Perubahan Sikap Melalui Persuasi
R.B.E. Agung Nugroho
Sikap dapat didefinisikan sebagai kondisi kesiapan mental dan neural, yang dibentuk berdasarkan dan melalui pengalaman, yang dapat secara dinamis mengarahkan dan mempengaruhi tanggapan-tanggapan individu terhadap berbagai macam obyek dan situasi yang terkait (Allport, 1935). Sedangkan menurut Krech & Crutchfield (1948), sikap merupakan suatu pengorganisasian yang berlangsung dalam waktu yang relatif lama dari proses motivasi, persepsi, dan kognitif, yang bersifat menetap pada diri individu yang terkait dengan semua aspek kehidupannya. Dengan kata lain, sikap adalah kondisi perasaan, pikiran, dan kecenderungan yang relatif permanen dalam individu, yang muncul berdasarkan pengalaman dalam bentuk kecondongan evaluatif, dan berpengaruh pada tanggapan terhadap semua aspek, obyek, dan situasi lingkungannya.
Sifat ini dapat diubah melalui interaksi antarindividu dan individu dengan lingkungan sosialnya (Bohner & Schwarz, 2001). Salah satu langkah atau metode yang dapat mengubah sikap adalah persuasi. Menurut Perloff (2003), persuasi merupakan suatu proses simbolik, di mana seseorang berusaha untuk meyakinkan orang lain, dengan tujuan untuk mengubah sikapnya yang menyangkut suatu hal, yang disampaikan melalui suatu cara tertentu dan membiarkan orang lain mengambil keputusan untuk bebas memilih.
Dalam pendekatan persuasi, dikenal dua model pendekatan yang mendasarkan diri pada usaha kognitif (cognitive effort), yaitu low cognitive effort dan high cognitive effort. Persuasi yang tidak menggunakan usaha kognitif yang besar dikategorikan dalam low cognitive effort; dan sebaliknya yang dengan usaha kognitif besar disebut high cognitive effort.
Dalam kasus tokoh diskriminatif yang berpendidikan tidak terlalu tinggi, tetapi kharismatis dan sedang berkonflik etno-religious, dapat ditempuh jalan untuk mengubah sikapnya dengan pendekatan low cognitive effort. Pasalnya, pendekatan ini tidak memerlukan usaha kognitif yang besar. Langkah yang dapat diambil adalah –pertama– classical conditioning, mengkondisikan agar yang dianggap musuh dan yang dibenci pelan-pelan berubah menjadi teman. Kondisi ini dapat dilakukan dengan cara menjalin hubungan yang baik, memberikan bantuan pada warganya dengan bakti sosial, dll, sambil memberikan pengertian tentang nilai-nilai persaudaraan. Model ini mengacu pada penelitian Anjing Pavlov dan Skinner Pigeon, yang menggarisbawahi salah satu pengaruh yang dapat mengubah sikap, yaitu aspek budaya. Skinner menekankan pengaruh lingkungan budaya dalam membentuk kepribadian seseorang.
Kedua, dapat ditempuh cara operant conditioning, yakni dengan sistem reward and punishment. Model ini dapat diimplementasikan dalam bentuk “kooptasi”, yaitu pemberian fasilitas, status, ketenaran, dll supaya dapat mengubah sikapnya terhadap kelompok yang dibenci. Namun, jika sikapnya tetap tidak berubah, segala bentuk pemberian tersebut harus diambil.
Ketiga, kita dapat menggunakan metode feelings and subjective experiences as sources of attitudes. Model ini menggunakan pendekatan personal kepada tokoh masyarakat itu. Relasi yang terbangun diharapkan mampu mempengaruhi emosionalnya menjadi positif dan memiliki mood yang bagus. Dengan demikian, ketika emosinya positif dan moodnya bagus, diharapkan sikapnya pun menjadi positif terhadap kelompok lain yang selama ini ia anggap musuh.
Keempat, dapat juga memakai heuristic processing. Model ini menggunakan potensi dan kekuatan (power) yang lebih besar dibandingkan yang dimiliki oleh tokoh masyarakat tersebut. Kekuatan itu kita pakai sebagai jalan untuk mempersuasi dia –tetapi tetap mempertahankan sifat persuasif dalam proses tersebut. Harapannya, dengan pendekatan top-down seperti ini, tokoh masyarakat itu bisa berubah.
Empat langkah itu diharapkan berdampak luas karena tokoh ini merupakan tokoh kharismatis yang memiliki banyak massa, sehingga terjadi perubahan sosial lebih baik.
0 komentar:
Posting Komentar