Tegangan Perbatasan Darat
antara Indonesia dan Malaysia:
Faktor Penarik dan Pendorong
R.B.E. Agung Nugroho
Tulisan ini merupakan pemaparan tentang faktor ‘pendorong’ dan faktor ‘penarik’ konflik wilayah perbatasan Indonesia dengan Malaysia. Wilayah Indonesia yang berbatasan darat langsung terletak di tiga tempat, yakni Kalimantan dengan Malaysia, Nusa Tenggara Timur dengan Timor Leste, dan Papua dengan Papua New Guinea. Wilayah perbatasan ini berpotensi menjadi konflik dengan negara tetangga –terutama konflik dengan Malaysia. Hal ini merupakan salah satu ancaman serius bagi Indonesia. Mencermati isu pembangunan wilayah perbatasan, ternyata keseriusan pemerintah dalam memajukan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di sana berdampak pada rasa nasionalisme terhadap Indonesia. Jika kemajuan pembangunan dan kesejahteraan ini tersendat, pasti masyarakat akan melihat kondisi negara tetangga lebih maju dan sejahtera dibandingkan dengan kondisi di negeri sendiri.
Masalah Perbatasan
Masalah perbatasan darat dengan Malaysia di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara merupakan masalah yang belum mendapat perhatian intensif dari pemerintah Indonesia. Hal ini tercermin dari kebijakan-kebijakan pemerintah yang lebih banyak mengarah pada pembangunan perkotaan dan sering mengabaikan garda terdepan Indonesia di wilayah perbatasan yang bersebelahan langsung dengan negara tetangga. Paradigma dan kebijakan umum pemerintah lebih melihat wilayah perbatasan sebagai “halaman belakang” wilayah Indonesia sehingga kurang mendapat perhatian dan prioritas. Wilayah perbatasan belum menjadi isu yang diprioritaskan oleh pemerintah dalam membangun negara. Dapat dilihat bahwa wilayah perbatasan yang masih banyak berupa daerah terisolir, terpencil, dan tertinggal, jauh dari perkotaan.
Usaha dan kebijakan pemerintah pada wilayah perbatasan sudah selayaknya mendapat prioritas dalam bidang pembangunan infrastruktur. Pentingnya pendekatan keamanan (security approach) tetap harus dibarengi dengan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach). Kesenjangan pembangunan dan kesejahteraan tersebut tidak jarang menimbulkan rasa kecemburuan warga perbatasan terhadap masyarakat di perkotaan. Hal ini juga dapat berujung pada melemahnya rasa nasionalisme dan cinta tanah air. Maka tidak mengherankan jika belakangan ini muncul isu 10 desa di perbatasan yang ingin bergabung dengan Malaysia, karena merasa tidak diperhatikan di negeri sendiri.
Isu perbatasan seringkali dikaitkan dengan persoalan ekonomi, pertahanan dan keamanan yang membandingkan antara kondisi di Indonesia dan Malaysia. Sebenarnya, wilayah perbatasan Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah. Akan tetapi, potensi tersebut belum dikelola dan dimanfaatkan secara maksimal oleh pemerintah untuk kemajuan pembangunan wilayah perbatasan.
Perekonomian dan pembangunan wilayah perbatasan masih sangat minim dibandingkan wilayah perbatasan Malaysia. Minimnya infrastruktur dan aksesibilitas yang tidak memadai di wilayah perbatasan juga menjadi ancaman serius bagi pemerintah Indonesia. Sarana dan prasarana pada bidang komunikasi berupa jaringan, pemancar, transmisi radio dan televisi yang ada di wilayah perbatasan masih sangat minim untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di perbatasan. Tidak hanya itu, dalam bidang sosial ekonomi yang dirasakan masih sangat diperlukan adalah pembangunan fasilitas umum, seperti pusat kesehatan, pendidikan, pasar, dan hal-hal lain yang menyangkut kesejahteraan rakyat. Sementara di Malaysia, kebutuhan-kebutuhan tersebut disediakan dalam porsi yang berlimpah dibandingkan dengan ketersediaan di dalam negeri. Tidak mengherankan jika masyarakat perbatasan lebih memilih beraktivitas di Malaysia yang dinilai lebih baik dibandingkan dengan Indonesia.
Faktor Penarik dan Faktor Pendorong
Eskalasi konflik terjadi karena adanya faktor-faktor penyebab, yang dapat digolongkan menjadi dua, yakni factor penarik dan faktor pendorong. Persoalan perbatasan antara Indonesia—Malaysia memiliki factor pendorong yang berasal dari Indonesia. Sementara itu, faktor penarik berasal dari Malaysia yang mempengaruhi berkembangnya ancaman, bahkan eskalasi konflik antara dua negara yang berbatasan darat secara langsung tersebut.
Adapun faktor pendorong konflik perbatasan Indonesia—Malaysia itu dapat diuraikan sebagai berikut:
- Paradigma dan kebijakan umum yang melihat wilayah perbatasan sebagai “halaman belakang” wilayah NKRI sehingga kurang mendapat perhatian dan prioritas. Pembangunan yang masih kurang diperhatikan pemerintah pada daerah perbatasan sebagai garda terdepan yang berbatasan langsung dengan negara lain.
- Selama ini, pengelolaan wilayah perbatasan didekati dengan perspektif kebijakan yang bersifat inward looking. Letak geografis daerah perbatasan yang jauh dari perkotaaan sebagai pusat pembangunan, sehingga prioritas untuk pembangunan pada daerah perbatasan masih kurang diperhatikan pemerintah.
