Transcend Approach by Johan Galtung

Peace by Peaceful Conflict Transformation 
the TRANSCEND Approach 
Johan Galtung 

Dalam memandang model hubungan antara konflik, kekerasan dan perdamaian. Terdapat hal baru di dalamnya, yaitu (a) Pertama, fokus dari pendekatan ini adalah masalah perdamaian, hubungan antar pihak-pihak berkonflik bukan kepada aspek keamanan; (b) perdamaian bergantung pada transformasi hubungan antar pihak-pihak berkonflik, yang bersifat positif,  dan kekerasan merupakan tidak adanya transformasi pada konflik; (c) dalam proses transformasi konflik, diperlukan transcendence yang melampaui tujuan pihak-pihak berkonflik sehingga tercipta realitas baru; (d) pendekatan transcend tidak seperti mediasi dan negosiasi klasik, pada pendekatan ini lebih menekankan pada dialog mendalam tiap-tiap pihak berkonflik agar terciptalah realitas baru, setelah melakukan dialog mendalam ini baru akan dilakukan mediasi dan negosiasi; (e) pendekatan ini bersifat holistik dengan proses yang dinamis antara konflik dan perdamaian. Aplikasi pendekatan ini dapat berjalan dengan dukungan dari wawasan masa lalu dan mengkaji masa depan dengan spektrum yang luas sehingga analisa dapat dilakukan secara menyeluruh, melalui studi perdamaian dan konflik dimana studi ini harus memiliki pijakan.
Terdapat beberapa hal yang melatarbelakangi munculnya tujuan dari pihak-pihak tertentu. (a) Nature, hal in berada pada diri manusia dan di sekitar manusia; (b) culturel, di dalam diri kita yang berupa nilai dan norma; (c) structure, di sekitar manusia sebagai bentuk institusionalisasi baik dan buruk, serta sanksi.
Berikut ini adalah ringkasan dari pendapat Marx: (a) Ada beberapa aktor kolektif seperti gender, generasi, ras, dan kelas. Selain itu ada Negara, regional, peradaban, dan bangsa. (b) Setiap aktor mempunyai tujuan yang berdasarkan dari nilai kultur , nilai dasar pribadi, dan kepentingan dari struktur. (c) Tujuan dapat berjalan beriringan secara positif (harmonis , kompatibel), negatif (tidak harmonis, tidak kompatibel), atau tidak berjalan beriringan sama sekali, jika dalam proses pencapaian tujuannya produktif, tidak produktif atau tujuan yang akan dicapai berbeda. (d) Selaras dalam berbagai tujuan memberikan potensi dalam positive peace, sedangkan tujuan yang tidak harmonis dan tidak kompatibel menunjukan ada nya konflik. (e) Ketika terjadi konflik, sangat mungkin terjadi keputusasaan dalam pencapaian tujuan bersama. (f) Bila terjadi keputusasaan, sangat mungkin terjadi nya polarisasi. (g) Bila terjadi polarisasi, sangat mungkin terjadi hal hal yang tidak berprikemanusiaan. (h) Bila terjadi hal hal yang tidak berprikemanusiaan, frustasi yang terjadi dapat transformasi menjadi agresi. (i) Bila ada kebencian, kekerasan akan terjadi sehingga menimbulkan korban trauma. (j) Bila ada trauma, maka sangat mungkin dendam terjadi yang akan mengakar dalam kultur, dan nilai dalam struktur.

Pada tabel 2.1 dipaparkan bahwa baris satu hingga baris empat merupakan aspek-aspek penyebab konflik yang tidak dapat diganggu gugat seperti kesehatan identitas, dan kebebasan. Dimana aspek-aspek tersebut akan menimbulkan masalah mendasar yang sangat sensitif. Pada baris lima hingga baris sembilan merupakan aspek prognosis. Pada kolom pertama aspek ini sangat disukai agamawan dan psikolog sedangkan kolom kedua sangat disukai oleh sosiolog, antropolog, politikus dan ekonom. Pada kolom keempat merupakan kolom mengenai terapi apa yang dilakukan bagi aktor-aktor yang terlibat di dalam konflik.
Pendekatan Transcend dilihat secara vertikal dan horizontal. Umumnya kombinasi culturel  yang tidak baik, jika tujuan perdamaian tranformasi konflik meliputi sebagai berikut: (1) Pandangan kontradiksi sebagai sesuatu yang absolut, tujuan ini atau tujuan itu; (2) Fokus dari beberapa aktor, tujuan dan pendekatan deduktif; (3) Memproyeksikan diri sendiri sebagai yang paling benar dan pihak lain yang terburuk; (4) Menganggap sesorang yang berjuang demi kelompok sebagai seorang pahlawan; (5) Memandang pihak lain merupakan yang terburuk; (5) Memandang dunia secara dualistik, kita vs mereka. Sebaliknya, kombinasi culturel terbaik dalam mewujudkan perdamaian ialah: (1) Melihat adanya kontradiksi sebagai sesuatu yang saling berkaitan dan tak bisa terpisahkan, seperti yin dan yang; (2) Pandangan holistik dan dialetik dari formasi konflik; (3) Peradaban tanpa kejahatan; (4) Peradaban melalui transformasi konflik oleh warga yang sama; (5) Peradaban yang memandang seluruh manusia adalah kehidupannya juga.
Konsep mengenai konflik dan model keamanan yang utama. Intepretasi konflik yang berfokus pada sikap, perilaku, kontradiksi, batin, dan ekspresi apakah mengarah kepada kekerasan yang berdampak pada penderitaan. Pendekatan Anglo-oriented merupakan pendekatan utama Amerika dalam memandang konflik dan kekerasan, perdamaian dapat terbentuk dengan tidak adanya kekerasan, namun hal ini dipertanyakan apakah perdamaian terjadi apabila sebelumnya terjadi kekerasan. Kekerasan harus dikendalikan untuk memulihkan hukum, ketertiban serta mengurangi penderitaan, sehingga muncul dua pendekatan keamandan dan pendekatan perdamaian dalam mengatasi kekerasan.

