Dimensi Budaya Trompenaars & Turner

Tujuh Dimensi Budaya
Menurut Trompenaars & Turner
 
R.B.E. Agung Nugroho

Menurut Trompenaars & Turner (1997), ada tujuh dimensi budaya yang dapat menjelaskan tindakan Kastaf Pasukan PBB asal Inggris, yang melanggar aturan –yakni mengizinkan Kolonel menemuinya meskipun namanya tidak ada dalam buku tamu dan memarahi Danki asal Indonesia yang mengerjakan sesuai aturan. Pertama, padahal dalam dimensi universalism vs particularism, orang Inggris jauh lebih taat aturan dari orang Indonesia. Namun, karena ada pertimbangan akan terjadi masalah diplomatis, Kastaf Inggris ini memilih strategi untuk menjelaskan keputusan yang diambil kepada orang lain dengan mendasarkan diri pada aturan kepangkatan dalam militer. Dalam prinsip universalism, Kastaf Inggris ini konsisten juga dalam jalur komando. Ia berusaha menjelaskan keputusannya dengan mengkaitkan tugasnya dengan kepercayaan yang ia yakini, bahwa mungkin muncul masalah diplomatis jika tidak menerima si Kolonel.

Dimensi budaya kedua adalah specific vs diffuse. Kastaf Inggris itu mampu membedakan relasi pribadi dengan kerja profesional. Ia tidak peduli keputusannya memarahi si Danki asal Indonesia akan merusak relasi personalnya, karena tidak akan berpengaruh pada hubungan kerjanya. Prinsip spesifik menjelaskan orang Inggris yang dapat langsung mengeluarkan pendapatnya (direct and to the point). Ia berfokus pada tujuannya terkait potensi masalah diplomatis daripada memikirkan relasi pribadi dengan Danki yang ia marahi.

Ketiga adalah neutral vs emotional. Kastaf Inggris tergolong sebagai kategori netral yang mampu mengelola emosinya, sekaligus rasionalitasnya lebih dominan mempengaruhi tindakan daripada perasaannya. Ia mengutamakan pertimbangan rasional daripada perasaan, sehingga ia pun mau menerima Kolonel (pangkat yang lebih rendah dan ingin bertemu tanpa mengikuti prosedur) dengan pertimbangan urgensi dan kepentingan diplomasi yang lebih besar. Dalam dimensi ini, Kastaf Inggris sangat stick to the point.

Keempat adalah achievement vs ascription. Orang Inggris melihat status orang dari pencapaian yang ia lakukan (achievement). Kastaf Inggris menghargai si Kolonel bukan karena kepangkatannya, tetapi secara fungsional ia menjadi kunci potensi masalah diplomatis jika tidak diterima.

Kelima adalah sequential time vs synchronous time. Kastaf Inggris termasuk masyarakat yang biasa berfokus pada satu proyek, perencanaan, dan target. Tidak heran jika ia memperjuangkan satu proyek yang dianggap prioritas, yakni menyikapi potensi masalah diplomasi. 

Keenam adalah internal direction vs outer direction. Tipe internal direction orang Inggris sangat yakin bahwa kontrol mereka atas lingkungan begitu dominan. Kontrol ini bertujuan untuk mencapai apa yang diharapkan. Oleh karena itu, mereka menganggap konflik sebagai hal yang wajar dan konstruktif, menyikapinya secara terbuka, dan siap menghadapinya. Kastaf Inggris menunjukkan hal itu dengan menunjukkan dominasi atas lingkungan di sekitarnya sehingga si Kolonel tetap diterima, meski ia harus berkonflik dengan Danki asal Indonesia.

Ketujuh adalah dimensi individualism vs communitarianism. Sifat individualis ini membuat Kastaf Inggris berpegang pada kebebasan individunya untuk meraih tujuan, bahkan sangat percaya diri terhadap keputusan yang ia ambil. Keputusan individu harus dihargai dan diperjuangkan. Kreativitas dalam mengambil keputusan individu juga diberi tempat. Dengan demikian, meskipun tergolong taat aturan, Kastaf Inggris tergolong individualis, yang bisa memarahi Danki dan menerima si Kolonel di luar jadwal. Ia berpegang pada kebebasan individunya untuk mencapai relasi baik secara diplomatis dalam rangka menjaga stabilitas misi peacekeeping PBB. Jadi, penjelasan tujuh dimensi budaya Trompenaars & Turner (1997) justru memungkinkan Kastaf Inggris yang taat aturan, menerima Kolonel di luar jadwal, bahkan memarahi Danki asal Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar