Typology of Violence Kasus Tanjung Jabung

Typology of Violence 
“Konflik Lahan di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi” 
dari Perspektif Peta Konseptual 
Toh Swee-Hin dan Virginia Cawagas

R.B.E. Agung Nugroho

Menurut Toh Swee-Hin dan Virginia Cawagas, suatu konflik dapat dikategorikan menjadi empat level berdasarkan skala ruang lingkupnya, yakni konflik individu (personal), konflik antarkelompok (interpersonal community), konflik nasional, dan konflik global. Selain kategori berdasarkan skala ruang lingkup tersebut, konflik juga dapat dijelaskan dengan menjelaskan bentuk-bentuk kekerasannya (form of violence). Bentuk kekerasan ini juga terbagi menjadi empat bagian, yakni kekerasan fisik atau langsung, kekerasan struktural, ekonomi dan politik, kekerasa sosio-kultural atau psikologis, dan kekerasan ekologis.

Dalam kasus “Konflik Lahan di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi”, konflik ini termasuk dalam kategori konflik antarkelompok (interpersonal community). Konflik antarkelompok ini melibatkan dua kelompok dalam masyarakat, yaitu warga dari 5 Desa di Kecamatan Merlung, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi (Desa Merlung, Pulau Pauh, Rantau Benar, Sungai Terap, dan Penyabungan) dengan PT Inti Indo Sawit (IIS).

Sementara itu, konflik ini merepresentasikan bentuk kekerasan (form of violence) secara langsung, kekerasan struktural –baik ekonomis maupun politis– dan kekerasan sosio-kultural atau psikologis, serta kekerasan ekologis. Pertama, bentuk kekerasan langsung terjadi ketika pendudukan lahan oleh warga dari 5 Desa. Meskipun tidak menimbulkan gesesan atau bentrokan secara fisik antara kedua belah pihak yang bersengketa, pendudukan lahan sudah mencerminkan aktivitas kekerasan secara langsung terhadap pihak lain dalam bentuk penguasaan hak milik yang dapat digolongkan sebagai kekerasan kriminal (violent crime).

Kedua, kekerasan struktural terjadi dalam bentuk kekerasan dalam aspek ekonomidan politik. Alasan warga menduduki lahan karena kompensasi atas ganti rugi lahan pada tahun 2012 dinilai tidak merata. Ketimpangan di tingkat lokal (local inequalities) ini menjadi bentuk kekerasan struktural, dan warga yang dirugikan atas nilai ganti rugi lahan yang tidak merata merupakan bentuk kekerasan struktural secara ekonomis. Dengan kata lain, warga mengalami kerugian finansial yang dalam jangka panjang bisa berpengaruh pada stabilitas ekonomi 5 Desa tersebut. Sedangkan kekerasan secara politis terjadi ketika warga tidak dilibatkan dalam perjanjian antara PT Inti Indo Sawit dengan Pemerintah Kabupaten yang diwakili oleh Wakil Bupati. Kesenjangan atau keterbatasan akses pada kebijakan dan pengambilan keputusan yang melibatkan hajat hidup suatu kelompok tertentu, menunjukkan suatu bentuk kekerasan secara politis. Hak-hak politik untuk berpendapat dan mengeluarkan aspirasi sebagai warga negara yang terkait kepentingannya dikebiri.

Ketiga, kekerasan psikologis atau sosio-kultural terlihat dari motif warga menduduki lahan tersebut. Klimaks kekesalan warga menunjukkan bahwa mereka sudah mengalami dominasi dari pihak PT Inti Indo Sawit. Dominasi ini berupa kompensasi atas ganti rugi lahan yang tidak merata, yakni dominasi nilai-nilai positif dari perusahaan atas warga. Kekesalan itu sebenarnya merepresentasikan prasangka (prejudice) dan pandangan negatif terhadap pihak lain (enemy images). Kekerasan ini dapat menimbulkan konflik kekerasan yang lebih besar karena sudah menciptakan enemy images secara kolektif.

Keempat, kekerasan ekologis berpontesi muncul ketika warga memaksa untuk panen raya. Panen tanpa kontrol dan eksploitasi lahan tanpa pemeliharaan hanya akan membuat tanah semakin mandul (tidak subur). Konsumsi berlebih (over consumption) seperti ini juga akan mengganggu keseimbangan ekosistem yang berpengaruh pada lingkungan hidup (aspek ekologis).

0 komentar:

Posting Komentar