Penjelasan A Tit for Tat Strategy dan
Contoh dalam Konteks Konflik di Indonesia
R.B.E. Agung Nugroho
A Tit for Tat Strategy merupakan suatu strategi dalam Teori Permainan (Kompetitif) untuk mengkondisikan suatu relasi timbal balik antara dua pihak, yang mengarahkan pada suatu hubungan kerjasama. Dengan demikian, setiap tindakan yang dilakukan oleh suatu pihak merupakan bentuk respon atau tanggapan dari pihak yang lain, berdasarkan hubungan sebab-akibat (kausalitas). Jika salah satu melakukan kecurangan, pengkhianatan, dan tindakan lain yang merusak hubungan kerjasama, pihak yang lain akan berusaha membalasnya. Aksi balas-membalas akibat suatu pengkhianatan tersebut terus berulang hingga seolah-olah muncullah “titik jenuh” yang berupa kesadaran baru bahwa aksi balas-membalas hal yang negatif itu justru merugikan daripada relasi kerjasama.
Ketika ada kesadaran baru tersebut, strategi Tit for Tat dirasa efektif untuk mengkondisikan suatu hubungan kerjasama, meskipun bersyarat, seperti membatasi gerak pihak-pihak yang terlibat dengan aturan-aturan bersama yang membutuhkan komitmen berbasis pandangan futuristik daripada berorientasi pada masa lalu. Strategi ini secara persuasif menyadarkan akan keuntungan kerjasama di masa depan, kerugian akibat konflik dengan balas-membalas, dan mengejar usaha agar dapat win-win solution. Artinya, pihak-pihak yang terlibat harus mampu mengatasi “present dillema”, yakni kehadirannya merupakan representasi kesadaran baru yang berorientasi pada masa depan, dan mengabaikan pengalaman-pengalaman buruk di masa lalu untuk menghentikan “lingkaran setan” aksi balas-membalas di antara mereka.
Contoh kasus nasional dalam konteks Indonesia ialah resolusi konflik Aceh. Selama sekian dekade, terjadi konflik bersenjata yang berbau separatisme. Sudah sekian kali diadakan perjanjian damai antara pemerintah Indonesia dan kelompok GAM di Aceh. Namun, sekian kali juga, dalam perjalanan waktu, perjanjian demi perjanjian yang disepakati bersama dilanggar. Bahkan, perlakuan pemerintah Indonesia terhadap GAM sudah sampai pada penetapan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Keadaan ini akhirnya berujung pada perjanjian damai Helsinski, yang memulihkan hubungan kedua pihak menjadi lebih baik hingga sekarang.
Terlepas dari ekses tsunami yang memporak-porandakan dan melemahkan kekuatan GAM dan banyak pula dari pihak Indonesia yang meninggal, perjanjian Helsinski menjadi titik terlampauinya “present dillema” kedua belah pihak. Terlepas dari adanya titik jenuh dan “efek lelah” dari konflik yang sekian lama berlangsung, dua belah pihak tentu menyadari keuntungan dan kerugian akibat keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan yang telah, sedang, dan akan mereka ambil. Oleh karena itu, hubungan kerjasama menjadi pilihan yang paling efektif dan menguntungkan untuk menyikapi kondisi terkini akibat konflik berkepanjangan saat itu. Akan tetapi, perlu diingat bahwa menurut teori ini, pengkhianatan terhadap perjanjian seperti berpotensi dilanggar dan siklus aksi balas-membalas akan terjadi lagi. Yang dibutuhkan ialah penjagaan komitmen dan perlakuan yang saling menguntungkan sehingga perjanjian dan kerjasama baik tetap terjaga.
Sementara untuk konflik berskala lokal yang dapat secara jelas menjelaskan teori ini adalah “perseteruan bebuyutan” antara warga Berlan, Kebon Manggis dengan warga Palmeriam, Kayu Manis dan Tegalan. Tempat tinggal mereka hanya terpisahkan oleh Jalan Matraman Raya, Jakarta Timur. Berlan terletak di sebelah Barat, sementara Palmeriam berada di sebelah Timur.
Sudah bertahun-tahun, sejak tahun 1970-an, mereka selalu saling menyerang satu sama lain. Setiap tahun, tawuran antara dua kubu ini seolah menjadi ritual wajib, karena pasti terjadi –minimal setahun sekali. Pelbagai upaya damai, perjanjian, kerjasama, dll yang berupaya untuk merujukkan kedua kubu ini telah dilakukan. Banyak korban yang telah tewas, luka, dan kerusakan serta kerugian material dialami kedua kubu. Namun, hingga sekarang “perseteruan bebuyutan” itu tetap berlangsung. Meskipun separator Jalan Matraman Raya telah ditinggikan pada awal tahun 2000-an, “budaya” tawuran itu tetap berlangsung. Sekecil apapun pemicunya, perjanjian damai yang sudah disepakati, dengan begitu mudahnya dilanggar. Hingga kini, fase aksi balas-membalas dalam teori Tit for Tat masih terus berlangsung, karena belum muncul kesadaran baru yang mampu merekatkan relasi kerjasama di antara kedua belah pihak. Konflik Berlan-Palmeriam ini dapat menjadi cermin bagaimana kasus Aceh juga dapat sewaktu-waktu meletup kembali.
0 komentar:
Posting Komentar