- Minimnya fasilitas, manajemen, sarana dan prasarana Pos Lintas Batas (PLB).
- Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di wilayah perbatasan karena minimnya personel penegak hukum. Kelemahan kuantitas dan kualitas penegak hokum ini menjadikan maraknya kegiatan ilegal di wilayah perbatasan.
- Tingkat kesejahteraan masyarakat perbatasan yang masih rendah. Pendekatan yang dilakukan untuk menangani persoalan wilayah perbatasan biasanya hanya dikaitkan dengan konsep “daerah perbatasan sebagai sabuk NKRI” yang berhubungan dengan batas negara tetangga, sehingga pendekatan yang digunakan adalah keamanan (security approach) dan mengabaikan kesejahteraan (prosperity approach).
- Minimnya sarana pemukiman warga wilayah perbatasan dan fasilitas umum, serta infrastruktur akibat pembangunan yang masih sangat kurang. Infrastruktur komunikasi dan aksesibilitas, seperti: signal telpon, siaran TV, radio, dll, masih sangat minim –bahkan banyak daerah tidak mendapatkan signal sama sekali.
- Rendahnya aksesibilitas, sarana dan prasarana transportasi di wilayah perbatasan. Kurangnya prasarana transformasi dan telekomunikasi yang mengakibatkan daerah perbatasan terisolir, terpencil, dan terbelakang dari daerah perkotaan dalam bidang sosial dan ekonomi.
- Rendahnya kualitas tenaga kerja (sumber daya manusia) dan keterbatasan lapangan pekerjaan di wilayah perbatasan. Kurangnya sumber daya manusia juga dipengaruhi oleh pendidikan yang sulit diperoleh di wilayah perbatasan. Hal ini diperparah oleh rendahnya kuantitas dan kualitas pendidikan di wilayah perbatasan.
- Belum memadainya sarana dan prasarana kesehatan bagi warga wilayah perbatasan.
- Transportasi dan telekomunikasi yang kurang juga mengakibatkan kebutuhan pokok masyarakat berupa makanan maupun hasil produksi masyarakat tidak dapat terdistribusi dengan baik. Padahal hasil tersebut dapat meningkatkan ekonomi wilayah perbatasan di bidang pertanian dan pangan.
- Penyediaan kebutuhan hidup (makanan dan non makanan) dari pemerintah Indonesia sangat terbatas.
- Belum optimalnya pengelolaan potensi sumber daya alam dan lingkungan, misalnya: Taman Nasional, hutan sebagai potensi ekowisata.
Sementara itu, faktor penarik konflik perbatasan Indonesia—Malaysia dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Pembangunan wilayah perbatasan Malaysia yang lebih pesat dibandingkan dengan yang terjadi di wilayah perbatasan Indonesia. Fasilitas umum di wilayah perbatasan Malaysia jauh lebih maju dan memadai.
- Fasilitas, manajemen, sarana dan prasarana PLB lebih baik daripada Indonesia.
- Pembangunan dan perekonomian di wilayah perbatasan Malaysia tidak lepas dari perekonomian Malaysia yang memang lebih maju dibandingkan Indonesia, apalagi kinerja pemerintah Indonesia di wilayah perbatasan masih dalam tahap pembangunan.
- Aksesibilitas, infrastruktur, sarana dan prasarana transportasi bagus dan memadai. Telekomunikasi di wilayah perbatasan Malaysia yang lebih memadai menjadikan masyarakat di wilayah perbatasan Indonesia lebih banyak menggunakan alat komunikasi dari Malaysia. Tidak hanya itu, tontonan masyarakat perbatasan Indonesia lebih banyak melihat siaran televisi dari Malaysia yang cenderung memperlihatkan kesohoran negara tetangga.
- Alat transportasi daerah perbatasan Malaysia yang banyak dan mudah diakses untuk mencapai daerah perkotaan dibandingkan akses ke daerah perkotaan di wilayah perbatasan Indonesia. Akses ke perkotaan yang susah inilah yang akhirnya membuat masyarakat di wilayah perbatasan Indonesia lebih memilih beraktivitas dan melancong ke Malaysia.
- Sarana prasarana serta kualitas pendidikan dan kesehatan yang lebih memadai di wilayah perbatasan Malaysia dibandingkan dengan yang miliki Indonesia di wilayah perbatasan. Hal ini menjadi faktor penarik bagi anak-anak di wilayah perbatasan untuk menuntut ilmu di Malaysia dan mendapat pembelajaran dari kurikulum Malaysia.
- Wilayah perbatasan Malaysia lebih menjanjikan dengan penyediaan kebutuhan makanan dan non makanan dibandingkan penyediaan dari pemerintah Indonesia yang sangat minim. Tidak mengherankan jika masyarakat di wilayah perbatasan lebih memilih mencari pemenuhan kebutuhan hidup dari Malaysia.
- Propaganda yang terselubung dengan menghembuskan isu bahwa masyarakat perbatasan Indonesia dan Malaysia memiliki kesamaan rumpun suku bangsa. Hal ini akan memperlemah nasionalisme rakyat Indonesia di wilayah perbatasan dan menjadi ancaman strategis dalam rangka pertahanan nasional Indonesia.
- Standar pendapatan dan tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan Malaysia yang lebih baik dibandingkan Indonesia. Oleh karena itu, masyarakat di wilayah perbatasan Indonesia banyak yang memilih mencari nafkah di negara tetangga dan kurang peduli dengan kemajuan di wilayah perbatasan negeri sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar