Peran Kecerdasan Budaya dalam Misi Perdamaian

Mengapa Adaptasi Budaya Baru
Pasukan Misi Perdamaian Indonesia Cukup Bagus?

R.B.E. Agung Nugroho

Pasukan pemelihara perdamaian Indonesia terbukti memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam penugasan di negara lain yang berbeda budayanya, dibandingkan dengan pasukan dari negara yang lebih homogen, seperti misalnya pasukan perdamaian dari Yunani.

Kecerdasan Budaya (CQ) merupakan kepribadian yang dapat dikembangkan (state-like personality), bukan kepribadian yang tidak dapat berubah (trait-like personality). Level CQ pasukan perdamaian Indonesia lebih tinggi karena sudah terbiasa dengan kondisi keanekaragaman budaya di tanah air, dibandingkan Yunani yang cenderung lebih homogen.

Yunani termasuk negara dengan tingkat pencegahan akan ketidakpastian (uncertainty avoidance) paling tinggi dalam score Hofstede dibandingkan Indonesia (Hofstede, 1980). Makin tinggi tingkat uncertainty avoidance suatu bangsa, ia akan memiliki tingkat kecemasan dan stress yang tinggi, kerja keras, pengungkapan emosi dianggap biasa, konflik dilihat sebagai ancaman, memegang konsensus, taat aturan dan hukum yang kaku, serta berusaha menghindari kesalahan. Sementara itu, Indonesia masuk dalam kategori low uncertainty avoidance, dengan ciri: tingkat stress rendah, cenderung santai, bekerja dengan mengutamakan nilai, tabu mengungkapkan emosi, konflik dilihat sebagai permainan, menerima perbedaan, memiliki pertimbangan untuk mengambil risiko dan tidak takut salah, serta aturan dilihat dengan tafsiran berbagai kemungkinan.

Dalam pendekatan CQ, penjelasan Hofstede mendukung bahwa pasukan Indonesia memiliki kelenturan untuk berinteraksi dengan budaya lain yang berbeda dibandingkan pasukan Yunani. Adaptasi budaya dan kinerja pasukan Indonesia dipengaruhi oleh latar belakang dan pengalaman lintas budaya yang mencerminkan level kecerdasan budaya mereka. Inilah kemampuan individu untuk berfungsi secara efektif dalam lingkungan budaya yang beranekaragam (Ang dkk. 2006).

Pengalaman pasukan Indonesia berinteraksi dan bekerja di budaya lain dalam konteks di tanah air, secara signifikan dapat meningkatkan kemampuan dan perluasan pemahaman budaya (expanded cultural cognition). Maka, tidak mengherankan jika pasukan Indonesia memiliki kemampuan lebih tinggi dibandingkan pasukan dari negara Yunani yang berlatar belakang masyarakat dengan budaya homogen. Pasukan Indonesia lebih mampu memahami dan mengetahui kondisi lintar budaya (cognitive SQ), lalu mereka dapat memprediksi apa yang akan terjadi dalam proses interaksi, baik yang akan dilakukan orang lain maupun bagaimana dirinya bersikap (metacognitive SQ), secara efektif dapat mengarahkan perhatian dan kemampuan untuk mempelajari dan bersikap dalam situasi lintas budaya (motivational SQ), dan berani serta mampu menempatkan diri dalam tindakan terhadap budaya lain, baik secara verbal maupun non-verbal (behavioural SQ). Empat aspek SQ ini dimiliki pasukan Indonesia secara lebih baik daripada pasukan dari negara yang berlatar belakang budaya homogen. Dengan demikian, penghayatan internal lintas budaya yang mendalam dari pasukan Indonesia akan dipersepsi secara positif oleh rekan kerja asing sebagai individu yang bersedia menyesuaikan diri untuk menjadi iklim kerja kelompok yang positif (Panggabean, 2010).

Selain itu, pasukan Indonesia juga akan cenderung menggunakan pendekatan relasional yang mengutamakan personalime (Leeds, 2009). Mereka akan cenderung berperan sebagai Mediator tipe B, yang lebih menekankan interaksi sosial dan menghindari sikap melecehkan orang lain. Mereka membangun social network dan kerjasama dengan semua pihak, bahkan fokus pada interaksi sosial lebih daripada pendekatan berbasis tugas. Inilah yang menyebabkan pasukan Indonesia lebih diterima.

0 komentar:

Posting Komentar