Keterkaitan antara
Kecerdasan Emosional (EQ), Kecerdasan Budaya (CQ),
Kecerdasan Sosial (SQ), dan Kecerdasan Intelektual (IQ)
R.B.E. Agung Nugroho
Kasus profesor alumnus Universitas AS kesohor yang mencaki-maki suku/agama lain dalam acara live di TV merupakan fenomena kurangnya kompetensi si profesor dari segi kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan budaya (CQ), dan kecerdasan sosial (SQ). Meskipun memiliki kecerdasan intelektual (IQ) tinggi, tiga kecerdasan lain seperti tersebut di atas tidak dimiliki si profesor.
Menurut Crowne (2009), kecerdasan sosial (SQ) merupakan suatu kemampuan untuk melakukan kegiatan-kegiatan interpersonal dan untuk mengambil sikap bijaksana dalam berelasi dengan orang lain. Dengan kata lain, SQ adalah sebuah kemampuan untuk memahami dan untuk mengelola hubungan harmonis dengan orang lain. Kecerdasan sosial memuat tiga hal, yakni pemahaman sosial, ingatan sosial, dan pengetahuan sosial (Weis & Süß, 2007). Kecerdasan sosial ini sebenarnya memuat dua komponen kecerdasan yang lain, yakni kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan budaya (CQ). Sedangkan kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi tidak menjamin kecerdasan EQ, CQ, dan SQ juga tinggi.
Kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan budaya (CQ) merupakan bagian dari kecerdasan sosial (SQ). Bedanya, EQ berfokus pada hal-hal yang terkait dengan emosional, sementara CQ berfokus pada hal-hal dalam budaya dan konteks lintas budaya. Oleh karena itu, kemampuan dalam EQ maupun CQ merupakan unsur kemampuan dalam SQ. Tiga kecerdasan inilah yang derajatnya sangat rendah dalam diri si profesor.
Pertama, profesor memiliki kompetensi EQ yang rendah, sebab meluapkan rasa permusuhan dengan mencaci-maki orang lain di depan umum. Dia tidak punya sensibilitas dalam berhubungan dengan orang lain dengan mengelola kondisi emosionalnya.
Kedua, profesor tidak punya kompetensi CQ karena secara terbuka dia merendahkan dan mendiskreditkan suku/agama lain dan menganggapnya sebagai musuh. Kemampuan relasi dalam konteks lintas budaya –dalam hal ini suku dan agama– tidak tercermin sama sekali.
Ketiga, karena dua kompetensi kecerdasan, baik EQ maupun CQ sangat lemah, profesor ini dapat dikatakan memiliki SQ sangat rendah. Pasalnya, EQ dan CQ merupakan unsur pembentuk SQ.
Tiga kecerdasan yang kurang dalam diri profesor itu dapat ditingkatkan dan sikapnya dapat diubah dengan cara persuasi menggunakan model high cognitive effort. Model ini digunakan untuk mempersuasi orang-orang dengan tingkat kecerdasan intelektual tinggi seperti profesor tersebut. Tingkat IQ tinggi ini terbukti dengan title profesor alumnus Universitas terkenal di AS. Untuk mengubah sikap profesor, digunakan metode message learning approach. Kita mengirimkan pesan kepada si profesor dengan mempertimbangkan karakteristik, status, dan posisi si profesor sebagai akademisi dengan IQ tinggi. Tujuannya, pesan itu sungguh diterima, dia mau memberi perhatian pada persuasi kita, dan mau memahami pesannya. Tentu saja dengan pendekatan ilmiah karena latar belakang pendidikannya tinggi. Oleh karena itu, persuasi itu harus berbobot secara akademis dan menggunakan rujukan ahli di bidang tertentu agar tujuan kita diterima. Perlu diperhatikan juga struktur dan model persuasi menentukan keberhasilannya, baik lisan (dialog) maupun tulisan.
Selain itu, kita juga bisa menempuh model active thought, yang mengajak dan memancing si profesor untuk aktif berpikir tentang pesan persuasif yang kita sampaikan. Model ini dapat menggunakan cara role-playing, yaitu mengajak profesor itu berpikir: “Seandainya dia menjadi orang-orang lain yang ia musuhi, yang ia caci-maki, yang ia jelek-jelekkan, dan ia diskreditkan, kira-kira bagaimana perasaannya menerima semua tumpahan emosi negatif itu?” Dapat juga ditempuh cara yang sangat halus, yaitu tanpa harus memberinya peringatan ketika si profesor menumpahkan rasa bencinya. Kita tetap bersikap baik agar dia tidak semakin ekstrim dan kontra dengan pemikiran yang berbeda.