Peran Emosi dalam Resolusi Konflik

Apa peran emosi dalam resolusi konflik?


R.B.E. Agung Nugroho

Emosi merupakan elemen yang memiliki peran penting dalam penyelesaian konflik. Fisher dan Ury (1996) mengadopsi hydraulic theory of conflict, dengan pemahaman bahwa membangun suatu perasaan itu diperlukan dengan membentuk tekanan atau ketegangan untuk membuat relasi dan celah. Emosi dalam penyelesaian konflik terbagi menjadi dua, yakni emosi negatif dan emosi positif. Emosi negatif meliputi sikap marah, menyakiti, depresi, takut, dan sebagainya. Emosi negatif ini mampu menaikkan skala eskalasi konflik dan cenderung menimbulkan konflik baru atau konflik yang berskala lebih besar. Sedangkan emosi positif dapat memberi kontribusi untuk memperbaiki perhatian pada pihak yang terlibat konflik, bahkan dapat dijadikan solusi untuk mengontrol dan mengekspresikan berbagai respon dari pihak-pihak yang berusaha melakukan penyelesaian konflik. Oleh karena itu, pada bagian ini akan dijelaskan peran-peran emosi positif terkait dengan resolusi konflik. Adapun peran-peran emosi positif yang dimaksud adalah sebagai berikut:

Pertama, ekspresi emosi dapat digunakan untuk melihat informasi dan disposisi yang penting tentang kondisi psikologis dan batiniah pihak-pihak yang berkonflik. Emosi juga dapat membantu para pihak yang mengusahakan resolusi damai untuk memahami apa yang menjadi ketertarikan dan kepentingan pihak-pihak yang sedang berkonflik. Melalui perasaan yang baik dan emosi yang diberikan oleh salah satu pihak, pihak yang lain tidak hanya akan mendengarkan fakta-fakta yang terjadi, tetapi juga akan menangkap dan mengerti perasaan pihak lain. Ekspresi ini dapat berupa pengharapan, kepercayaan, kerelaan, keceriaan, altruisme, simpati, empati dan sebagainya yang terbentuk dalam emosi positif. Ketika merasakan emosi positif, orang akan terdorong untuk berpikir kreatif sehingga dapat diarahkan untuk mencari solusi atas konflik yang dihadapi.

Kedua, emosi positif juga mendorong orang untuk lebih terbuka, menghilangkan prasangka, dan mudah mendekatkan diri pada orang lain. Kondisi ini membuat orang lebih tenang sehingga mampu berpikir secara jernih demi kebaikan bersama dan mencari solusi atas masalah yang sedang dihadapi.

Ketiga, ketenangan hati dan kejernihan berpikir sebagai hasil dari emosi positif akan mengantarkan orang pada tingkat kesadaran yang lebih baik terhadap hal-hal yang sedang dihadapi. Kesadaran ini dapat menumbuhkan sikap bela rasa dalam dirinya, berani mengusahakan kebenaran demi relasi harmonis, meski harus menderita, dan lebih siap menanggung risiko dari keputusan-keputusan yang diambil.

Keempat, emosi positif juga dapat menciptakan kesadaran akan konflik yang sedang dihadapi, menjadi kondisi yang baik untuk mengajak pihak-pihak yang sedang bertikai dalam merefleksikan konflik yang mereka hadapi. Refleksi ini mengantarkan orang pada suatu kesadaran baru dan lebih mampu menerima keberadaan orang lain. Kesadaran baru itu misalnya jika saya melakukan ini pada situasi itu, saya dan juga orang lain akan merasakan ini dan itu. Ketika kesadaran baru itu muncul, orang akan berusaha untuk lebih berhati-hati terhadap segala sesuatu yang mereka katakan, ekspresikan, dan lakukan. Mereka akan lebih memperhatikan secara jeli apa saja yang menimbulkan hal-hal negatif terhadap dirinya, kelompoknya, dan kelompok orang lain. Bahasa yang digunakan pun akan lebih baik karena berorientasi pada penghormatan atas harkat dan martabat orang lain.

Kelima, emosi positif menjadi daya dorong untuk melakukan suatu transformasi diri dan kelompok, bahkan mengarahkan pada kesadaran akan tanggung jawab personal dan komunal. Transformasi diri dan kesadaran akan tanggung jawab ini menjadi nilai positif demi kemajuan suatu resolusi konflik.


Referensi:

Christie, D. J., Wagner, R. V., & Winter, D. A. (Eds.), 2001. Peace, Conflict, and Violence: Peace Psychology for the 21st Century. Cahpter 17 Conflict Resolution: Theoretical and Practical Issues. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall

Jett, Dennis C., 1999. Why Peacekeeping Fails. New York: St. Martin’s

Jett, Dennis C., 1999. Why Peacekeeping Fails. New York: St. Martin’s. Resensi oleh A. A. Nofi. Tersedia di: https://www.strategypage.com/bookreviews/15.asp, [Diakses 13 September 2014]

Rubinstein, Robert A., Keller, Diana M., & Scherger, Michael E., 2008. Culture an Interoperability in Integrated Missions. International Peacekeeping, Vol.15, No.4, Agustus 2008, hlm.540-555. Taylor & Francis

0 komentar:

Posting Komentar