107). Undang-Undang RI No.3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan Undang-Undang RI No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia telah mendorong berlangsungnya perubahan signifikan dalam penyelenggaraan fungsi Hanneg.

Kedua, keberhasilan reformasi ditentukan oleh pelaksanaan peran Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, ilmuwan, dan masyarakat. Mereka memainkan peran secara estafet dan membentuk suatu sistem kinerja yang saling terkait. Oleh karena itu, dibutuhkan kerjasama yang sinergis di antara semua komponen. Jika salah satu tidak menjalankan fungsinya, tentu akan terjadi “efek domino” serta membuat alur dan laju reformasi tersendat. Begitupun jika terjadi pertikaian dan perseteruan, alur dan laju reformasi pun akan tersendat. Dengan demikian, diperlukan pemahaman secara baik dari partai politik maupun institusi sipil, pemerintah maupun DPR, dll. Masyarakat dari institusi sipil pun dituntut untuk berpartisipasi aktif –terutama yang mengabdi di bidang pengembangan teknologi pertahanan– dalam rangka membangun kekuatan Pertahanan Nirmiliter. Contohnya adalah dukungan dalam pembangunan Alutsista TNI. Adapun peran serta insan pertahanan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Peran Eksekutif: Bekerja sama dengan Legislatif untuk proses legislasi aneka macam peraturan perundang-undangan. Selain itu, Eksekutif juga mesti membuat RAPBN setiap tahun dan lima tahunan untuk peningkatan kualitas Hanneg. Contohnya, dalam RAPBN Tahun 2015, Kementerian Pertahanan (Kemhan) diberi anggaran Rp 95 triliun. Hal ini bertujuan untuk melanjutkan pemenuhan kekuatan dasar (MEF), peningkatan peran industri pertahanan dalam negeri, baik produksi alutsista maupun pemeliharaannya. Pemerintah juga berkewajiban untuk menciptakan TNI yang profesional, yaitu tidak berpolitik, di bawah kekuasaan pemerintah, terdidik, dan terlatih, kebutuhannya tercukupi, dan kesejahteraannya terjamin. Untuk menunjangnya, dibutuhkan juga Doktrin TNI dan Angkatan yang memadai, seperti: Tridek, Kartika Eka Paksi, Eka Sasana Jaya, dan Swa Bhuana Paksa.

2. Peran Legislatif: Bersama dengan Eksekutif, membuat produk perundang-undangan yang menopang reformasi di bidang Hanneg. Contoh produk yang sudah terbit adalah UU RI UU RI No.3 Tahun 2002 tentang Hanneg, UU RI No.34 Tahun 2004 tentang TNI, dll. Sementara yang masih belum diselesaikan adalah RUU Perbantuan TNI, RUU Pengerahan dan Penggunaan Kekuatan TNI, RUU Hukum Disiplin Prajurit TNI, RUU Komponen Cadangan (Komcad), RUU Keamanan Nasional (Kamnas), dll.

3. Peran Yudikatif: Mereformasi peradilan militer. Misalnya, Keputusan Presiden RI No.56 Tahun 2004, Panglima TNI telah melaksanakan pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial pengadilan dalam lingkungan peradilan militer dari Markas Besar TNI ke Mahkamah Agung yang dikukuhkan dengan Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/5/VIII/2004 tanggal 31 Agustus 2004 (Buku Putih Pertahanan Indonesia, 2008:110-111).

4. Peran Ilmuwan:
Dalam pengembangan teknologi pertahanan, peran ilmuwan menjadi utama. Mereka dapat memberikan kontribusi untuk memperlancar transfer teknologi, pengembangan dan penemuan teknologi militer yang baru, inovasi di bidang alutsista, dll. Selain itu, mereka juga dapat menjadi staf ahli untuk bidang teknologi militer dan pertahanan. Contohnya, mereka dapat ikut terlibat dalam beberapa proyek yang tertera dalam Restra 2015-2019, yaitu: pengitegrasian sistem senjata yang ada, peningkatan kemampuan industri militer dalam negeri (Lapan, Pindad, PT. PAL, PT. DI, BPPT, PT. Dahana), dll.

5. Peran Masyarakat: Ikut mendukung dengan bekerja sama dan berkolaborasi secara sinergis dengan insan pertahanan lainnya. Peran sipil ini mewujud misalnya dalam konsep “melting pot” yang dimulai di Universitas Pertahanan (Unhan), pendidikan dan latihan mengenai “Bela Negara”, mengembangkan isu-isu strategis terkait pertahanan dalam bidang-bidang nirmiliter, pelayanan publik, pasokan energi, distribusi, kesehatan, dll (Buku Putih Pertahanan Indonesia, 2008:114-115).

Penutup
Perwujudan reformasi Hanneg merupakan keniscayaan yang harus ditempuh dengan cara sinergi di antara semua komponen atau insan pertahanan. Karena Hanneg yang hanya berorientasi pada pertahanan militer tidak akan menjadi solusi terbaik dalam menghadapi tantangan bangsa yang semakin kompleks (Buku Putih Pertahanan Indonesia, 2008:115). Dari konteks tersebut, jelas bahwa dimensi pertahanan negara tidak saja bersifat fisik, yang berorientasi pada fungsi pertahanan militer yang mengandalkan kekuatan senjata, tetapi semua aspek kehidupan memiliki dimensi pertahanan negara yang dapat disinergikan. Dengan demikian, cita-cita reformasi bidang Hanneg akan tercapai demi keutuhan NKRI.

0 komentar:

Posting Komentar