Kasus Boko Haram dari Perspektif Relative Deprivation Theory

Faktor Struktural Kasus Boko Haram 
Dikaitkan dengan Relative Deprivation Theory 

R.B.E. Agung Nugroho

Dasar utama Relative Deprivation Theory (RDT) terletak pada perasaan (feeling) yang dialami oleh seseorang atau suatu kelompok bahwa mereka berada dalam kondisi berkekurangan. Kerap kali, perasaan berkekurangan tersebut tidak mencerminkan kondisi yang sesungguhnya. Oleh karena itu, teori ini rentan sekali terpengaruh oleh “rasa iri” bahwa kondisi orang lain atau kelompok lain lebih baik daripada kondisi seseorang atau kelompok tertentu.

Munculnya perasaan berkekurangan tersebut menjadi akibat dari perbedaan antara harapan dengan segala sesuatu yang secara real diperoleh. Dinamika ini timbul karena adanya perbandingan sosial dengan kelompok lain. Karena pembandingan-pembandingan dengan kelompok lain ini dikaitkan dengan perilaku sosial, maka timbullah sikap permusuhan terhadap kelompok lain (outgroup hostility).

Dalam kasus Boko Haram di Nigeria, perasaan berkekurangan itu dirasakan oleh suku Hausa dan Fulani di Utara. Dua suku yang sudah memeluk Islam sejak abad X ini membandingkan kondisi mereka dengan suku Yoruba dan Igbo di Selatan yang mayoritas beragama Kristen. Suku-suku yang mayoritas Islam di Utara merasa terdiskriminasi sejak zaman kolonialisme Inggris. Suku-suku di Selatan yang mayoritas Kristen seolah mendapat angin segar dari pemerintahan kolonialisme Inggris dibandingkan dengan suku-suku yang mayoritas Islam di Utara.

Secara ekonomi, suku-suku Selatan lebih makmur karena sumber daya alam (minyak bumi) berlimpah. Sejak masa kolonial, mereka mendapatkan akses pendidikan hingga ke Inggris. Secara politik, partisipasi politik suku-suku Selatan jauh lebih maju sehingga banyak jabatan politis mereka pegang. Keadaaan suku-suku di Selatan ini diperbandingkan oleh suku-suku di Utara, dan menimbulkan suatu sikap permusuhan terhadap kelompok Selatan, bahkan sampai terjadi polarisasi antara Utara vs Selatan. Polarisasi ini didasarkan pada identifikasi kesukuan dan letak geografis berbasis agama, yakni Islam vs Kristen.

Tidak mengherankan jika rasa permusuhan ini menimbulkan sikap anti-Barat yang dibentuk dari identifikasi agama Kristen merupakan agama penjajah yang dianut oleh suku-suku di Selatan sehingga mereka bisa mendapatkan akses yang lebih baik terhadap kemajuan bergaya “Dunia Barat”. Oleh karena itu, muncullah pada tahun 2002, suatu kelompok Boko Haram, yang secara harafiah berarti “Pendidikan Barat itu Haram”, yang muncul dari fundamentalisme Islam di Maiduguri, Borno, Nigeria Utara. Pendirinya ialah Mohammed Yusuf, seorang tokoh radikal Islam dengan ideologi Jihadisme Salafi-Wahhabi dan Islam-Sunni fundamentalis (ultrakonservatif, puritan, ultrafundamentalis, ekstrimis pseudo-Sunni, anti-Barat). Nama resmi kelompok ini ialah Jama'atu Ahlis Sunna Lidda'Awati Wal-Jihad (Orang-orang yang berkomitmen pada ajaran Nabi untuk dakwah dan jihad).

Boko Haram ini awalnya merupakan hasil evolusi dari kelompok Maitatsine (pengutuk), julukan dari tokoh yang bernama Mohammed Marwa –yang mengakui dirinya Nabi. Oleh karena itu, afiliasi dengan kelompok-kelompok teroris global sangat erat untuk mengaktualisasikan rasa permusuhannya terhadap suku-suku di Selatan yang mayoritas Kristen dengan jalan kekerasan.

Faktor struktural yang berpengaruh ialah pertama, rekam historis yang sudah menjadi way of life, cara pandang dan bertindak terhadap kelompok lain. Kedua, faktor struktural itu juga terjadi ketika Boko Haram berdiri dan terorganisir secara profesional sebagai kelompok radikal Islam bersenjata. Ketiga, dukungan dan jejaring yang terjalin secara kuat antara Boko Haram dan jaringan teroris global, seperti al-Qaeda in the Islamic Maghreb (Tanẓīm al-Qā‘idah fī Bilād al-Maghrib al-Islāmī) dan Ansaru (Jamāʿatu Anṣāril Muslimīna fī Bilādis Sūdān), dll. Keempat, penetrasi mereka terhadap penerapan Hukum Syariat Islam di beberapa negara bagian (sistem Republik Federal) di Utara. Kelima, pengakuan eksistensi mereka oleh pemerintah, bahkan dunia internasional. Meskipun mereka diperangi, hal itu justru menunjukkan bahwa eksistensi mereka diakui.

Jadi, tidak dapat dipungkiri bahwa jejak historis yang terekam dalam memori kolektif suku-suku Utara dan suku-suku Selatan, serta identifikasi kesukuan berbasis agama dengan segala bias dan deprivasinya, menjadi sumber yang mendasar dari faktor struktural dalam pendekatan Relative Deprivation Theory.

0 komentar:

Posting Komentar