Pemimpin di Indonesia Menurut Teori Hofstede

Indonesia Maju, 
Jika Pemimpinnya Tegas, Keras, Peduli Rakyat dan Tidak Korup,
Benarkah Demikian?
R.B.E. Agung Nugroho
 
Ada pendapat yang menyatakan bahwa agar bisa maju, Indonesia membutuhkan pemimpin yang tegas dan keras, tetapi mementingkan rakyat banyak, serta tidak korupsi. Justifikasi pendapat ini mengutip hasil penelitian Hofstede (1980) dan Trompenaars & Turner (1997) yang mengelompokkan negara-negara Asia pada kategori tertentu, lalu mencontohkan negara-negara Macan Asia (Korea Selatan, Singapura, Taiwan) yang dipimpin orang-orang otoriter, tetapi tidak mementingkan diri sendiri.

Menurut Hofstede (Sage, 1980), negara-negara Asia termasuk jenis masyarakat kolektivisme (colectivism), yakni nilai individualismenya rendah (low individualism). Namun, diantara negara-negara Asia seperti Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan (Macan Asia) nilai individualismenya lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Aspek budaya individualisme vs kolektivisme ini mempengaruhi kepemimpinan (leadership). Pemimpin yang lebih tinggi nilai individualismenya akan cenderung bergaya kepemimpinan transaksional, dan yang lebih rendah akan bergaya transformasional.

Budaya kolektif (We-oriented) lebih cenderung berorientasi pada masa lalu (past orientation), yakni berpikir sinkronis (siklis dan berulang) dan akan menilai orang secara istimewa. Ia akan berusaha mengulang kejayaan masa lalu (recreate golde age), tetapi sekaligus punya kesadaran kolektif (We-conscious) yang kuat dan akan berusaha memenuhi kewajiban pada kelompok daripada diri sendiri. Pengelompokkan Hofstede terkait orientasi jangka panjang (long term orientation), menempatkan bangsa Asia pada high level. Orang Asia akan cenderung bekerja keras demi kontinuitas jangka panjang, pola relasinya berdasarkan status sosial, adaptasi menjadi penting (Bond’s Survey, 1987).

Menurut Trompenaars & Turner (2007), masyarakat kolektif seperti Asia masuk dalam kategori partikularis (people-based). Cirinya ialah basis peran sosial sangat kuat, lebih menekankan intuisi daripada aturan (Buchtel, 1999). Dalam kelompok partikularis ini, Indonesia punya nilai universalisme yang lebih tinggi dibandingkan Korea Selatan (Trompenaars & Turner, 2007:35). Ternyata, Indonesia lebih berbasis aturan daripada peran sosial, dan lebih memilih aturan/rasional daripada relasi/intuisi dibandingkan Korea Selatan.

Dengan penjelasan di atas, jika Indonesia ingin lebih maju, memang harus mencontoh Korea Selatan, Taiwan dan Singapura. Sebagai bangsa Asia, sistem pembelajaran budayanya berorientasi pada nilai sosial (kolektivisme) dan biasa tumbuh dalam pendidikan yang otoriter. Maka kemungkinan Indonesia untuk dapat maju sebagai Macan Asia pun terbuka lebar.

0 komentar:

Posting Komentar