Pendekatan perdamaian memiliki empat komponen dasar, (a) Konflik, yang tidak terselesaikan atau berubah; (b) kemungkinan bahaya kekerasan untuk menyelesaikan konflik; (c) transformasi konflik, empati, resolusi yang kreatif tanpa kekerasan; (d) menciptakan perdamaian, yang merupakan cara terbaik untuk keamanan. Konflik di antara pendekatan ini sendiri dapat diselesaikan dengan soft peacekeeping gabungan antara soft power dengan mediasi. Perdamaian dengan lingkup yang luas, dengan senjata yang cenderung bertahan, dengan 50 % perempuan terlibat di dalamnya dan dilakukan pelatihan dalam metode non kekerasan. Dalam sistem negara klasik terdapat beberapa tahapan yang dipakai dalam peace process, yaitu military intervention dengan ceasefire dan peacekeeping, diplomasi depolarisasi, perhatian terhadap pengendalian amarah, dan resolusi konflik. Terdapat dua tahap yang seharusnya juga terdapat dalam proses terciptanya perdamaian yaitu konsiliasi untuk mengobati trauma serta pembentukan siklus perdamaian. 

Terdapat tujuh tahapan dari sembilan tahapan yang harus difokuskan, dalam mempelajari proses perdamaian dimana pendekatan Transcend tidak dapat terlepas. (a) Peace Culture, menekankan bahwa keadaan bawah sadar manusia dalam hal kebudayaan terkadang membawa aspek kekerasan sehingga perlu dimunculkan unsur-unsur perdamaian yang ada dalam alam bawah sadar dan menolak unsur kekerasan di dalamnya. (b) Peace structure, menekankan pada penciptaan struktur yang baik sehingga berdampak pada aspek keadilan, kesetaraan dan timbal balik, diharapkan bahwa aspek-aspek ini akan menciptakan perdamaian tanpa melalui cara kekerasan. Tahap awal yang perlu dilakukan redefinisi keadilan itu sendiri serta keterlibatan LSM di dalam penciptaan perdamaian serta menegakkan aspek-aspek kesetaraan dan keadilan dalam masyarakat. (c) mediasi, berada pada ranah kognitif, dimana perbedaan tujuan antara aktor serta sikap yang condong pada kebencian menyebabkan proses mediasi menjadi cukup ‘alot’. Cara efisien dalam menyelesaikan konflik dalam mediasi adalah melunakkan kepentingan masing-masing pihak sehingga terciptalah resolusi yang mengakomodasi kedua pihak. Dalam proses ini mediator dituntut memiliki kreativitas sehingga muncul solusi yang mencairkan kebekuan pihak-pihak berkonflik. (d) Peacebuilding, berusaha untuk menghilangkan polarisasi yang ada di antara kedua belah pihak dan membangun aspek humanis. Penekanan pada pembangunan hubungan sipil positif baik secara emosional dan kognitif yang menekankan pada pola pikir yang membuka inner space seseorang. (e) Non violence, kekerasan akan selalu menciptakan kekerasan sehingga dikatakan bahwa peace is the road. (f) Conciliation, menekankan pada permasalahan emosional yang timbul dari adanya konflik. Dengan konsiliasi diharapkan dapat menyembuhkan luka batin serta trauma aktor-aktor yang terlibat di dalamnya. (g) Creating virtous cycles, langkah yang dilakukan adalah mengeliminasi kekerasan-kekerasan langsung yang dilakukan serta pembangunan dalam aspek strukturan dan kultural.

Research, needs-rights-dignity, goal restraint and anger transformation, membuka ruang baru untuk melakukan aksi damai dikarenakan kekerasan merupakan penghinaan terhadap kelangsungan hidup dan perdamaian, pencegahan konflik dapat dilakukan dengan pengendalian amarah terapi untuk memperbaiki keadaan korban, sehingga tujuan akhir adalah terciptanya harmonisasi di dalam masyarakat.

0 komentar:

Posting Komentar