Membaca Fenomena Pilpres Dua Pasang Calon
dari Kacamata Social Identity Theory
R.B.E. Agung Nugroho
Pada PEMILU Presiden (Pilpres) yang baru selesai, dapat dilihat masing-masing kubu menggunakan media sosial seperti Facebook dan Twitter untuk mengidentifikasikan diri sendiri (self identification) dan pihak lain (other identification) sebagai dua kelompok yang berbeda, dikaitkan dengan berbagai isu yang dirasakan penting di tanah air, dan sepertinya manajer kampanye di kedua belah kubu merumuskan isu-isu yang sama, secara berbeda pula sesuai dengan karakteristik demografi pendukung mereka. Permasalahannya adalah jika ukurannya adalah media sosial, pendukung di tingkat akar rumput (grass root) terlihat mulai benar-benar memisahkan diri seperti meng-“unfriend” kawan lamanya ataupun mem-“block” akun rekan sekerjanya
Menurut Social Identity Theory (Tajfel & Turner, 1979), hubungan antarkelompok dalam konteks sosial yang nyata harus dipahami dengan merumuskan beberapa aspek, yakni praktik diskriminasi individu dalam kelompok, orientasi pada etnosentrisme terkait identitas sosial ingroup dan outgroup. Setiap orang memiliki kebutuhan untuk mendapatkan identitas sosial positif yang mensyaratkannya untuk menetapkan perbedaan nilai secara positif untuk kelompoknya dibandingkan dengan kelompok lain. Maka tidak mengherankan jika muncul favoristime, yang hanya mengagung-agungkan kelompoknya saja.
Identitas kelompok diidentifikasi menjadi indentitas personal sehingga jika yang diyakini atau nilai dalam kelompok berbeda dengan orang lain, maka yang lain itu akan dianggap musuh. Apalagi jika pandangan yang lain itu bertentangan dengan pandangan kelompok. Gambaran kelompok lain sebagai musuh ini menimbulkan stereotype karena berakar dari relasi permusuhan, baik verbal maupun nonverbal. Kondisi ini akan terus mengalami eskalasi jika dilakukan secara terus menerus, dengan intensitas tinggi dan banyak individu terlibat dalam pertentangan antarkelompok.
Dalam kasus Pilpres, proses interaksi sosial antara dua kubu dilakukan berdasarkan persepsi dan pemahaman tentang kubu lawan, harapan dan penerimaan atas apa yang dilakukan kubu lawan, pemahaman tentang apa yang sedang terjadi dalam kaitan dengan Pilpres dan munculnya nilai-nilai selama proses interaksi (Socio-Psychological Approach). Oleh karena itu, jika yang diterima dalam proses interaksi itu bertentangan dengan yang diyakini menjadi nilai kelompoknya dan diidentifikasi berbeda (bahkan berlawanan) dengan kelompoknya, orang lain akan langsung dikategorikan sebagai yang berbeda (musuh). Kuatnya identifikasi diri pada nilai-nilai kelompok membuat relasi yang sudah ada sebelumnya menjadi relatif. Tidak mengherankan jika seorang teman kantor memutus hubungan pertemanan di media sosial, relasi dengan teman akrab menjadi renggang, dsb.
Media sosial ini menjadi cermin identifikasi antara dua kubu dan terjadinya pertentangan diantara mereka. Dampaknya pun begitu terasa kuat dalam kehidupan bermasyarakat. Seolah anak bangsa ini mengalami polarisasi selama proses menuju Pilpres. Terjadinya polarisasi ini sangat membahayakan dalam konteks konflik. Karena pilihannya hanya dua pasang calon, polarisasi dapat memecah elemen bangsa menjadi dua kekuatan. Tanpa ada upaya untuk melakukan de-eskalasi, pertentangan ini dapat mengarah pada konflik kekerasan horisontal. Sudah terbukti bahwa jejaring sosial melalui media sosial menjadi sarana untuk mobilisasi, dalam bentuk mencari dukungan, menggerakkan massa, menjatuhkan karakter individu dan kelompok, dsb. Menanggapi hal ini, dibutuhkan usaha-usaha untuk menjembatani proses interaksi suapaya tidak mengarah pada hal-hal yang destruktif, baik kekerasan verbal-nonverbal, fisik-nonfisik, maupun kekerasan berskala besar. Identitas sosial mereka gunakan sebagai justifikasi atas sikap dan tindakan permusuhan terhadap kelompok lain, karena sikap dan tindakan mereka menjadi perjuangan untuk lebih bersatu dengan kelompoknya dan menegakkan nilai-nilai kelompok.
0 komentar:
Posting Komentar