Kompetensi
lintas budaya mutlak diperlukan dalam operasi penjaga perdamaian.
Budaya menjadi bagian integral dari kehidupan suatu masyarakat yang
sudah turun temurun. Oleh karena itu, pengetahuan dan pemahaman atas
budaya lain menjadi keharusan untuk menyelami nilai-nilai luhur dan
kearifan lokal masyarakat tertentu. Adapun alasan kompetensi lintas
budaya menjadi mutlak, yakni:
Pertama, pengetahuan
budaya masyarakat lain dapat menjadi pembelajaran dan analisis
kebijakan perdamaian. Akan tetapi, operasi militer yang dilakukan kerap
kali mengabaikan pemahaman budaya tersebut. Para penjaga perdamaian
sering dibekali pengetahuan yang sangat terbatas tentang budaya dari
tempat operasi perdamaian tersebut dilaksanakan. Ketidakmampuan dalam
memahami budaya lokal ini menghasilkan komunikasi yang salah dan tidak
sejalan dengan tujuan operasi perdamaian yang sesungguhnya, misalnya
adat istiadat masyarakat, bahasa, dan cara hidupnya.
Kedua, para
penjaga perdamaian hendaknya tidak hanya melihat budaya sebagai
komponen pembelajaran dan ancaman, melainkan sebagai pintu masuk
komunikasi dan interaksi yang lebih intensif. Seharusnya, pembelajaran
tentang budaya mengantarkan pada pemahaman tentang lintas budaya yang
mendalam sehingga memberikan peluang lebih untuk pencapaian operasi
perdamaian. Beberapa studi menjelaskan bahwa hubungan antara para
penjaga perdamaian dan penduduk lokal dalam operasi perdamaian ini
sangat berpengaruh pada sukses atau tidaknya misi perdamaian tersebut.
Hal ini juga membantu menyelaraskan tujuan bersama dalam mengkonsepsikan
otoritas politik dan bidang lainnya antara pasukan perdamaian dan
penduduk lokal. Mereka seharusnya merasakan kesamaan visi untuk
membangun perdamaian bersama di wilayah yang sedang bertikai. Kompetensi
lintas budaya dapat menjadi pintu masuk dalam pelaksanaan operasi
penjaga perdamaian. Kompetensi ini menjadi ekspresi pengenalan dan
pemahaman terhadap budaya dari pihak-pihak yang sedang bertikai. Dengan
memahami budaya mereka, proses interaksi dan komunikasi serta pembauran
dalam pelaksanaan operasi penjaga perdamaian dapat berjalan.
Ketiga, kompetensi
lintas budaya menjadi suatu bentuk penghargaan atas budaya dari
pihak-pihak yang bertikai. Para pelaksana operasi penjaga perdamaian
juga akan terbantu dalam melakukan pendekatan dan bersosialisasi dengan
pihak-pihak yang sedang bertikai. Kemampuan kognitif saja tidaklah
mencukupi untuk melaksanakan operasi penjaga perdamaian. Para pelaksana
operasi harus mampu masuk dalam dinamika pihak-pihak yang bertikai
dengan mengusahakan resolusi damai diantara mereka. Kompetensi lintas
budaya penting sebagai disposisi dasar sehingga para pelaksana operasi
sungguh mampu menjadi bagian dari situasi di mana mereka ditugaskan.
Keempat, kemampuan
ini juga dapat digunakan sebagai suatu kajian atau riset untuk mencari
resolusi damai yang berakar dari tradisi budaya pihak-pihak yang
bertikai sehingga kehadiran para pelaksana operasi bukan perdamaian
menjadi suatu bentuk pemaksaan budaya asing dalam proses pengkajian
resolusi damai. Jadi, hasil pembelajaran, kajian, dan riset yang
dilakukan hendaknya menghasilkan resolusi damai yang berakar dari
kearifan lokal masyarakat setempat.
Kelima, kompetensi
lintas budaya pun dijadikan acuan untuk membangun komunikasi internal
antarpelaksana operasi penjaga damai yang berasal dari latar belakang
budaya yang majemuk. Ketika para pelaksana ini mencerminkan harmonisasi
dari heterogenitas budaya, kehadiran secara tidak langsung sudah
merupakan contoh konkret usaha menjaga perdamaian di hadapan pihak-pihak
yang sedang bertikai.
Keenam, kompetensi
lintas budaya sangat penting dalam usaha menangani kasus-kasus
traumatis diantara para korban dan pihak-pihak yang bertikai. Proses
healing pun dapat didekati dengan pintu masuk kebudayaan dan adat
istiadat. Inilah fungsi animatif yang mampu menggerakkan orang untuk
berdamai dengan keadaan buruk yang telah, sedang, dan yang akan mereka
hadapi.
Referensi:
Christie, D. J., Wagner, R. V., & Winter, D. A. (Eds.), 2001. Peace,
Conflict, and Violence: Peace Psychology for the 21st Century. Cahpter
17 Conflict Resolution: Theoretical and Practical Issues. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall
Jett, Dennis C., 1999. Why Peacekeeping Fails. New York: St. Martin’s
Jett, Dennis C., 1999. Why Peacekeeping Fails. New
York: St. Martin’s. Resensi oleh A. A. Nofi. Tersedia di:
https://www.strategypage.com/bookreviews/15.asp, [Diakses 13 September
2014]
Rubinstein, Robert A., Keller, Diana M., & Scherger, Michael E., 2008. Culture an Interoperability in Integrated Missions. International Peacekeeping, Vol.15, No.4, Agustus 2008, hlm.540-555. Taylor & Francis
0 komentar:
Posting Komentar