Social Engineering: Asimilasi dan Integrasi

Rekayasa Sosial yang Paling Tepat Diterapkan
dalam Konteks Indonesia:
Asimilasi atau Integrasi?

R.B.E. Agung Nugroho

Dalam rangka meminimalisir konflik yang mungkin terjadi akibat adanya perbedaan etnis, budaya, agama, ataupun faktor pembeda lainnya di suatu negara, seringkali pihak yang berwenang melakukan rekayasa sosial (social engineering) untuk mengurangi perbedaaan yang ada. Suatu kelompok yang berbeda akan diarahkan untuk melebur dan mengadopsi “warna” yang dominan. Salah satu paradigma yang sempat populer adalah apa yang disebut dengan asimilasi atau “melting pot.” Di lain pihak ada pendapat yang berbeda yang menganjurkan integrasi atau “salad bowl.”

Asimilasi (melting-pot) adalah bentuk relasi sosial dimana setiap komponen meleburkan diri dalam masyarakat untuk membentuk identitas baru dan menghilangkan identitas awalnya. Identitas ini berfungsi untuk memuaskan kebutuhan individu untuk bersatu dalam kelompok tertentu. Perbedaan diminimalisir dan berorientasi pada pembentukan kesamaan. Artinya, minoritas akan melebur dan mengadopsi budaya mayoritas sehingga identitas minoritas dihilangkan atau tidak mendapat tempat lagi. Secara sederhana dapat digambarkan sbb: A + B + C + D = E.

Sementara itu, integrasi (salad bowl) merupakan bentuk relasi sosial dimana setiap komponen bersatu dalam masyarakat, tanpa harus kehilangan identitas asalnya. Di sini, perbedaan dijunjung tinggi, baik budaya minoritas maupun mayoritas mempunyai hak yang sama dan saling menghargai. Ada pembedaan ruang privat bagi kebebasan setiap entitas budaya yang ada, dan ruang publik sebagai wadah kebersamaan dalam kesatuan sebagai masyarakat. Model ini juga sering disebut multikulturalisme atau pluralisme. Secara sedernaha dapat digambarkan sbb: A + B + C + D =A + B + C + D.

Dalam konteks Indonesia, model yang paling tepat digunakan ialah integrasi. Pertama, model asimilasi pernah dicoba pada tahun 1960 melalui Statement Asimilasi dari 10 tokoh peranakan Tionghoa Indonesia. Lalu pada tahun 1961, di Bandungan Ambarawa, Jawa Tengah, 30 tokoh peranakan Tionghoa Indonesia menandatangani Piagam Asimilasi. Mereka bertekad meleburkan identitas Tionghoa ke dalam identitas Indonesia. Hal ini terjadi karena efek “Desegregation Busing” (Forced Busing), yakni metode asimilasi yang dipraktikkan Amerika Serikat pada tahun 1954. Rekayasa sosial di Amerika Serikat itu gagal. Praktik asimilasi Tionghoa di Indonesia ini justru membawa dampak diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Terbukti bahwa asimilasi tidak tepat dipakai di Indonesia.

Kedua, dalam model integrasi, semua elemen dalam masyarakat dapat terakomodasi dan terwadahi. Eksistensi dan identitas mereka dijamin dan diperlakukan sama di hadapan hukum. Perbedaan dihargai dan dilindungi. Hal ini sangat sesuai dengan konteks keanekaragaman budaya, etnis, agama, ras, dll, yang ada di Indonesia dan membentuk suatu kesatuan sebagai NKRI. Dengan model integrasi, eksistensi setiap elemen pembentuk Indonesia difasilitasi, dilindungi, dihargai dan diperlakukan sama di hadapan hukum. Keunikan mereka pun mendapat tempat, tanpa harus direpresi dan dihilangkan!

0 komentar:

Posting Komentar