Kecerdasan Budaya dalam Misi Perdamaian

Mengapa kompetensi lintas budaya diperlukan dalam operasi penjaga perdamaian?



R.B.E. Agung Nugroho

Kompetensi lintas budaya mutlak diperlukan dalam operasi penjaga perdamaian. Budaya menjadi bagian integral dari kehidupan suatu masyarakat yang sudah turun temurun. Oleh karena itu, pengetahuan dan pemahaman atas budaya lain menjadi keharusan untuk menyelami nilai-nilai luhur dan kearifan lokal masyarakat tertentu. Adapun alasan kompetensi lintas budaya menjadi mutlak, yakni:

Pertama, pengetahuan budaya masyarakat lain dapat menjadi pembelajaran dan analisis kebijakan perdamaian. Akan tetapi, operasi militer yang dilakukan kerap kali mengabaikan pemahaman budaya tersebut. Para penjaga perdamaian sering dibekali pengetahuan yang sangat terbatas tentang budaya dari tempat operasi perdamaian tersebut dilaksanakan. Ketidakmampuan dalam memahami budaya lokal ini menghasilkan komunikasi yang salah dan tidak sejalan dengan tujuan operasi perdamaian yang sesungguhnya, misalnya adat istiadat masyarakat, bahasa, dan cara hidupnya.

Kedua, para penjaga perdamaian hendaknya tidak hanya melihat budaya sebagai komponen pembelajaran dan ancaman, melainkan sebagai pintu masuk komunikasi dan interaksi yang lebih intensif. Seharusnya, pembelajaran tentang budaya mengantarkan pada pemahaman tentang lintas budaya yang mendalam sehingga memberikan peluang lebih untuk pencapaian operasi perdamaian. Beberapa studi menjelaskan bahwa hubungan antara para penjaga perdamaian dan penduduk lokal dalam operasi perdamaian ini sangat berpengaruh pada sukses atau tidaknya misi perdamaian tersebut. Hal ini juga membantu menyelaraskan tujuan bersama dalam mengkonsepsikan otoritas politik dan bidang lainnya antara pasukan perdamaian dan penduduk lokal. Mereka seharusnya merasakan kesamaan visi untuk membangun perdamaian bersama di wilayah yang sedang bertikai. Kompetensi lintas budaya dapat menjadi pintu masuk dalam pelaksanaan operasi penjaga perdamaian. Kompetensi ini menjadi ekspresi pengenalan dan pemahaman terhadap budaya dari pihak-pihak yang sedang bertikai. Dengan memahami budaya mereka, proses interaksi dan komunikasi serta pembauran dalam pelaksanaan operasi penjaga perdamaian dapat berjalan.

Ketiga, kompetensi lintas budaya menjadi suatu bentuk penghargaan atas budaya dari pihak-pihak yang bertikai. Para pelaksana operasi penjaga perdamaian juga akan terbantu dalam melakukan pendekatan dan bersosialisasi dengan pihak-pihak yang sedang bertikai. Kemampuan kognitif saja tidaklah mencukupi untuk melaksanakan operasi penjaga perdamaian. Para pelaksana operasi harus mampu masuk dalam dinamika pihak-pihak yang bertikai dengan mengusahakan resolusi damai diantara mereka. Kompetensi lintas budaya penting sebagai disposisi dasar sehingga para pelaksana operasi sungguh mampu menjadi bagian dari situasi di mana mereka ditugaskan.

Keempat, kemampuan ini juga dapat digunakan sebagai suatu kajian atau riset untuk mencari resolusi damai yang berakar dari tradisi budaya pihak-pihak yang bertikai sehingga kehadiran para pelaksana operasi bukan perdamaian menjadi suatu bentuk pemaksaan budaya asing dalam proses pengkajian resolusi damai. Jadi, hasil pembelajaran, kajian, dan riset yang dilakukan hendaknya menghasilkan resolusi damai yang berakar dari kearifan lokal masyarakat setempat.

Kelima, kompetensi lintas budaya pun dijadikan acuan untuk membangun komunikasi internal antarpelaksana operasi penjaga damai yang berasal dari latar belakang budaya yang majemuk. Ketika para pelaksana ini mencerminkan harmonisasi dari heterogenitas budaya, kehadiran secara tidak langsung sudah merupakan contoh konkret usaha menjaga perdamaian di hadapan pihak-pihak yang sedang bertikai. 

Keenam, kompetensi lintas budaya sangat penting dalam usaha menangani kasus-kasus traumatis diantara para korban dan pihak-pihak yang bertikai. Proses healing pun dapat didekati dengan pintu masuk kebudayaan dan adat istiadat. Inilah fungsi animatif yang mampu menggerakkan orang untuk berdamai dengan keadaan buruk yang telah, sedang, dan yang akan mereka hadapi.


Referensi:

Christie, D. J., Wagner, R. V., & Winter, D. A. (Eds.), 2001. Peace, Conflict, and Violence: Peace Psychology for the 21st Century. Cahpter 17 Conflict Resolution: Theoretical and Practical Issues. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall

Jett, Dennis C., 1999. Why Peacekeeping Fails. New York: St. Martin’s

Jett, Dennis C., 1999. Why Peacekeeping Fails. New York: St. Martin’s. Resensi oleh A. A. Nofi. Tersedia di: https://www.strategypage.com/bookreviews/15.asp, [Diakses 13 September 2014]

Rubinstein, Robert A., Keller, Diana M., & Scherger, Michael E., 2008. Culture an Interoperability in Integrated Missions. International Peacekeeping, Vol.15, No.4, Agustus 2008, hlm.540-555. Taylor & Francis

0 komentar:

Posting Komentar