Analisa Pengambilan Keputusan Presiden SBY
dari Perspektif Kecerdasan Budaya
dalam Konteks Kepemimpinan Indonesia
R.B.E. Agung Nugroho
Secara umum media
massa di Barat menyatakan bahwa SBY adalah presiden yang demokratis dan
berhasil menunjukkan berbagai pencapaian yang cukup baik. Namun, di Indonesia
sendiri para komentator menyatakan gaya pengambilan keputusan SBY hanya populer di
kalangan elit terdidik. Cara SBY memerintah dianggap kurang sesuai untuk membawa Indonesia menjadi bangsa
yang kompetitif dan maju, terutama jika dikaitkan dengan berbagai konflik
komunal di tanah air, yang terkesan dianggap sebagai pembiaran karena lebih
diserahkan pada proses hukum yang berlaku.
Dalam pendekatan kecerdasan budaya (CQ), ada tiga aspek yang secara unik dipengaruhi, yakni pengambilan keputusan yang dibenarkan secara kultural (CJDM = Cultural Judgement Decision Making), adaptasi budaya (cultural adaptation), dan pelaksanaan tugas (task performance). CQ ini merupakan kepribadian yang dapat dikembangkan (state-like personality), bukan kepribadian yang tidak dapat berubah (trait-like personality). Dalam kasus SBY, tiga aspek CQ (CJDM, adaptasi budaya dan pelaksanaan tugas) belum menunjukkan efektivitas kepemimpinannya sebagai presiden dalam masyarakat multibudaya di Indonesia.
CQ ini meliputi empat aspek: cognitive, metacognitive, motivational, dan behavioural. Cognitive CQ merefleksikan pengetahuan akan norma, praktik dan konsensus dari budaya yang berbeda yang diperoleh dari pengalaman pendidikan dan peribadi. Dengan demikian, harus diakui bahwa SBY masih lemah dalam hal kecerdasan budayanya. Karena jika CQ ini baik, orang akan mampu memahami persamaan dan perbedaan lintas budaya dan memiliki pengetahuan luas tentang situasi multibudaya, baik secara ekonomi, sistem hukum dan sosial dari berbagai budaya yang ada, serta memiliki wawasan berdasarkan nilai-nilai budaya tersebut. Konflik-konflik komunal di Indonesia sebenarnya merefleksikan lemahnya kecerdasan budaya sesama anak bangsa.
Selain Cognitive CQ, level kecerdasan metacognitive merujuk pada level yang lebih tinggi. Kecerdasan ini memahani dan mengetahui kondisi lintas budaya, juga dapat memprediksi apa yang akan terjadi dalam proses interaksi dengan orang dari budaya lain, baik yang akan apa dilakukan sendiri maupun memprediksi apa yang akan dilakukan oleh orang lain. Metacognitive CQ dan cognitive CQ secara positif terkait dengan efektivitas CJDM. Dalam kasus SBY, pengambilan keputusan (CJDM) yang dianggap pembiaran melalui jalur law enforcement itu sebenarnya mencerminkan level metacognitive dan cognitive CQ Sang Presiden.
Rakyat dengan tingkat CQ yang cukup tinggi pun tidak akan memahami gaya pengambilan keputusan SBY karena secara kultural, kebijakan itu tidak mencerminkan kearifan dari nilai-nilai budaya yang dianggap sangat penting oleh suatu kelompok. Tidak mengherankan jika kebijakannya hanya populer di kalangan elit terdidik. Pendekatan budaya sudah dirasa buntu sehingga diambil jalur penegakkan hukum yang di kalangan rakyat menjadi suatu bentuk pemaksaan dalam kacamata mendekati tiap konflik budaya yang ada.
0 komentar:
Posting Komentar