Menyoal Isu Agama: Kasus Ciledug

Menyoal Isu Agama tentang Kasus Ciledug
Terkait dengan Sistem Pertahanan Negara

R.B.E. Agung Nugroho

Salah satu kekuatan nasional Indonesia ialah aspek demografi penduduk. Selain menjadi kekuatan nasional, nilai surplus demografi ini memiliki potensi ancaman terhadap harmonisasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Keanekaragaman yang ada sering memunculkan sekat di antara elemen pembentuk bangsa. Salah satu isu yang tidak terlalu mencuat, tetapi selalu merecoki berpotensi menjadi ancaman Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah permasalahan agama. Kondisi ini layak mendapat perhatian seluruh warga negara demi menjaga keutuhan Indonesia.

Isu agama yang mengancam keutuhan NKRI dan dapat menjadi sarana refleksi bersama adalah kasus Ciledug yang sempat mencuat di kalangan para tokoh agama pada paruh kedua tahun 2004. Secara kronologis,* kasus ini memuat kecenderungan signifikan tentang adanya dominasi sekelompok anggota agama mayoritas (Islam) terhadap minoritas (Katolik), yang dipicu oleh sentimen-sentimen berbau SARA.** Sebenarnya, Pengurus Gereja dan Dana Papa (PGDP) Paroki St. Bernadette Ciledug sudah mendapat surat rekomendasi Kepala Desa Karang Tengah melalui Surat No.192/Pem/VII/1992, tertanggal 21 Juli 1992 dengan tembusan kepada Bupati KDH Tk.II Tangerang, Walikota Tangerang, Muspika Kecamatan Ciledug, Ketua RW dan Ketua RT di komplek Barata, Karang Tengah. 

Selang 12 tahun, tanpa dialog sebelumnya, Kepala Departemen Agama Kantor Kota Tangerang melalui Surat Kd.258.5/BA.00/248/2004 menghentikan kegiatan keagamaan dengan menggunakan Bangunan Sementara Sekolah (BSS) Sang Timur. Sebulan kemudian, Lurah setempat memberikan Surat Pencabutan Rekomendasi atas Surat Lurah tertanggal 21 Juli 1992, dengan Surat No.642/71-KRT/04, tertanggal 30 Agustus 2004. Sambil mengupayakan forum dialog dengan pejabat pemerintah, PGDP Ciledug mencari alternatif tempat untuk beribadat. 

Untuk sementara, umat Katolik Ciledug masih menggunakan BSS Sang Timur. Karena izin dan upaya dialog dari pihak PGDP tidak pernah ditanggapi oleh warga maupun pejabat pemerintahan setempat, terjadilah pelbagai aksi demonstrasi oleh Front Pemuda Islam (FPI) Karang Tengah yang berpuncak pada hari Minggu 3 Oktober 2004 pukul 06.30 WIB. Demonstrasi ini disertai tindak anarki, perobohan papan nama sekolah, pembakaran ban, ancaman pembakaran dan paksaan menghentikan kegiatan ibadat yang sedang berlangsung. Kemudian, dilanjutkan aksi penembokan dengan batako untuk menutup akses jalan masuk ke sekolah Sang Timur dan mengakibatkan sekolah itu berhenti mengadakan kegiatan belajar-mengajar selama seminggu; serta pelaksanaan ibadat dihentikan.***

Kasus Ciledug hanyalah potret kecil bagaimana Sistem Pertahanan Negara (Sishanneg) mengalami ancaman dari faktor internal, yakni disintegrasi antarelemen pembentuk NKRI. Kebungkaman negara menanggapi kasus ini sangat kelihatan, sebelum Gus Dur berinisiatif mengunjungi Sang Timur.**** Sesudahnya masih ada kasus Kranggan, GKI Jasmin, Kampung Duri, dan sebagainya. Bahkan, tragedi bom malam Natal tahun 2000 di beberapa gereja di Indonesia yang menewaskan 19 orang, masih menyisakan luka mendalam. Peristiwa serupa terus berulang dalam sejarah bangsa dan negara Indonesia.***** 

Konflik horisontal yang terjadi —meskipun bersifat lokal dalam isu agama, terutama terkait pendirian rumah ibadat— dapat menjadi casus belli konflik yang lebih besar. Hal ini disebabkan oleh mudahnya sentimen agama untuk digunakan sebagai kendaraan guna memobilisasi massa. Jika tidak ditangani secara serius, eskalasi konflik ini dapat dimanfaatkan oleh orang-orang yang picik, naif, dan punya kepentingan memecah belah —apalagi jika ditumpangi kepentingan asing.

Dengan demikian, konflik berbau agama dalam kasus Ciledug ini harus diposisikan menjadi kepentingan strategi pertahanan nasional yang bersifat mendesak karena terselenggaranya pertahanan negara untuk merespon setiap bentuk ancaman, baik yg bersifat nyata maupun potensial. Inilah usaha untuk mewujudkan satu kesatuan pertahanan untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara dan keutuhan wilayah serta keselamatan bangsa. Sasarannya ialah menghadapi ancaman nir militer terkait stabilitas nasional yang membutuhkan perhatian dan penanganan secara serius demi kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI, dan keselamatan bangsa Indonesia.

__________________
End Notes:
*) Pemetaan kronologis ini disarikan dari Surat Pengaduan Penutupan Peribadatan Umat Katolik Paroki St. Bernadette Karang Tengah, Ciledug dari Badan Pengurus Harian Forum Masyarakat Katolik Indonesia-Jakarta (BPG FMKI) dan ORMAS Katolik kepada Komisi Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM).
**) Franz Magnis-Suseno dalam Suara Pembaharuan 19/10/2004 mengatakan bahwa saat gerbang dirusak dan aksi pembakaran ban, terdengar teriakan “Kami harus memerangi orang kafir”.
***) Data: 8.975 jiwa umat Katolik Ciledug berasal dari 6 kecamatan tidak dapat menggunakan BSS sebagai sarana ibadat, dan 2.087 murid Sang Timur dan guru, termasuk 147 murid SLB tidak dapat melaksanakan kegiatan belajar-mengajar.
****) Alan Jeffrey Dompas, “Teroris itu mengatasnamakan agama” dalam Majalah HIDUP No.46 Tahun ke-58, 14 November 2004, hlm.29. Mempertanyakan apakah aksi anarkis di Ciledug itu dapat digolongkan ke dalam bentuk the act of terrorism. Argumennya adalah: dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menegaskan “Setiap orang yang dengan sengaja mengguakan kekerasan dan ancaman kekerasan menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan dan hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas public atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun.”
*****) Sebelumnya juga pernah terjadi kasus serupa yang berupa pembakaran gereja di Surabaya (Juni ‘96), Situbondo (Okt.’96), Tasikmalaya (Des.’96), Rengasdengklok (Jan.’97) dan Banjarmasin (Mei ‘97) dalam Paul Tahalele dan Thomas Santosa (Ed.),  Beginikah Kemerdekaan Kita, Surabaya: FKKI, 1997, hlm.155-168. Jadi, sejak tahun 1990 sudah lebih dari 500 gereja diserang. Bahkan di Bandung juga terjadi kasus serupa, yaitu Bupati Bandung per surat serentak menutup 12 tempat ibadat (Franz Magnis-Suseno, Tidak dapat dijerat Hukum dalam Suara Pembaharuan (19/10/2004).

0 komentar:

Posting Komentar